Rutinitas Sebagai Kiat Menjalani Hidup
Published Date: 27 November 2023
Suatu hari saya bertemu dengan seorang kawan. Kami mengobrol tentang apa saja, sesekali diselingi tawa, sesekali diselingi tegukan minuman, dan sesekali sepenuhnya jeda seolah-olah kami cuma sepasang orang asing. Di antara percakapan itu, kami membahas mengenai kepribadian kami yang agak berbeda. Meskipun dia bukan petualang atau pengembara laten yang melanglang buana ke berbagai negeri saban hari, saya tahu kawan saya itu bukanlah orang yang diam di tempat. Dia suka bertemu dengan berbagai macam orang, mengunjungi berbagai tempat, dan menjalani aktivitas baru. Di sisi lain, saya katakan kepadanya bahwa saya takjub kepadanya. Sebab, berbeda dengannya, saya adalah orang yang “statis”, yang monoton, yang hanya melakukan aktivitas itu-itu saja dan nyaris tidak beranjak dari mana pun selain di rumah saya sendiri.
Perbincangan kami melebar ke mana-mana, kadang ke topik-topik tak terduga, sebagaimana umumnya perbincangan antara sepasang kawan. Soal perbedaan kepribadian, antara saya yang “statis” dan dia yang “dinamis”, kami bersepakat bahwa keduanya sah dan baik belaka. Bagaimanapun, tak semua orang bisa serupa. Dan bagaimanapun, setiap orang bebas hidup dengan kepribadian dan karakter apa pun, apa pun yang membuat mereka nyaman dan menurut mereka paling sesuai.
Saya merenungi soal kehidupan sendiri, lantas berpikir, saya rasa banyak orang menjalani ritme kehidupan mirip dengan yang saya alami. Melakukan aktivitas yang itu-itu saja, berdiam di tempat yang itu-itu saja, seolah dikutuk untuk terus-menerus melekat dalam rutinitas yang sama.
Pertanyaannya: Apakah rutinitas atau keberulangan itu tercela? Apakah rutinitas membekukan pikiran? Apakah keberulangan menghalangi kita dari mencapai potensi maksimal diri kita?
Di kala jenuh, terkadang saya bertanya-tanya begitu, memimpikan hidup yang dinamis, berubah-ubah, dan penuh tantangan setiap harinya. Mungkin saya akan bertualang ke benua-benua yang jauh, melintasi bukit-bukit terjal, merendam kaki ke lautan-lautan asing, dan bercakap-cakap dengan berbagai macam orang dari beragam latar belakang walaupun tak sepenuhnya saling memahami. Membayangkan petualangan selalu menyenangkan. Tampak lebih menyenangkan daripada mendekam dalam rutinitas dan keberulangan yang begitu-begitu saja. Kerja, makan, tidur. Rumah, perjalanan, tempat kerja. Kerja, makan, tidur. Rumah, perjalanan, tempat kerja. Begitu seterusnya.
Sampai suatu hari saya memikirkan bangunan dunia secara umum.
Dengan cara apa dunia dibangun? Bagaimana dunia yang kita tempati bisa berwujud seperti sekarang? Mengapa perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang bisa ada?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala dan saya segera tahu jawabannya. Semua yang kita temui sekarang, semua yang kita sebut sebagai peradaban dan kemajuan, ternyata berasal dari rutinitas, dari keberulangan. Mungkin tidak sesederhana itu, tapi secara umum memang begitulah asal-muasal segala jenis kemajuan: dari rutinitas, dari keberulangan.
Ingat-ingat bangunan mewah apa saja yang ada di dekat anda. Sebuah rumah bak istana, sebuah mal, sebuah gedung sekolah besar, sebuah stasiun, atau apa pun itu. Sungguh menarik kalau direnungkan bahwa ternyata semua bangunan itu bisa terbangun dan selesai disebabkan oleh rutinitas. Semua bangunan itu diselesaikan berkat ketangguhan para pekerja melewati hari demi hari melawan rasa lelah dan kejenuhan. Bayangkan jika seorang pekerja adalah orang yang tak kuat dengan kejenuhan. Dia kerja seminggu, lantas berhenti bekerja begitu saja. Apakah bangunan-bangunan itu bisa selesai? Mungkin tetap bisa selesai dibangun dengan mencari pekerja baru, tapi tetap saja tanpa komposisi pekerja yang mantap dan berkomitmen, menyelesaikan sebuah proyek bangunan bisa sama sulitnya seperti menembus langit.
Itu cuma ilustrasi kecil mengenai pentingnya rutinitas dan keberulangan. Sebagian besar dunia kita dibangun oleh keberulangan. Matahari terbit dan terbenam setiap harinya secara berulang-ulang. Musim berganti. Para pegawai berangkat kerja tiap pagi pulang tiap sore. Seorang guru mengajar materi yang sama kepada siswa-siswa dari angkatan yang berbeda. Para pelajar dari berbagai generasi membaca buku yang sama. Seorang penghafal Alquran mengulang-ulang hafalannya. Seorang pengrajin memotong jenis kayu yang sama dengan cara yang sama setiap hari. Seorang penjahit mengukur pakaian yang hendak ia bikin dengan metode yang itu-itu saja. Begitu banyak keberulangan di dunia ini. Walaupun kadang-kadang kita amat membenci rutinitas, kita tak bisa menampik betapa banyak kemaslahatan yang diberikan rutinitas kepada kita, kepada umat manusia.
Namun, bukan berarti saya sedang meromantisasi rutinitas dan keberulangan. Saya hanya sedang ingin membuka sisi lain dari apa-apa yang kita anggap biasa atau menjenuhkan. Tentu jeda, melepaskan diri dari cengkeraman rutinitas perlu juga. Bagaimanapun bagusnya rutinitas, dunia akan sangat mengerikan jika tanpa jeda dan hari libur. Hanya saja, dengan mengetahui hasil-hasil yang diam-diam dibuahkan oleh rutinitas, kita boleh sedikit bangga bahwa segala aktivitas yang kita lakoni setiap hari seolah tanpa makna ternyata turut membangun dunia—sekecil apa pun perannya—menjadi seperti apa yang kita diami saat ini.
Memang, kita juga tak bisa menampik bahwa dunia bukan cuma dibangun oleh orang-orang yang menjalani rutinitas. Orang-orang yang “dinamis”, yang gemar bertualang ke sana-kemari, menjelajah berbagai sudut bumi (dan mungkin planet lain) juga punya peran. Orang-orang macam Ibnu Batutah, Marco Polo, atau traveler kontemporer punya jasa juga terhadap dunia; dengan cara menyampaikan pandangan mereka kepada khalayak setelah menjelajahi berbagai daerah di dunia—jenis aktivitas yang tak mungkin bisa semua orang lakukan.
Pada akhirnya, saya kembali teringat percakapan saya dengan kawan saya di atas. Setiap orang punya karakter yang berbeda-beda. Ada yang lebih suka menjalani aktivitas yang itu-itu saja. Ada yang lebih suka untuk terus-menerus mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang bisa ia lakukan. Keduanya punya peran masing-masing. Keduanya tak lebih benar atau lebih salah. Keduaya cuma meneruskan dan mengulangi perjalanan sejarah umat manusia sejak dahulu kala. Hidup, toh, memang cuma himpunan rutinitas dan keberulangan. Tinggal keputusan kita apakah mau memberi makna pada pelbagai rutinitas dan keberulangan itu atau membiarkannya berlalu begitu saja, membiarkan waktu menetes terus-menerus, sampai akhirnya habis, dan kita mati—mengulangi takdir orang-orang sebelum kita.