Anak Muda dan Politik

Ketika kita bicara soal politik di Indonesia hari ini, kental anggapan bahwa politik hanyalah urusan orang tua. Orang-orang yang ramai berdebat mengenai politik di pos ronda dan warung kopi, para pengamat yang mejeng di televisi saban ada topik hangat perpolitikan, hingga pejabat-pejabat penting di pemerintahan—kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tua. Adapun anak-anak muda tampil di tepian, seperti entitas yang kurang banyak gunanya. Memang sesekali anak-anak muda (biasanya ketua BEM universitas tertentu) muncul di layar kaca bersama orang-orang tua guna membahas politik. Namun seringkali anak-anak muda itu muncul sekadar sebagai pemanis, bukan sebagai individu yang benar-benar dianggap penting dan dinanti-nanti pendapatnya.

Dalam hasil Pemilihan Umum 2019, ada 7 anggota DPR terpilih yang usianya masih di bawah 25 tahun. Sekilas itu seperti kabar gembira di tengah-tengah kenyataan bahwa mayoritas anggota DPR adalah orang-orang tua yang sudah punya berbagai keluhan penyakit dan doyan merawat pemikiran-pemikiran karatan. Tapi itu hanya sekilas. Ketika kita telisik lebih lanjut, rupanya para anggota DPR muda itu rata-rata adalah anak pejabat. Ada yang anak gubernur, ada yang anak bupati, ada pula yang anak anggota perwira polisi. Dan para anggota DPR yang muda itu kerapkali tak ada bedanya dengan anggota DPR yang lain. Dalam arti tidak ada visi dan terobosan mentereng yang mereka miliki. Sesungguhnya itu tidak mengherankan karena patut diduga mereka menjadi anggota DPR sekadar untuk meneruskan “tongkat estafet kekuasaan” orang tua mereka, bukan atas kemauan sendiri.

Lantas, bagaimana nasib anak-anak muda dari kalangan orang-orang biasa?

Pada 2030 Indonesia diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi, di mana penduduk usia produktif akan lebih banyak daripada penduduk usia nonproduktif. Simpulan sampingannya adalah populasi anak muda Indonesia akan semakin banyak pada beberapa tahun mendatang. Dengan demikian anak-anak muda akan sering muncul di mana-mana. Peran mereka akan menjadi lebih besar daripada yang pernah kita bayangkan. Tak terkecuali juga dalam hal politik. Suara anak muda akan lebih dominan dan itu artinya suara anak muda akan banyak menentukan jalan politik Indonesia di hari ini maupun masa depan. Itulah alasannya sejumlah partai politik suka menampilkan gimik seolah-olah mereka dekat dengan anak muda. Kosakata yang kerap mereka obral adalah “milenial”. Mereka melakukan itu lantaran mereka sadar bahwa anak-anak muda akan menjadi penentu “menang-kalah” partai politik di pemilihan umum.

Mengingat kenyataan itu, anak-anak muda Indonesia mau tidak mau harus melek politik. Melek politik di sini bukan berarti harus ikut-ikutan debat panjang lebar soal politik dengan para anonim di media sosial atau mendukung figur politik tertentu dengan berapi-api seperti mendukung dakwah seorang nabi. Melek politik yang dimaksud adalah dapat memahami dinamika perpolitikan yang terjadi di Indonesia. Kita musti tahu mana saja partai politik yang berpartisipasi, tokoh-tokoh politik yang tengah berkontestasi, dan terutama gagasan serta kepentingan para aktor politik tersebut. Dengan pemahaman akan situasi politik yang sedang terjadi, kita jadi bisa menentukan sikap apa yang harus diambil kelak, apakah kita harus memilih atau tidak memilih di pemilihan umum—misalnya. Dengan pemahaman akan situasi politik terkini, kita juga jadi bisa lebih merdeka dalam bersikap, tidak hanya membebek pada orang lain atau ikut keramaian tanpa benar-benar paham apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Tapi, bagaimana kalau anak-anak muda sekarang enggan berurusan dengan politik karena sudah muak dengan kelakuan para politikus?

Itu memang urusan pelik. Tapi sayangnya, kita peduli atau tidak, kita mau berurusan dengan politik atau tidak, politik akan terus berjalan. Pemilihan akan dilangsungkan. Para pemimpin akan berganti. Kebijakan-kebijakan akan berubah. Dan semua itu akan berefek terhadap kehidupan semua orang—termasuk kehidupan orang-orang yang memutuskan enggan bersinggungan dengan politik.

Pada 2022 lalu Kementerian Kominfo memblokir PayPal, Steam hingga Epic Games. Banyak orang yang marah-marah dan merasa dirugikan atas keputusan sembrono itu. Dan banyak di antara orang-orang yang protes tersebut adalah kalangan anak muda. Dan tentu banyak pula anak-anak muda yang protes tersebut adalah anak-anak muda yang tak peduli-peduli amat pada politik. Tetapi, toh, pada akhirnya mereka musti merasakan juga dampak kebijakan dari pemerintah—yang mana orang-orang di dalam pemerintahan itu bermula dari suatu peristiwa politik. Meskipun pada akhirnya kebijakan pemblokiran sejumlah situs itu dicabut, kita dapat melihat bahwa politik bisa mempengaruhi apa saja, termasuk soal apakah kita boleh main game tertentu atau tidak.

Dengan secuplik ilustrasi di atas, kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan dan pemahaman atas situasi politik itu penting. Setidaknya dengan mempelajari politik, kita jadi bisa mereka-reka pilihan politis mana yang paling menguntungkan untuk kita, pilihan politis mana yang paling berpihak pada keadilan, dan kita juga jadi bisa bersikap kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang memang keliru. Tanpa memahami politik, kita akan kesulitan untuk bersikap kritis. Sebab, apa yang mau kita kritisi kalau kita tidak tahu apa-apa soal sesuatu yang hendak kita kritik?

Lagi pula, politik bukanlah semata-mata politik praktis, bukan hanya soal pemilihan umum dan tetek-bengeknya. Dalam makna yang lebih luas, politik adalah siasat menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika berada di sekolah, kita berpolitik. Ketika berada di tempat kerja, kita berpolitik. Ketika berada di rumah, kita berpolitik. Kita semua berpolitik dalam bentuk dan porsi yang berbeda-beda. Wabilkhusus untuk anak-anak muda, mereka tak seharusnya sekadar sebagai penonton ketika peristiwa politik terjadi. Mereka harus berperan aktif, mengikuti isu-isu publik, mengawasi jalannya pemerintahan, mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat, dan berkomitmen pada keadilan. Tentu kita sama-sama maklum manakala Bung Karno bilang soal sepuluh pemuda yang bisa mengguncang dunia, anak-anak muda yang Bung Karno maksud bukanlah yang cuma pasrah melihat segala peristiwa politik yang ada, melainkan anak-anak muda yang turut berperan aktif terhadap situasi yang terjadi di sekeliling mereka. Dan jika anak-anak muda di masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak melek politik, tidak bergerak dan melawan, kemerdekaan Indonesia tak lebih daripada mimpi yang tak akan tergapai. (*)

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *