Komunisme: Teologi dan Ideologi

Salah satu ideologi paling kontroversial dalam sejarah dunia kontemporer adalah komunisme. Teori sosialisme yang dibangun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels telah memiliki pengaruh yang paling besar terhadap dunia saat ini (D’amore, Ishiyama, & Breuning, 2013).  Ideologi Marx telah memengaruhi sepertiga dunia dalam kurang dari seratus tahun setelah kematian Marx, memicu revolusi melawan kekuasaan di seluruh dunia (Magee, 2008). Pemimpin partai komunis Rusia Vladimir Ilyich Lenin adalah orang yang paling berpengaruh dalam membawa teori-teori komunisme Marx ke dalam kehidupan nyata. Ia adalah orang pertama yang mendirikan negara berdasarkan komunisme. Negara itu disebut Republik Sosialis Uni Soviet atau Republik Sosialis Uni Soviet setelah revolusi Rusia 1917 merebut kekuasaan Rusia dari Dinasti Czar (Fautanu, 2013). Menariknya, meski berakhir pada prediksi-prediksi Marx mengenai sejarah manusia di masa depan banyak yang tidak terbukti, bahkan di Uni Soviet dan negara-negara Komunis lainnya sekalipun, namun ide-ide Marx hingga kini mampu memberikan pengaruh terhadap arah kajian dari para pendukung dan penentangnya.

Komunisme, sebagai ideologi, telah mencapai prestasi dalam melawan kapitalisme, namun ternyata memiliki masalah teologis cukup serius. Praktiknya, doktrin komunisme mendorong pengikutnya untuk menjadi atheis. Lebih dari itu, ideologi komunisme menghasilkan orang yang membenci bahkan cenderung memusuhi agama. “Religion is the opium of the Masses” adalah frasa terkenal Marx yang menggambarkan kebenciannya terhadap agama (Marx & McLellan, 2000). Perampasan properti dan diskriminasi terhadap kelompok agama, kaum gereja, dan kuil dilakukan oleh Lenin setelah revolusi. Karena pasukan Cheka menganggap mereka kontra-revolusi, jika ada perlawanan, ia bahkan tidak segan membasmi mereka (Lenin, 1077). Sejak awal pemerintahannya, Joseph Stalin melarang keras kegiatan keagamaan karena menganggap agama sebagai kelompok yang mengancam dari dalam. Mao Zedong menganggap mereka pro-feodalisme dan kapitalisme, sehingga melarang agama dan kepercayaan tumbuh berkembang (Fautanu, 2013). Ribuan orang di Indonesia, terutama para kyai dan santri di Jawa Timur dan Jawa Tengah, menjadi korban kekerasan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) selama rentetan peristiwa pemberontakan Madiun 1948. Sampai akhir tahun 1966, perselisihan antara PKI dan Islam masih berlangsung (Mun’im, 2014). Meskipun mereka bertentangan satu sama lain, komunisme dan kapitalisme berasal dari semangat Renaissance Barat yang digerakkan oleh kebencian agama.

Saat ini, ada upaya dari sejumlah kelompok yang ingin mengubah sejarah komunisme. Melalui beragam propaganda seperti, komunis adalah “ideologi baik” yang membela kepentingan umum atau semisalnya. Dan mencoba memutarbalikkan fakta seperti TNI dan Nahdlatul Ulama (NU), yang berhasil menghentikan tindakan anarkis PKI pada tahun 1965, sehingga dituduh sebagai pelaku kejahatan HAM dan bertanggung jawab atas korban PKI. Mereka bahkan dianggap sebagai alat negara-negara kapitalis untuk membersihkan komunis (Tempo, 2012). Meskipun demikian, perlawanan yang signifikan terhadap PKI pada saat itu merupakan tanggapan rakyat Indonesia, terutama umat Islam, atas berbagai tindakan anarkis yang dilakukan oleh PKI, mulai dari pemberontakan pada tahun 1926, pemberontakan pada tahun 1948, dan pemberontakan pada tahun 1965. Dengan kata lain, tindakan anarkis mereka sendiri menyebabkan pembersihan PKI pada tahun 1965-1966(Mun’im, 2014).

Komunisme dan Perkembangannya 

Istilah “komunisme”, yang sekarang kita pahami, muncul sekitar tahun 1840-an. Istilah ini mengacu pada perubahan sosial dan politik di Prancis saat itu (Makhova-Gregg, Ishiyama, & Breuning, 2013). Ia merupakan sinonim dengan sosialisme ilmiah yang diciptakan oleh Marx dan Engels. Mereka menggunakan kata “komunisme” untuk membedakan gerakan sosialisme ilmiah mereka dari sosialisme-sosialisme sebelumnya, yang mereka anggap masih utopian (Marx & Engels, Preface to the English Edition 1888 by F. Engels; Manifesto of the Communist Party, 1977). Dalam bahasa, komunisme berarti kebersamaan. Bahasa Perancis memiliki kosakata commune, yang semakna dengan kata “common” dalam bahasa Inggris, berasal dari kata Latin comun, yang artinya “publik”, “bersama”, “umum”, atau “universal” (Syam, 2010). Istilah ini berasal dari gerakan yang lahir di Prancis (Bagus, 2005).

Dalam masyarakat Perancis abad ke-19 istilah commune memiliki dua pengertian yang berbeda. Pertama, itu berarti sekelompok orang, termasuk keluarga, yang hidup bersama dan berbagi kepemilikan dan tanggung jawab. Kedua, itu berarti daerah terkecil dari pemerintahan lokal Perancis yang memiliki sistem pemerintahan lokal sendiri (Hornby, 1995). Dalam ilmu sosial, istilah “komunisme” sekarang lebih didefinisikan sebagai sebuah gerakan sosial politik yang didasari oleh doktrin-doktrin Marxis. Dalam arti sempit, komunisme berarti kumpulan teori dan kritik Marxis terhadap kapitalisme dan teori liberal, serta ramalan mereka tentang munculnya revolusi proletariat yang akan menciptakan masyarakat komunis yang bebas dari kemiskinan, bebas dari kelas, dan bebas dari pembagian kerja yang tidak adil (Kupper & Kuper, 2004).

Sebagai pendiri negara komunis pertama, Lenin melihat komunisme sebagai sebuah gerakan revolusi dan kepemimpinan negara yang dipimpin oleh partai komunis. Pendukungnya terdiri dari para revolusioner profesional, orang-orang yang dipilih dari kelas proletariat berpengalaman, terlatih, dan terorganisir secara ketat melalui disiplin tinggi dan memiliki struktur hirarkis yang dikendalikan oleh pusat (Lenin V. I., 1973). Ia percaya bahwa revolusi sosial hanya akan terjadi jika kelas tertindas dapat mengambil alih negara melalui revolusi kekerasan dari para revolusioner profesional. Ketika kediktatoran proletariat menahan kelas borjuis dan kelompok-kelompok yang dianggap menentang revolusi, transisi dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis dapat terjadi (Lenin V. I., The State and Revolution, 1973). Faktanya, definisi komunisme telah berubah dari waktu ke waktu. Komunisme kontemporer tidak terbatas pada gagasan Marx dan Engels. Ia lebih cenderung untuk gerakan sosial-politik yang dilakukan oleh kelompok komunis revolusioner untuk mengambil alih kekuasaan. Salah satu ciri utamanya adalah sifatnya yang totalitarian, di mana partai mengatur setiap aspek kehidupan warganya, termasuk kepercayaan agama mereka. Ia mencakup teori dan praktik komunisme dari tokoh-tokoh penting seperti Lenin, Stalin, dan Mao. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan doktrin komunisme dengan situasi sosial-politik yang mereka hadapi (Schmandt & Baidlowi, 2009). Fokus utama doktrin komunisme adalah antroposentris.

Konsep Dasar Komunisme Marx

Tiga ide utama terdiri dari teori sosialisme ilmiah Marx adalah gagasan pertentangan kelas, materialisme historis, dan dialektika (Schmandt & Baidlowi, 2009). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dasar pemikiran Marx dalam melakukan analisis sejarah adalah dialektika materialisnya. Menurut Coleman (2010), gagasan utama dari dialektika Marx mengusung elemen material, seperti manusia, alam, dan alat produksi memiliki peran vital dalam pembentukan masyarakat. Dalam proses dialektika, tesis mode produksi menghasilkan gerakan pertentangan yang berlawanan dengan gagasannya. Gerakan ini berupa kekuatan produksi, yang mencakup proses produksi, teknologi, dan hubungan antar kelas, secara keseluruhan mengacu pada kondisi masyarakat dalam menghasilkan produk dan melakukan pertukaran atau transaksi. Ketika masyarakat mencapai titik konflik di mana mode produksi dan struktur ekonomi menghalangi pemanfaatan kekuatan produksi, akan terjadi revolusi sosial, yang menghasilkan fase berikutnya dari masyarakat sebagai sintesis baru. Selanjutnya, materialisme bersifat historis. Mode produksi membentuk dan menentukan institusi sosial serta politik. Hubungan yang selalu ada antara pemilik kondisi produksi dan produsen sekitarnya mengandung rahasia terdalam pada fondasi tersembunyi bagi seluruh struktur sosial. Hubungan ini kemudian dibentuk secara politis sebagai hubungan kekuasaan dan ketergantungan (Marx, Capital Volume. 3, 1959). Singkatnya, materialisme historis adalah sudut pandang teoritis tentang perkembangan sosial, politik, dan ekonomi yang menggunakan determinisme ekonomi saat melihat sejarah manusia (Bottomore, 2001). Pertandingan kelas terkait alat produksi menunjukkan gerakan dialektika sejarah ini.

Ketiga, konflik kelas. Dalam teori komunisme, kelas yang dimaksud adalah hubungan antara individu dan alat produksi. Sejauh mana mereka menguasai alat produksi menentukan kelas. Permusuhan atas alat produksi menyebabkan konflik kelas (D’amore, Ishiyama, & Breuning, 2013). Konflik tersebut menunjukkan gerakan dialektika sejarah. Sebagai proses dialektika historis, konflik antar kelas selalu terjadi. Pada fase tribal, konflik terjadi antara suku kuat dan suku lemah, antara orang bebas dengan budak. antara bangsawan, penguasa gilda, dan hamba, petani, serta pengrajin. Setiap kali berakhir, entah dalam pengkonstitusian ulang masyarakat luas atau dalam penghancuran kelas yang melawan, dihadapkan pada keadaan yang ditindas, dan mereka yang tertindas berdiri dalam oposisi terus-menerus satu sama lain saling berganti. Semangat perlawanan ini, kadang-kadang tersembunyi, sesekali bersifat terbuka. (Marx & Engels, Preface to the English Edition 1888 by F. Engels; Manifesto of the Communist Party, 1977). Marx berpendapat bahwa dialektika historis adalah jalan menuju masyarakat tanpa kelas. Konflik belum diselesaikan oleh fase kapitalisme; sebaliknya, ia hanya menyederhanakan perbedaan kelas yang bertentangan menjadi borjuis dan proletariat. Singkatnya, dialektika adalah proses konstan yang hukum internalnya menunjukkan bahwa kontradiksi akan terus meningkat hingga konflik kelas berakhir (Marx, The Poverty of Philosophy).

Metode dialektika komunisme sangat berfokus pada manusia. Dalam kata pengantar “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte”, Engels mengatakan bahwa Marx adalah orang pertama yang menemukan prinsip pergerakan sejarah, dan mengatakan bahwa setiap pergulatan sejarah yang terjadi di bidang politik, agama, filsafat, serta ideologi lainnya pada dasarnya ialah perjuangan antar kelas sosial (Engels & Marx, 2003). Setiap fase masyarakat memerlukan analisis kelas sosial; Marx bahkan percaya bahwa hanya analisis kelas yang dapat melampaui sejarah. Salah satu tokoh sosialis modern, Milliband, mengatakan bahwa konsep analisis Marx adalah cara terbaik untuk memberikan pemaknaan terhadap sejarah masyarakat (Miliband, Giddens, & Turner, 2008). Karena materialisme Marx yang bersifat naturalis-humanis, yang berpendapat bahwa inti dari alam adalah masyarakat manusia itu sendiri, Marx memberikan penekanan khusus pada analisis kelas sosial dalam masyarakat. Karena itu, menurut komunisme, negara, undang-undang, moralitas, dan agama hanyalah suprastruktur yang dibangun pada kondisi masyarakat tertentu, dan fungsinya dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi sebagai syarat masyarakat (Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, 1959).

Ideologi Komunisme dan Atheisme 

Untuk menggambarkan bahwa salah satu doktrin utama komunisme adalah anti-Tuhan, Henry J. Schmandt, seorang pakar ilmu politik Amerika Serikat, mengatakan, “Tumbangkan ateismenya, maka semua suprastruktur komunisme pasti akan tumbang.” Faktanya, komunisme telah berubah menjadi “agama”. memengaruhi pengikutnya dengan berbagai teori dan doktrin, mendorong mereka untuk mengikuti prinsip-prinsip yang diusung, meminta mereka bersedia mengorbankan sesuatu untuk mewujudkan surga di dunia yang dijanjikan oleh Karl Marx, “nabi” mereka (Schmandt & Baidlowi, 2009). “Ajaran proletariat (yakni komunisme) adalah ajaran di mana seorang komunis siap menderita dan mati serta menyebabkan penderitaan dan kematian orang lain, ia merupakan hasrat spiritual yang telah kehilangan obyek teologisnya dan mencoba menemukan justifikasi yang independen dalam teori rasional.” (Dawson, 1935).

Komunisme memainkan hasrat spiritual manusia untuk hidup bahagia dengan meninggalkan norma, etika, dan agama. Norma dan etika agama dianggap membangun dan membimbing masyarakat. Oleh karena itu, komunisme dianggap berguna jika membantu membangun masyarakat sosialis (Peterffy, 1952).

Lama sekali, komunisme telah menjadi musuh agama dan negara di Indonesia. Beberapa tahun sebelumnya, KH. As’ad Said Ali mengingatkan bahwa gerakan PKI 1960-an bukan hanya ateis dan tidak bertuhan; itu telah berkembang menjadi anti-teis atau anti-tuhan, prinsip yang kemudian digunakan untuk menyerang kelompok agama (Mun’im, 2014). KH. Muhammad Ilyas, menteri Penghubung Alim Ulama Republik Indonesia pada tahun 1960-an, juga mengatakan, “Pahaman komunisme dan ateisme tidak dapat dipisahkan.” Seseorang yang mengakui ajaran Marx tetapi mengaku beragama dan ber-Pancasila sama halnya dengan orang yang mengaku beragama dan ber-Pancasila tetapi tidak mengakui adanya Tuhan, Menurut KH. Muhammad Ilyas, “Pahaman komunisme dan ateisme tidak bisa dipisahkan. Seseorang yang mengakui ajaran Marx tetapi mengaku beragama dan ber-Pancasila, sama halnya dengan orang yang mengaku beragama dan ber-Pancasila tetapi tidak mengakui adanya Tuhan. Karena sikapnya yang anti-tuhan, bahkan cenderung offensif terhadap kelompok agama ideologi komunisme, ia juga bertentangan dengan Pancasila, yang mana sila pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa.”

Kesimpulan

Teori dialektika materialis Karl Marx adalah dasar dari ideologi komunisme. Ini adalah gabungan dari ide-ide Materialisme Feuerbach dan Hegel dan digabungkan dengan analisis sosial-ekonomi Eropa saat itu. Marx sering menyatakan bahwa dialektika materialis, memiliki metode dialektika yang bersifat naturalis-humanis. Naturalis berpendapat bahwa sejarah perkembangan manusia merupakan representasi dari evolusi alam, sedangkan humanista berpendapat bahwa masyarakat manusia adalah inti dari alam ini. besar keyakinan mereka bahwa peradaban manusia menyebabkan semua kondisi, institusi, dan hubungan sosial. Selama sejarah perkembangan mereka, keluarga, negara, bahkan agama telah dibuat oleh manusia. Dengan demikian, fungsi institusi dapat berubah seiring perubahan masyarakat karena merupakan produk sejarah.

Oleh karena itu, setiap individu yang menganut ideologi ini hampir pasti  akan menjadi ateis atau tidak percaya pada Tuhan; lebih dari itu, mereka akan menjadi anti-teis dan anti-agama. Ini karena banyak karya Marx dan Engels tentang agama mengandung pesan kuat untuk membenci agama, bahkan untuk menghapusnya. Fakta tersebut terbukti dalam operasi partai Komunis, terutama setelah keberhasilan revolusi Rusia, ketika kelompok agama sering didiskriminasi, termasuk di Indonesia. Ideologi komunisme memiliki masalah sangat serius dengan teologi karena membuat pengikutnya tidak percaya pada Tuhan; Hal itu juga membuat mereka anti-Tuhan, anti-agama, bahkan bersikap agresif terhadap kelompok agama tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, doktrin komunisme mulai muncul kembali di kalangan pemuda. Ini merupakan akibat dari ketidakpuasan mereka terhadap keadaan sosial-politik yang semakin dikuasai oleh kapitalis modern. Namun, kita harus memahami bahwa komunisme bukanlah solusi. Selain itu, ideologi tersebut penuh dengan konsep anti-agama. Karena terkait erat dengan masalah akidah, hal tersebut sangat berbahaya bagi Islam. Salah satu cara untuk mencegah bahaya ideologi ekstrem, seperti komunisme, bagi agama dan bangsa adalah dengan menguatkan akidah dan pemahaman umat tentangnya.

Editor: Rizki Aji

Referensi:

  • Bagus, L. (2005). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Bottomore, T. (2001). A Dictionary of Marxist Thought. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
  • Coleman, J. S. (2010). Dasar-dasar Teori Sosial. Bandung: Nusa Media.
  • D’amore, M., Ishiyama, J., & Breuning, M. (2013). Marxism; Ilmu Politik, Dalam Paradigma Abad Ke-21, Jilid 2. Jakarta: Jakarta.
  • Dawson, C. (1935). Religion and The Modern State. London: Sheed And Ward.
  • Engels, F., & Marx, K. (2003). Preface by Frederick Engels to The Third German Edition, 1885; The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. New York: Socialist Labor of America.
  • Fautanu, I. (2013). Filsafat Politik. jakarta: GP Press.
  • Hornby, A. (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. London: Oxford University.
  • Kupper, A., & Kuper, J. (2004). The Social Science Encyclopedia Vol. 1. New York: Routledge.
  • Lenin, V. (1077). Lenin Collected Works Volume 26. Moscow: Progress Publisher.
  • Lenin, V. I. (1973). The State and Revolution. Peking: Foreign Languages Press.
  • Lenin, V. I. (1973). What is to be Done? Peking : Foreign Languages Press.
  • Magee, B. (2008). The Story of Philosophy. yogyakarta: penerbit Kanisius.
  • Makhova-Gregg, A. N., Ishiyama, J. T., & Breuning, M. (2013). Leninisme, Komunisme dan Maoisme ; Ilmu Politik, Dalam Paradigma Abad Ke-21. Jakarta: Kencana.
  • Marx, K. (1959). Capital Volume. 3. New York : International Publishers.
  • Marx, K. (1959). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Moscow: Progress Publishers.
  • Marx, K. (n.d.). The Poverty of Philosophy . Moscow: Foreign Languages Publishing House.
  • Marx, K., & Engels, F. (1977). Preface to the English Edition 1888 by F. Engels; Manifesto of the Communist Party. Moscow: Progress Publisher.
  • Marx, K., & McLellan, D. (2000). Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right; Karl Marx Selected Writings. Oxford: Oxford University Press.
  • Miliband, R., Giddens, A., & Turner, J. (2008). Analisis Kelas; Social Theory Today. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Mun’im, A. (2014). Benturan NU-PKI 1948-1965. Depok: Langgar Swadaya.
  • Peterffy, G. (1952). The Philosophy of Communism. New York: Fordham University Press.
  • Schmandt, H. J., & Baidlowi, A. (2009). Filsafat Politik (A History of Political Philosophy). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Syam, F. (2010). Pemikiran Politik Barat . Yogyakarta: Bumi Aksara.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *