Batas Toleransi Sampai Mana Sih?

Pernyataan “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” merupakan satu dari sekian banyak terjemahan ayat dalam Al-Qur’an yang sebenarnya dapat mewakili betapa agama islam ini sangat menjunjung tinggi toleransi. Namun, masih banyak kesalahpahaman mengenai toleransi, terutama di negara kita tercinta ini, Indonesia, yang menjunjung tinggi perbedaan dengan beragamnya suku, budaya dan agama yang ada. Perbedaan yang hadir di tengah-tengah kita tidak menjadi halangan dalam kehidupan bermasyarakat.

Bahkan, penulis ingat betul sedari duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) para guru sudah menanamkan konsep Bhineka Tunggal Ika pada murid-muridnya. Walaupun demikian, sempat ramai isu-isu rasial terhadap warga etnis Tionghoa pada tahun ’98 yang -katanya- menciptakan trauma tersendiri bagi warga etnis Tionghoa. Namun, seiring berjalannya waktu perbedaan suku, agama, ras serta budaya di Indonesia tak lagi menjadi perbedaan yang harus dipermasalahkan.

Semua konsep mengenai perbedaan -saling menghargai serta toleransi- pastilah sudah melekat pada tiap warga yang tinggal di Indonesia. Apalagi banyak dari kita yang tinggal di masyarakat yang beragam di mana tanpa mempelajari hakikat toleransi itu sendiri kadang kala kita telah mengaplikasikan konsep-konsep saling menghargai serta toleransi kala hidup berdampingan. Konsep toleransi sebenarnya sangat simpel dan mudah diaplikasikan. Hanya saja banyak oknum-oknum yang memaksakan opininya mengenai arti toleransi itu sendiri.

Penulis sempat membaca cuitan yang menarik pada platform X atau yang sebelumnya sering kita sapa Twitter mengenai toleransi. Di sana sempat dikatakan bahwa “toleransi yang baik terjadi tatkala adanya pengorbanan”. Let’s say bahwa toleransi akan terjadi ketika lapangan Masjid Istiqlal diizinkan untuk parkir jemaat Gereja Katedral Jakarta. Apa iya begitu konsep toleransi? Emang boleh?

Atau yang beberapa kali penulis lihat dan berseliweran di media sosial, terlihat sosok ibu-ibu berkerudung dan berpakaian Islami menghadiri perayaan atau ibadah umat Kristen di gereja. Bukan hanya menghadiri, tapi mereka juga menyanyikan lagu yang -katanya- “Islami” di dalam gereja. Ada pula remaja-remaja muslim yang terlihat seperti tim marawis sedang membawakan lantunan-lantunan syair dengan dendang marawisnya di gereja.

Apakah toleransi yang seperti ini yang diharapkan para kaum “open minded” itu? Apakah ini bentuk Si Paling Toleransi atau lebih tepat dikatakan kolaborasi saja?

Dalam KBBI, toleransi berasal dari kata toleran yang artinya “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”. Dari definisi di atas, mari kita garis bawahi kata “menghargai”, “membiarkan”, serta “membolehkan”. Sebenarnya dengan membiarkan, tidak mengganggu dan mengikuti aturan pemerintah setempat tanpa ikut campur kegiatan ibadah agama lain sudah lebih dari cukup bagi kita untuk menerapkan konsep toleransi itu sendiri tanpa harus melaksanakan kolaborasi.

Dalam Islam sendiri, konsep toleransi telah disebutkan dalam surah Al-Kafirun ayat 6 yang telah penulis sebutkan pada awal artikel ini. Disebutkan pula pada surat  Al-Mumtahanah ayat 4 yang artinya “Dan kita diperintahkan agar berlepas diri dari segala sesuatu yang mendukung penyembahan selain Allah”. Dua ayat dalam Al-Qur’an ini mestinya sudah lebih dari cukup menjelaskan bagaimana mestinya kita umat Islam menerapkan konsep toleransi antar umat beragama. Tidak perlu memaksakan diri ikut serta dalam perayaan agama lain agar terlihat menerapkan konsep “Humanity Above Religion” supaya terlihat sangat open minded dan menjadi spesies “manusia terpintar”.

Biasanya orang-orang yang lantang teriak telorasin, eh toleransi memiliki agenda tersendiri. Mereka gak akan berhenti mengampanyekan toleransi versi mereka sampai cita-cita mereka tersampaikan.

Ada satu cuitan ustaz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK di X yang mana beliau berkata:

“Yang benar toleransi adalah membiarkan mereka beribadah dan kita tidak perlu ikut campur, tidak perlu mengucapkan selamat”.

Cukup membiarkan saja, mereka pun tidak berharap kita memberi selamat atau bahkan ikut serta dalam kegiatan keagamaan mereka. Sama seperti kita saat menjalani perayaan ibadah agama kita, apakah kita berharap penganut agama lain mengucapkan selamat atau bergabung merayakannya? Enggak kan? Kalaupun mereka hadir dan mengucapkan selamat kepada kita, ya kita balas sambut dengan baik.

Sejatinya kita tetap bisa hidup damai dan tenteram di bumi Indonesia ini tanpa harus takut dianggap intoleran, dibilang menjadi manusia purba, atau kadal gurun karena sikap kita yang enggan hadir dan mengucapkan selamat pada perayaan agama lain. Cukup saling menghargai dan tidak ikut campur dalam perayaan mereka saja itu sudah bentuk toleransi kita kepada mereka. Bukan berarti kita gak boleh berbuat baik sama mereka, mari bedakan urusan agama dan urusan bertetangga.

Baca juga: Pentingnya Menjaga Penampilan sebagai Seorang Muslim

Tak jarang juga saudara muslim kita tidak sadar kalau ternyata yang selama ini mereka rayakan adalah perayaan umat agama lain. Ada juga yang sudah tahu, tapi tetap ikut merayakan. Mungkin ikut arus saja biar ramai atau supaya kebarat-baratan atau mungkin takut dibilang intoleran kalau tidak ikut merayakan.

Mungkin masih banyak yang belum tahu mengenai sejarah perayaan tahun baru Masehi. Tidak jarang dari kita ikut merayakan perayaan tahun baru masehi ini. Bahkan tak jarang di lingkungan kita yang mengadakan doa bersama dalam menyambut tahun baru Masehi. Padahal asal mula perayaan tahun baru Masehi dapat ditelusuri dari peradaban kuno Romawi yang dikenal sebagai masyarakat pagan atau pemuja berhala, serta komunitas Zoroastrianisme yang menyembah dewa. Bahkan nama-nama bukan pada penanggalan masehi saja referensinya dari nama-nama dewa kepercayaan mereka. Kok, kita umat islam ikut merayakan ya? Bukannya hari raya kita hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha?

Kalau mau membahas sejarah perayaan tahun baru Masehi mungkin akan panjang lagi. Tapi FYI aja sekali lagi tahun baru Masehi datang dari masyarakat pagan atau pemuja berhala, serta komunitas Zoroastrianisme yang menyembah dewa. Semoga kalau kita sudah tahu, gak perlu lagi merayakan atau nunggu diucapin “Happy New Year” dari orang terdekat ya.

Hari pasti berganti, bulan juga berganti, pun tahun. Kita hanya bisa berusaha menjadi sosok yang lebih baik lagi dari diri kita yang kemarin atau bahkan hari ini. Tanpa ada perubahan tahun Masehi pun, mestinya kita tetap memiliki resolusi untuk kemudian hari.

Yuk kita lebih cermat lagi dalam mengartikan toleransi, jangan sampai kita menggadaikan keimanan kita hanya untuk berusaha dinggap open minded sama orang-orang. Hidup bertetangga dengan baik bersama siapapun sudah gak perlu diajarkan lagi kepada umat muslim yang tinggal di Indonesia. Menganut agama Islam dan tinggal di Indonesia sudah paket lengkap dalam menghadapi perbedaan. Yang terpenting adalah kita memahami batasan-batasan toleransi agar tidak kebablasan jadi kolaborasi.

Editor: Riski Francisko

Author

1 thought on “Batas Toleransi Sampai Mana Sih?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *