Lari atau Jalan Kaki, Memilih Olahraga yang Tepat bagi Diri Sendiri
Published Date: 29 November 2023
Beberapa tahun ini olahraga lari menjadi kian populer di Indonesia seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan. Mudahnya melakukan olahraga yang satu ini juga menjadi salah satu alasan kenapa banyak orang yang tertarik untuk mencoba sampai kemudian ketagihan menjalaninya. Namun, urusan mudah dilakukan sebenarnya juga ada dalam olahraga lain yaitu jalan kaki. Pendekatan gerak dan aktivitasnya mirip, hanya saja jalan kaki terlihat jauh lebih mudah dan tidak menuntut banyak perangkat untuk melakukannya.
Melihat realitas di lapangan, baik lari maupun jalan kaki memang punya penggemarnya masing-masing. Setiap penggemar punya pandangan dan teori tentang dua model olahraga tersebut. Lalu bagaimana jika kita hendak memulai berolahraga, pilihan mana yang kiranya lebih mudah dijalani, baik untuk mereka yang berusia muda atau bahkan sudah cukup berumur. Serta melihat pada manfaat secara fisik dan psikis bagi pelakunya.
Pilihan untuk Berlari
Lari bisa dikategorikan sebagai olahraga rekreasi sekaligus kompetisi, minimal berkompetisi dengan catatan waktu milik pribadi (Personal Best). Olahraga ini dikenal luas di seluruh dunia karena mudah dilakukan siapa saja di mana saja. Setiap orang punya kesempatan setara untuk melakukan olahraga ini, tak hanya milik para pemuda atau orang tua. Lari disebut sebagai olahraga yang menjunjung kesetaraan. Setiap orang dapat memulainya secara perlahan untuk pembiasaan kondisi tubuh kemudian melakukannya secara bertahap, secara konsisten, sampai kemudian tingkat kebugaran tubuh tetap terjaga di level tertentu. Lari pun bisa dilakukan secara casual bila hanya butuh relaksasi. Membuat latihan rutin dengan target-target besar juga bisa dilakukan apabila hendak berkompetisi di event lari jarak jauh (marathon).
Ketika melihat lari dalam perspektif kebugaran, maka biasa dilakukan oleh mereka yang hendak mencapai berat tubuh ideal. Aktivitas berlari dipercaya lebih efektif dalam proses pembakaran kalori tubuh. Kalori dihabiskan ketika berlari, setelah itu dapat membatasi asupan makanan ke dalam tubuh. Maka dalam hitungan minggu atau bulan, bobot tubuh akan turun ke ukuran yang diinginkan. Dalam timbangan waktu, aktivitas lari juga tidak makan waktu banyak. Sebut saja jarak berlari 5 kilometer, rata-rata dapat ditempuh dalam waktu 20 – 30 menit saja. Di mana setelahnya kita dapat melakukan aktivitas lain seperti belajar atau bekerja.
Lari juga dapat memberikan dampak positif secara psikis. Olahraga ini dianggap memberikan keuntungan positif sebagai antridepressant bagi banyak orang (Martinsen and Morgan, 1997). Begitu juga pendapat dari Raglin (1997) maupun Morris and Salmon (1994), bahwa latihan lari dan pengalaman yang didapat selama berlari dapat meningkatkan mood positif dan menekan mood negatif sekaligus mengurangi kecemasan. Sementara di tingkat lebih tinggi, para pelari jarak jauh menggunakan aktivitas rutinnya untuk membantu mereka lepas dari stres harian, bahkan bagi sebagian orang untuk keluar dari alkohol dan narkoba (Leedy, 2000).
Sementara untuk kebutuhan peralatan pun tidak terlalu mahal. Membeli sepasang sepatu lari sudah sangat cukup untuk kemudian dipakai mulai berlari. Urusan celana, pakaian, atau aksesoris lain dapat menyusul kemudian jika memang kita merasa akan menekuni aktivitas ini lebih sering. Biasanya seiring meningkatnya literasi pada olahraga ini dibarengi dengan kebutuhan untuk menyesuaikan peralatan pendukung hingga tahap ideal. Pada bagian ini kita harus hati-hati agar tidak terbawa ego dan hanya membuat finansial berantakan.
Baca juga: Olahraga Individu Tanpa Ba Bi Bu
Santai Berjalan Kaki
Jalan kaki terkadang tidak dianggap sebagai olahraga karena aktivitas ini telah menjadi bagian dari proses kehidupan dan rutinitas manusia. Dan memang, untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tentu saja berjalan kaki menjadi cara paling efektif, kecuali bagi mereka yang memiliki faktor penghambat lain dalam melakukannya. Sehingga naluri kita tidak menganggapnya sebagai sebuah aktivitas olahraga untuk mencapai tingkat kebugaran tertentu. Jika pun ada maka sebutannya menjadi berbeda yakni jalan cepat, di mana saking cepatnya dapat mencapai pace (laju) seperti orang berlari di angka 5 – 6 menit per kilometer.
Sebenarnya berjalan kaki itu sendiri sudah masuk ke dalam kategori olahraga, sekalipun dilakukan tanpa niat. Aktivitas ini nyatanya secara langsung memberikan dampak kepada tubuh kita. Dikutip dari Better Health, jalan kaki merupakan olahraga yang dapat meningkatkan kebugaran kardiovaskular serta paru-paru, menurunkan resiko penyakit jantung hingga stroke. Berjalan kaki juga dapat mengontrol tekanan darah tinggi/ hipertensi, kolesterol, nyeri sendi, dan diabetes.
Departemen Transportasi Inggris Raya (DfT, 2003) memberikan gambaran soal jalan kaki, “Dibingkai sebagai aktivitas menjaga kesehatan, jalan kaki memiliki beberapa manfaat keuntungannya: mudah diakses, memerlukan sedikit peralatan khusus dan dapat digunakan dalam teori, ditambahkan ke kehidupan sehari-hari sebagian besar penduduk. Umum masyarakat dilaporkan sangat mendukung dan didorong untuk melakukan hal tersebut berjalan kaki untuk keuntungan kesehatan dan lingkungan.”
Bahkan jalan kaki juga menjadi kegiatan rutin dianggap sebagai kegiatan yang memberikan inspirasi bagi pelakunya. Hal tersebut disinggung dalam buku Filosofi Jalan Kaki karya Frédéric Gros. Meski penulis meyakinkan bahwa jalan kaki itu bukan olahraga, tapi di sisi lain Gros mendorong agar pembacanya menyadari bahwa hanya dengan berjalan kaki, maka banyak hal dapat tercapai. Terutama soal terbukanya pikiran, bertambahnya pengalaman, meningkatnya perhatian pada keadaan di sekitar orang yang berjalan kaki.
Dari pendekatan sosiologis, berjalan kaki bahkan dianggap sebagai contoh mengenai ‘techniques of the body‘ sebagai ilustrasi langsung tentang bagaimana masyarakat mendidik tiap individu mengenai gerakan fisik yang mendominasi emosi dan alam bawah sadar (Mauss, 1973 (1934), p. 88). Berjalan kaki merupakan gambaran budaya masyarakat tentang bagaimana mereka melihat manusia seutuhnya sebagai makhluk yang dapat berpikir dan memiliki emosi.
Berjalan kaki bukan hanya soal gerakan tubuh tapi juga jiwa dan pikiran. Mungkin karena waktu lebih lama dan ‘lambatnya’ gerakan membuat jalan kaki dapat memberi waktu lebih kepada pelakunya untuk banyak berpikir dengan lebih terbuka. Tidak hanya ketika berjalan sendiri, tapi juga ketika dilakukan bersama dengan orang lain yang sama-sama berjalan beriringan. Proses diskusi bisa saja berlangsung lebih mengalir dan tanpa rasa sungkan.
Lalu Pilih yang Mana
Baik berjalan kaki atau berlari sama-sama memberi manfaat bagi tubuh. Melihat lari sebagai sebuah aktivitas olahraga yang lebih fokus memang tidak salah. Sebab ketika berlari terkadang kita memikirkan tentang pencapaian dan peningkatan yang dapat dilakukan dari sesi ke sesi. Dr. Tirta, seorang dokter yang juga influencer, pernah mengatakan bahwa lari adalah gambaran kehidupan. Di mana ada banyak model pelari, yang cepat di awal tapi lambat di akhir, ada yang lambat di awal tapi malah cepat di akhir. Tapi ada juga yang selalu cepat bahkan selalu lambat. Begitulah gambaran kehidupan ini.
Sementara ketika berjalan kaki, malah banyak hal yang bisa dipikirkan mengenai kehidupan ini. Tidak heran apabila kemudian berjalan kaki dianggap lebih memberikan pengalaman filosofis bagi sebagian pelakunya. Membangun kedekatan dengan lingkungan bisa dilakukan sambil berjalan kaki karena kita bisa mudah menyapa orang yang dijumpai, hal yang rasanya sulit dibayangkan ketika berlari.
Apapun itu, memilih berjalan kaki atau berlari sebenarnya bukan perkara sulit. Cukup mengembalikannya kepada kebutuhan pribadi masing-masing. Coba lihat pada kebutuhan tubuh, keluangan waktu, dan kesediaan kita untuk menginvestasikan sebagian dana dalam melengkapi perangkat pendukung antara keduanya.
Editor: Riski Francisko
Referensi:
- Richard Shipway. 2010. Running free: Embracing a healthy lifestyle through distance running. Perspectives in Public Health l November Vol 130 No 6.
- Judith Green. 2009. ‘Walk this way’: Public health and the social organization of walking. Social Theory & Health Vol. 7, 1, 20–38