Net-net Valuation, Ketika Perusahaan Bangkrut Tapi Investor Untung. Lho kok bisa?

Dalam dunia investasi saham istilah Net-net Valuation diperkenalkan oleh seorang investor kawakan Ben Graham dalam bukunya The Intelligent Investor. Teknik valuasi ini dikenal juga dengan nama “jurus peras santan”, merujuk pada kondisi cara pembuatan santan yang diperas dari parutan kelapa yang diberi air untuk mendapatkan santan berkualitas. Merujuk pada kondisi di mana aset bersih suatu perusahaan (ekuitas) jumlahnya lebih besar daripada total liabilitas dalam periode yang sama, dan perusahaan tersebut dijual di bawah nilai ekuitas perusahaan. Sehingga misalkan perusahaan tersebut dilikuidasi saat itu juga, jumlah ekuitasnya bisa menutupi segala kewajibannya dan malah masih ada sisanya untuk dibagikan ke para pemegang saham perusahaan.

Dalam kondisi real di lapangan hampir tidak ada kasus tertsebut, karena memang skenario itu jarang terjadi. Dari sisi logika pemilik perusahaan pun tidak akan mau melego perusahaan di bawah nilai modal bersihnya. Namun hal tersebut bisa terjadi di pasar modal karena kadangkala pasar menghargai suatu perusahaan secara tidak masuk akal entah itu sangat murah atau bahkan sangat mahal. Tugas investorlah yang harus mencari, menemukan, dan berinvestasi pada perusahaan potensial.

Lalu mengapa perusahaan bisa dihargai di bawah modal bersih (ekuitas) perusahaan?

Apabila terdampak pada perusahaan yang bagus secara profitabilitas tentu hal itu hampir mustahil terjadi. Meski dapat terjadi jika perusahaan memang rugi atau mengalami kinerja yang sangat buruk, entah karena kondisi eksternal maupun internal sehingga investor ramai-ramai membuang sahamnya. Pada akhirnya valuasi perusahaan menjadi sangat murah secara pendekatan harga saham berbanding ekuitas bersih perusahaan. Perlu diingat, ada harga ada rupa, perusahaan bagus pasti dihargai mahal, namun jika perusahaan tersebut tergolong biasa saja atau sedang terpuruk karena siklusnya yang kurang mendukung atau kondisi eksternal yang buruk sehingga dihargai sangat murah dan bahkan sangat murahnya jika misal dilikuidasi saat itu juga sisa ekuitas perusahaan masih bisa dibagikan kepada investor.

Perhatikan kaidah akuntansi: Ekuitas = Aset – Liabilitas. Misalnya terjadi kondisi perusahaan bangkrut/pailit maka seluruh asetnya akan dilikuidasi dan hasilnya akan digunakan untuk membayar kewajiban terlebih dahulu. Misalnya seperti hutang operasional, hutang sukuk/obligasi dan para kreditur lainnya baik jangka pendek maupun jangka panjang yang tercermin dalam neraca bagian total liabilitas. Jika setelah dibagikan ke para kreditur masih ada sisa kas yang tersedia, maka pihak selanjutnya yang akan mendapat bagian adalah para investor atau pemegang sahamnya. Walaupun nyatanya investor seringnya gak kebagian apa-apa ketika ada perusahaan yang delisting dari bursa dan pailit.

Membedah Net Valuation Perusahaan

Agar lebih jelas, mari kita bedah Laporan Keuangan (LK) salah satu perusahaan terbuka berikut ini. Ingat, ini hanya bertujuan untuk edukasi saja, bukan rekomendasi untuk menjual/ membeli saham perusahaan terkait.

Berikut adalah potongan LK salah satu perusahaan terbuka di BEI dengan periode laporan per 30 Juni 2023.

valuation
Catatan aset perusahaan.

Gambar di atas adalah potongan dari salah satu neraca perusahaan bagian aset lancar dan aset tidak lancar. Dari data tersebut kita dapat mengetahui total aset perusahaan per 30 Juni 2023 adalah Rp6.011.763.074.401,- atau lebih dari Rp6 triliun. Aset terbesar berdasarkan LK di atas adalah berupa persediaan yang nilainya sekitar 76% dari total aset (persediaan lancar dan tidak lancar). Hal tersebut wajar karena cuplikan LK di atas adalah dari sebuah perusahaan properti di Jawa Barat.

Selanjutnya kita lihat neraca bagian ekuitas dan liabilitas data perusahaan di atas untuk melihat seberapa modal dan kewajiban yang dimiliki perusahaan tersebut.

valuation
Lialibilitas dan ekuitas.

Dari data cuplikan neraca bagian liabilitas tersebut diketahui bahwa total kewajiban yang dimiliki perusahaan adalah Rp1.554.609.795.960,- alias Rp1,5 triliun. Dari sini kita mengetahui bahwa jumlah total asetnya adalah 3,8 kali lebih banyak daripada total kewajibannya (liabilitas) sehingga secara tidak langsung masih aman dan jauh dari kata bangkrut/pailit.

Selanjutnya kita cek juga neraca bagian ekuitas alias modalnya pada cuplikan di bawah ini:

valuation
Neraca ekuitas.

Ternyata modal (ekuitas yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk) yang dimiliki oleh perusahaan Rp4.456.821.456.325,- atau sekitar Rp4,4 triliun. Sehingga sudah seimbang (balance) dimana: Aset = Liabilitas + Ekuitas dengan total Rp6 triliun.

Setelah mengetahui kondisi dari emiten diatas melalui neracanya maka kita perlu tahu, berapa harga jual saham perusahaan tersebut. Sehingga kita bisa menganalisa lebih lanjut apakah harga yang ditawarkan cukup menarik atau tidak. Tanpa menyebutkan kode emitennya, per penutupan bursa hari Jum’at, 22 September 2023 lalu, emiten tersebut dijual seharga Rp157,- per lembar saham.

valuation

Maka kita dapatkan nilai buku per lembar saham-nya (BV) sebesar Rp4.456.821.456.325/9.647.311.150 = Rp461,98,- per lembar saham. Mengacu pada harga terakhir penutupan Rp157,- per lembar saham maka harga saham berbanding nilai buku perlembar (PBV) hanya 0,34 X nilai bukunya (Rp157,- dibagi Rp461,98,-).

Sekarang mari kita hitung seandainya kita membeli saham tersebut di harga Rp157,- dengan skenario perusahaan dilikuidasi saat itu juga, maka apakah masih ada bagian untuk investornya?

Apabila suatu perusahaan bangkrut maka seluruh aset bersih (ekuitas) akan dilikuidasi untuk membayar semua kewajiban yang ada (pailit). Seluruh kewajiban itu ada di dalam neraca bagian total liabilitas, dalam hal ini adalah Rp1.554.609.795.960.-. Sehingga Rp4,4 triliun dikurangi Rp1,5 triliun= 2,9 triliun. Lalu setelah semua kewajiban ditunaikan kepada kreditur maka sisanya akan dibagikan kepada para pemegang saham. Jadi Rp2,9 triliun akan dibagi untuk 9,6 milyar saham beredar, ditemukanlah angka Rp302,- per lembar saham. Sehingga dalam hal ini, kita membeli saham seharga Rp157,- per lembar. Sehingga ketika perusahaan pailit dan dilikuidasi maka investor masih mendapat bagian Rp302,- per lembar saham. Masih ada nilia Rp145,-/lembar saham (302 – 157) atau untung 92% dari modal dikeluarkan di awal.

Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah tidak etis dan tidak normal jika kita berinvestasi pada suatu perusahaan lalu berharap perusahaan tersebut langsung dilikuidasi saat itu juga karena berdasar hitungan net-net valuation yang kita lakukan di atas ternyata investor masih mendapat keuntungan. Kondisi real-nya tentu tidak semudah dan sesederhana itu, Pemegang Saham Pengendali (PSP) tentu tidak akan semudah itu menyerahkan aset-asetnya. Jadi teknik net-net valuation harus ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu menganalisis murah atau mahalnya suatu perusahaan yang ditawarkan ke pasar dan hendak kita beli sahamnya. Jika berdasarkan analisa tersebut ternyata harga yang ditawarkan jauh di bawah nilai aset yang terkandung di dalamnya maka bisa jadi itu adalah investasi yang menjanjikan keuntungan yang lumayan.

Tentu saja banyak hal dan faktor lain yang mungkin bisa saja terjadi, tugas kita sebagai investor adalah mengukur sejauh mana resiko yang mungkin bisa terjadi selain faktor keuntungan semata. Jadi bijaksanalah dalam keputusan keuangan kita masing-masing.

Editor: Dimas Ronggo

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *