Self-Harm, Butuh Bantuan atau Sekadar Cari Perhatian?
Published Date: 1 May 2023
Belakangan ini, fenomena menyakiti diri sendiri atau biasa disebut dengan self-harm cukup marak terkuak di media sosial. Beberapa orang, umumnya remaja, melakukan self-harm kemudian mengunggah foto bukti hasil tindakan mereka di media sosial: Twitter, Instagram, Facebook, hingga TikTok. Hal tersebut tentu bukan perilaku yang bijak dilakukan karena dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi orang-orang yang melihatnya, bahkan bagi diri pelaku sendiri (1).
Maraknya self-harm yang di-published tentu menimbulkan pertanyaan, apakah memang self-harm merupakan hal yang “semenarik” itu, sehingga perlu diunggah di ruang publik untuk menghasilkan reaksi dari orang lain? Apakah mereka yang melakukan self-harm hanyalah caper belaka?
Well, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami dulu apa definisi dari self-harm. Menurut American Psychological Association (2), deliberate self-harm atau perilaku menyakiti diri yang disengaja adalah tindakan merusak jaringan tubuh secara sengaja tanpa adanya niat bunuh diri. Itulah mengapa disebutkan bahwa salah satu istilah lain dari self-harm adalah Non Suicidal Self-Injury (NSSI). Biasanya NSSI dilakukan seseorang untuk mengatasi emosi atau pikiran yang membuat stres (3).
NSSI perlu dibedakan dengan percobaan bunuh diri karena walaupun NSSI juga menghasilkan luka yang cukup dalam sehingga dapat terlihat oleh orang lain, pada umumnya luka-luka tersebut tidak sampai mengancam nyawa. Perilaku NSSI yang biasa dilakukan adalah menyayat, membakar, mencakar, memukul, dan menggigit bagian tubuh, serta memukulkan kepala ke permukaan yang keras (4).
Alasan yang mendorong seseorang untuk melakukan NSSI pun bervariasi, ada yang berasal dari diri sendiri, ada pula yang dipengaruhi oleh faktor eksternal (5). Beberapa contoh alasan internal adalah, memberi tanda bahwa diri sedang merasa stres, cara untuk menghukum diri sendiri, mengungkapkan kemarahan pada diri, agar diri merasa lebih tenang, dan depresi. Sedangkan untuk alasan eksternal, beberapa di antaranya adalah, menunjukkan ke orang lain bahwa dirinya tidak butuh bantuan siapapun, balas dendam pada orang lain (misalnya, seseorang telah disakiti hatinya oleh keluarganya. Lalu, untuk membuat keluarganya merasa menyesal telah menyakitinya, ia menyakiti diri), memberitahu orang lain sejauh apa rasa sakit yang sedang dialaminya, dan agar bisa bergabung dengan kelompok tertentu.
Baca juga: Apakah Seorang Introver Juga Anti-Sosial?
Sikap Kita Menghadapi Self-Harm
Memang ada banyak balasan orang untuk melakukan self-harm. Selain motivasi dari dalam diri, ada pula yang dilakukan dengan tujuan agar mendapat perhatian dari orang lain. Namun, yang juga disayangkan ketika ada sebagian orang berkomentar bahwa tindakan menunjukkan aktivitas self-harm ke orang lain itu tidak valid, bohongan, atau sekadar cari perhatian saja. Ya, memang tidak sepenuhnya salah ketika dikatakan mereka cari perhatian, tapi itu tidak membuat emosi atau pengalaman negatif yang mereka alami merupakan kebohongan. Mereka, para pelaku self-harm ini, lebih dari sekadar “orang caper”, mereka adalah orang-orang yang perilaku negatifnya harus dihentikan dan butuh pertolongan.
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka jika di sekitar kita ada teman yang memberitahu bahwa mereka melakukan self-harm, sebaiknya jangan cepat berprasangka, “Ah, paling dia cuma caper.” Berlatihlah untuk mengolah informasi lebih dulu dibarengi dengan sedikit empati seperti, “Oh, teman saya memberitahu saya kalau dia melakukan self-harm. Mungkin itu sinyal yang diberikan pada saya kalau sebenarnya dia sedang tidak baik-baik saja dan butuh pertolongan.”
Dan besar kemungkinan memang orang tersebut sedang tidak baik-baik saja. Sebab kalau dia dapat berpikir rasional, bukankah dia akan mampu menilai dampak negatif dari self-harm bagi dirinya di masa depan?
Self-harm memang perilaku negatif yang memerlukan penanganan positif dari orang di sekitar pelakunya. Hal itu menjadi lebih rumit ketika perilaku tersebut diunggah di sosial media, dengan respon/komentar cenderung negatif dari netizen yang bahkan tidak merasa perlu memperlihatkan rasa simpati dan empatinya.
Untuk itulah perlu bagi kita yang merasa hidupnya baik-baik saja, peduli pada keadaan orang-orang di sekitar kita. Coba luangkan sedikit waktu untuk memerhatikan kondisi dan kebutuhan mereka. Jangan sampai ada orang terdekat kita yang sebenarnya butuh perhatian tapi justru kita abai karena terlalu sibuk dengan urusan kita sendiri.
Semoga bermanfaat.
Referensi
(1) Rodham, K., Gavin, J., Lewis, S., Bandalli, P., & St. Denis, J. (2016). The NSSI paradox: Discussing and displaying NSSI in an online environment. Deviant Behavior, 37(10), 1110–1117.
(2) American Psychological Association. (n.d.). Apa Dictionary of Psychology. American Psychological Association. Retrieved April 26, 2023.
(3) Zetterqvist, M., Jonsson, L. S., Landberg, Å., & Svedin, C. G. (2021). A potential increase in adolescent nonsuicidal self-injury during covid-19: A comparison of data from three different time points during 2011 – 2021. Psychiatry Research, 305, 114208.
(4) Hooley, J. M., Fox, K. R., & Boccagno, C. (2020). nonsuicidal self-injury: Diagnostic challenges and current perspectives. Neuropsychiatric Disease and Treatment, Volume 16, 101–112.
(5) Ebrahimi, A., Athar, M. E., Jazi, E. A., Karimi, S., Ataie, S., Taheri, E., Abbassian, M., Rezaei, O., & Storch, E. A. (2021). Psychometric Properties of the Persian version of the inventory of statements about self-injury (ISAS).
Semoga bermanfaat
aamiin