Pentingnya Adab dalam Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi kita setiap muslim, Imam Qurthuby mengatakan bahwa hukum menuntut ilmu itu terbagi menjadi dua: Pertama, hukumnya wajib untuk kategori ilmu seperti salat, zakat, puasa, aqidah, dan lain-lain. Kedua, hukumnya fardhu kifayah, contohnya seperti ilmu tentang pelaksanaan hukum Hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya). Ttidak semua manusia perlu mempelajari hal tersebut, oleh karena hanya sebagian saja yang diwajibkan untuk mempelajari hal tersebut (Bar, 2006).

Menuntut ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah -yang sesuai dengan pemahaman salafus shalih- merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat. Tidak terkecuali bagi siapa pun, baik muda atau tua, bahkan kaya atau miskin, karena dengan mempelajari ilmu agama yang baik dan benar kita dapat mengamalkan apa yang kita pelajari dalam ibadah kita sehari-hari sehingga ibadah kita sesuai dengan sunah dan mendapatkan ganjaran pahala dan rida dari sisi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى (Bar, 2006).

Nabi Muhammad صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ : حِلَقُ الذِّكْرِ.

“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman- taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” (at-Tirmidzi, 2015)

Dari sabda Nabi Muhammad صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di atas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa di dunia ini sudah ada yang disebut sebagai taman-taman surga, dan diperintahkan kepada kita jika melewatinya maka perbanyaklah berzikir. Perlu diperhatikan bahwa majlis zikir yang dimaksudkan dalam hadis di atas adalah majlis ilmu yang di dalamnya mengajarkan tentang ilmu-ilmu syar’i (halal-haram, salat, zakat, puasa, haji, menikah, dll) (Al-Jauziyah, 1996).

Islam adalah agama yang Syamil dan Kamil, Rasulullah صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menjadi Uswatun Hasanah yang sempurna bagi seluruh umat islam, termasuk tentang pembahasan adab, Rasulullah صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  telah menjelaskan dan mencontohkan tentang adab dengan jelas. Adab dan akhlak yang baik adalah tolak ukur dari sebuah kesalehan seseorang. Adab juga bagian daripada amal saleh yang memiliki bobot berat dalam timbangan kebaikan pada hari kiamat kelak. Pemilik akhlak dan adab yang baik sangatlah dicintai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan juga nabi kita Muhammad صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bagi seorang muslim, memiliki adab dan akhlak yang baik merupakan salah satu sebab yang dapat mengantarkan dirinya masuk ke dalam surganya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Nabi صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

مَا شَيْءٌ أَثْقَلَ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذيءَ

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor.” (at-Tirmidzi, 2015)

Ulama-ulama terdahulu selalu mengarahkan kepada anak-anak mereka untuk mempelajari adab sebelum menuntut ilmu agama.  Imam sufyan Ats-Tsauri mengatakan bahwa para alim pada zamannya mengirim anak-anak mereka untuk mempelajari tentang adab dan beribadah selama kurang lebih 20 tahun, lalu barulah mereka mengirimkan anak-anak mereka untuk mempelajari ilmu (Az-Zahrani, 2005). Imam Abdullah Ibnu Al-Mubarak juga mengatakan bahwa ia mempelajari adab selama 30 tahun baru setelah itu mereka mempelajari ilmu selama 20 tahun, mayoritas salafiyyun mereka selalunya mempelajari adab jauh lebih dahulu dibandingkan menuntut ilmu (Az-Zahrani, 2005). Bahkan Abdullah Ibnu Al-Mubarak meriwayatkan perkataan Makhlad bin Al-Husain tentang mereka yang memerlukan lebih banyak adab dibandingkan banyaknya ilmu.

Maka, pentingnya adab di atas pentingnya ilmu. Pelajarilah adab jauh sebelum kita mempelajari tentang ilmu. Harapannya dengan mempelajari tentang adab terlebih dahulu, ilmu yang kita pelajari setelahnya jauh lebih bermanfaat, karena ilmu yang kita pelajari menjadikan akhlak dan adab yang kita miliki jauh lebih bersinar terang (Al-Baghdadi & Al-Khotib, 1996).

Niat Ikhlas dalam Menuntut Ilmu

Adab yang perlu dan penting untuk dimiliki setiap penuntut ilmu adalah mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu agama. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa menuntut Ilmu syar’i adalah keutamaan yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Akan tetapi menuntut ilmu agama di sini haruslah dengan niat utama untuk mengharapkan keridaan (keikhlasan) Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Keikhlasan bukanlah ikhlas kepada sesama makhluk akan tetapi keikhlasan adalah sikap untuk mengharapkan keridaan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dalam menuntut ilmu syar’i setiap muslim diwajibkan untuk selalu berniat ikhlas karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, karena sebagian manusia muslim saat ini lupa, lalai, atau meremehkan akan pentingnya niat ikhlas karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan mengikhlashkan agama kepada-Nya” (QS. Al Bayyinah: 5)

Menuntut ilmu adalah sebuah amalan yang bernilai pahala di sisi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, dan ia juga merupakan amalan yang sangat mulia. Menuntut ilmu juga merupakan sebuah kunci yang berguna untuk membuka pintu-pintu menuju amalan-amalan lainnya. Oleh karenanya penting bagi setiap pelajar untuk mengutamakan niat ikhlas dalam menuntut ilmu dengan harapan agar amalan menuntut ilmu ini tidak seperti debu yang dengan mudahnya hilang tertiup angin. Menuntut ilmu adalah sebuah ibadah dan ibadah memerlukan niat yang ikhlas, dan keikhlsan adalah amalan hati yang ditujukan demi mengharapkan rida Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى semata (Qurthuby, 2006).

Baca juga: Adab Sebelum Ilmu: Pembiasaan Akhlak yang Baik pada Anak Sedini Mungkin

Tanda Kita Ikhlas dalam Menuntut Ilmu

Di antara tanda-tandanya seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu adalah:

1. Menghasilkan Ilmu yang bermanfaat

Ketika seseorang menuntut ilmu dengan ikhlas maka tanda yang paling utama yang terlihat adalah bermanfaatnya ilmu tersebut bagi dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum membagi manfaat tersebut bagi orang lain. Nabi Muhammad صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ

“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah utus diriku dengan membawa keduanya sebagaimana permisalan hujan lebat yang membasahi bumi. Di antara tanah yang diguyur air hujan, ada tanah yang subur, yang menyerap air sehingga dapat menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan yang lebat” (Baqi, 2017).

Permisalan sebuah ilmu bagi hamba Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى adalah seperti air hujan yang membasahi bumi. Ilmu tersebut akan memberikan manfaat kepada penuntutnya secara khusus dengan membuat hatinya menjadi lembut, jiwa dan raganya semakin tunduk kepada Rabb-Nya, lisan dan pandangannya semakin terjaga dari maksiat, dan seterusnya. Tidak berhenti di sana, ilmu tersebut tentu akan bermanfaat bagi manusia yang ada di sekitarnya, tercermin dari sifat, sikap dan prilaku sang penuntut ilmu. (Baqi, 2017)

2. Ilmu dan Amal

Salah satu bentuk hal yang sia-sia adalah ketika seseorang menuntut ilmu akan tetapi sang penuntut ilmu tersebut tidaklah mengamalkannya. Ilmu dicari untuk diamalkan oleh sang pencari sehingga bermanfaatlah ilmu tersebut untuk dirinya dan orang lain. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى akan bertanya kepada setiap hambanya yang telah belajar, apa yang mereka amalkan dari ilmu yang mereka pelajari. Nabi Muhammad صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ … وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki hamba di hari kiamat sampai ia ditanya, (salah satunya) tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan?” (at-Tirmidzi, 2015)

Ketika seorang muslim menuntut ilmu, maka ia akan memahami betul bahwa ilmu yang ia hafalkan, pelajari, dan pahami bukanlah garis akhir akan tetapi ilmu tersebut merupakan bekal awal yang ia miliki untuk beramal hingga akhir hayat. Berbeda dengan seseorang yang niatnya rusak, mengamalkan ilmu yang ia dapatkan demi mendapatkan rida Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى bukanlah tujuan yang ia ingin capai.

Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak dianggap berilmu selama ia tidak mengamalkan ilmunya” (البدر, ١٤٣١هـ)

3. Bertambah Ketakutan Kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya hanyalah orang yang berilmu.” (QS. Fathir : 28)

Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى mengindentifikasi dari hamba-hamba-Nya di dunia, yang paling banyak memiliki rasa takut kepada-Nya adalah orang-orang yang berilmu. Semakin bertambahnya ilmu seseorang, seharusnya semakin takut pula ia kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. (Qurthuby, 2006)

Para ulama mengatakan “Siapa yang takut kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى maka dia adalah orang yang berilmu. Dan siapa yang bermaksiat kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى maka dia adalah orang yang bodoh” (Rajab, 1406 H). Ini adalah buah dari ilmu yang bermanfaat, ilmu yang dicari semata-mata karena mengharap wajah-Nya. Seseorang yang telah berilmu tentang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, maka ia akan mengetahui keagungan dan kebesaran Rabb-nya sehingga ia akan semakin takut dan tunduk kepada-Nya serta selalu merasa diawasi oleh-Nya.

Ketiga tanda tersebut haruslah kita miliki sebagai seorang muslim yang diwajibkan untuk menuntut ilmu hingga ajal menjemput kita. Imam Al Ghazali rahimahullah mengatakan,

“Betapa banyak malam yang telah kau hidupkan dengan mengulang-ngulang ilmu dan membaca berbagai macam buku, dan kau halangi dirimu dari tidur? Aku tidak tahu apa yang memotivasimu untuk berbuat demikian. Jika niatmu adalah karena dunia, karena mencari harta dan mengumpulkan bagian-bagian dunia, atau berbangga-bangga dengan teman sepantaranmu, maka celakalah dan celakalah dirimu! Tapi jika niatmu adalah menghidupkan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membina akhlakmu, dan mematahkan jiwa yang suka mengajak kepada keburukan, maka beruntunglah dan beruntunglah engkau!” (Ghazali, 1993)

Referensi

  • Al-Baghdadi, A.-K., & Al-Khotib, D. M. (1996). Al-Jami’ Li Akhlaq Ar-Rowi Wa Adab As-Sami’. Beirut: Muassisah Ar-Risalah.
  • Al-Jauziyah, I. A.-Q. (1996). Al-‘Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu. Riyadh: Majmu’atu At-Tuhafi An-Nafais Ad-Dauliyah.
  • at-Tirmidzi, M. b. (2015). Al-Jāmiʿ al-Mukhtaṣar Min as-Sunan ʿAn Rasūl Allāh ﷺ Wa Maʿrifat al-Ṣaḥeeḥ Wal-Maʿlool Wa Mā ʿAlaihil al-ʿAmal). Riyadh: Dar Al-Hadoroh Lin Nasyr Wa At-Tawzi’.
  • Az-Zahrani, M. I. (2005). Min Hadyi As-Salaf Fii Thalabi Al-Ilmi. Riyadh: Dar Thaib Li An-Nasyr Wa At-Tawzi’.
  • Baqi, M. F. (2017). Shahih Bukhari Muslim. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, .
  • Bar, A. U. (2006). Jami’u Bayani al ‘Ilmi wa Fadhlihi. Mesir : Daru Ibn al Jauzi.
  • Ghazali, I. A. (1993). Ihya ‘Ulumuddin. Pakistan: Darul Ishaat.
  • Qurthuby, I. A. (2006). Al-Jami’ Li Ahkami Al-Quran. Beirut: Ar-Resalah.
  • Rajab, I. (1406 H). Bayan Fadhlu Ilmi Salaf Ala Ilmi AlKhalaf.
  • البدر, ع. ا. (١٤٣١هـ). ثمرة العلم والعمل. المدينة المنورة: حقوق الطبع محفوظة الطبعة الأولى.

Editor: Riski Francisko

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *