Cryptocurrency: Alasan dan Tujuan Diciptakannya Bitcoin (Bag. 1)
Published Date: 16 June 2023
Tulisan kali ini akan membahas tentang cryptocurrency dari sisi sejarah, fungsi dan tujuannya. Secara lebih spesifik lagi adalah cryptocurrency yang dikenal dengan nama Bitcoin, karena ada banyak sekali jenis cryptocurrency yang mempunyai fungsi dan tujuan yang lebih berkembang lagi. Adapun terkait teknis, cara kerja dan definisi lainnya akan dijabarkan dengan sesederhana mungkin.
Jika ditarik lebih panjang kebelakang tentang alasan diciptakannya Bitcoin, salah satu cryptocurrency terpopuler di antara ribuan kripto, sebenarnya ada hubungannya sejak berakhirnya kesepakatan Bretton Woods di Amerika Serikat (AS) tahun 1971. Dalam kesepakatan Bretton Woods nilai 1 ons emas dipatok senilai US$35 dan berlaku flat. Jadi perdagangan dunia yang mengacu kepada Dolar AS secara tidak langsung mengacu kepada emas, salah satu komoditi paling tua dan disepakati yang digunakan dunia sebagai standar nilai tukar. Jadi jika kita punya US$35 kala itu, maka kita bisa menukarkannya dengan 1 ons emas di Amerika Serikat. Namun sejak tahun 1971, karena satu dan lain hal, pemerintah AS melepaskan diri dari kesepakatan Bretton Woods tersebut. Alhasil nilai tukar dolar terhadap emas dibiarkan mengambang sesuai mekanisme pasar. Meski begitu perdagangan dunia sampai saat ini masih mengacu pada standar Dolar AS. Detail mengenai kesepakatan Bretton Woods, dapat merujuk ke berbagai sumber di internet.
Pada akhirnya dunia ingin menyepakati dan menstandarkan alat tukar perdagangan internasional. Misalkan ketika terjadi perdagangan antar negara, katakanlah Indonesia menjual komoditas batu bara ke negara Korea Selatan, maka Won akan dikonversi dulu ke Dolar AS lalu dibayarkan ke Indonesia, sehingga cadangan devisa hasil ekspor berbentuk Dolar AS. Apabila dana tersebut digunakan untuk keperluan belanja dalam negeri maka baru dikonversikan lagi ke Rupiah Indonesia. Selanjutnya jika Dolar AS tersebut digunakan untuk impor daging sapi dari Australia maka daging tersebut dinilai juga dengan Dolar AS bukan Dolar Australia. Meski tidak ada campur tangan USA sama sekali dalam contoh transaksi tersebut.
Mengapa harus begitu? Padahal Dolar AS sudah tidak mengacu lagi terhadap emas, sama seperti uang kertas negara lain pada umumnya. Jawaban sederhananya, karena:
- Dolar AS sudah terlanjur dipercaya sebagai mata uang internasional karena dianggap ‘lebih kuat’.
- Dolar AS ‘dikondisikan’ dengan kesepakatan dan politik untuk menjadi mata uang internasional.
- AS adalah salah satu pemain ekonomi terbesar di dunia.
Masa Krisis KPR
Dampak lain dari bubarnya kesepakatan Bretton Woods adalah AS bebas mencetak uangnya (melalui The FED) tanpa harus di-backup oleh cadangan emas. Dengan kata lain cetak Dolar AS hanya ‘modal angin’ saja. Masalahnya adalah, itu tidak dapat dilakukan sembarangan oleh negara lain. Ketika suatu negara mencetak mata uangnya secara membabi buta maka akan terjadi hyperinflation seperti contoh Indonesia pada tahun 1960-an atau Zimbabwe pada saat ini. Namun Dolar AS bisa melakukan hal tersebut tanpa terjadi inflasi yang berarti. Selembar kertas bertuliskan US$100 bisa ditukar dengan sekitar 100 liter beras sedangkan selembar kertas bertuliskan Rp100.000.- hanya bisa mendapatkan 7 liter beras, padahal sama-sama kertas (uang fiat). Hal tersebut bisa terjadi, salah satunya, karena ia menjadi mata uang internasional yang digunakan oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Hasil cetak Dolar AS itu akan menyebar merata ke seluruh dunia sehingga efek inflasi-nya tidak terlalu signifikan.
Aksi cetak Dolar AS terus dilakukan sejak tahun 1971 sampai dengan saat ini. Namun aksi cetak Dolar AS paling signifikan dimulai ketika terjadi krisis yang disebut dengan Subprime Mortgage tahun 2008. Singkatnya, sejak ada pelonggaran kredit kepemilikan rumah (KPR a.k.a Mortgage) di AS, membuat nasabah yang sebenarnya tidak layak menjadi dianggap layak dan diberikan KPR oleh Bank. Nasabah KPR membludak, lalu di antara sekian banyak nasabah tersebut tentu akhirnya ada yang macet pembayaran KPR-nya. Bukannya dilikuidasi tapi nasabah yang kreditnya macet itu, oleh bank malah dikumpulkan dalam satu kategori yang disebut dengan istilah Subprime. Kumpulan subprime ini dikemas lebih lanjut menjadi 1 produk investasi (semacam surat hutang) yang diperjual-belikan dengan harga murah layaknya obligasi oleh bank kepada para manajer investasi, dana pensiun dan lembaga keuangan lain di AS (salah satunya Lehman Brother) dengan iming-iming bunga yang tinggi karena sekali lagi, ini isinya ‘barang busuk’ atau kumpulan kredit macet. Sudah tahu kredit bermasalah kenapa masih mau beli? Inilah kerakusan para investor di AS. Ketika itu mereka berpikir jika kreditnya macet, nasabah gak sanggup bayar ya tinggal sita aset rumahnya, lalu jual lagi ke nasabah lain, untung bisa dobel karena konon katanya, “harga rumah selalu naik.” Masalahnya adalah ternyata nasabah yang macet ini jumlahnya sangat banyak dan akhirnya BOOM! Meletuslah bubble KPR pada tahun 2008 yang dikenal dengan istilah krisis Subprime Mortgage. Dalam waktu singkat harga rumah turun drastis karena supply lebih banyak daripada demand. Seketika itu juga lembaga keuangan terkait mengalami kekurangan likuiditas karena banyak ‘aset busuk’ yang tidak bisa dicairkan dalam waktu singkat (bahkan merugi). Silakan baca tulisan sebelumnya tentang sistem kerja perbankan yang disebut dengan Fractional Reserve Banking (FRB) untuk memahami lebih lanjut.
Jika suatu usaha/perusahaan bangkrut, logikanya adalah seluruh asetnya akan disita dan dijual untuk menutup seluruh hutang-hutangnya (kewajibannya). Namun karena skala-nya sudah terlalu besar dan bersifat sistemik yakni menyangkut perbankan nasional, maka Pemerintah AS terpaksa harus turun tangan (too big to fail). Kebijakan moneter langsung dilaksanakan yaitu cetak uang dollar untuk disuntik ke lembaga keuangan yang bermasalah itu tadi. Aksi cetak uang ini dikenal dengan istilah Quantitative Easing (QE). Jika tidak dilakukan maka perekonomian AS bisa ambruk seketika. Tak tanggung-tanggung QE yang digelontorkan mencapai ratusan (bahkan triliunan) dollar yang dilakukan secara bertahap selama beberapa tahun, sejak 2008 s.d. 2014.
Kelahiran Bitcoin
Berangkat dari hal tersebut muncullah sosok yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto yang meluncurkan white paper-nya tentang teknologi blockchain yang dengan segala kecanggihannya memiliki tujuan untuk menggantikan dolar sebagai mata uang dunia yang disebut dengan Bitcoin.
Bitcoin ini didesain khusus dengan 3 keunggulan utama yang tidak dimiliki mata uang fiat di seluruh dunia, sebagai berikut:
- Jumlahnya dibatasi hanya 21 juta unit.
- Tidak memerlukan pihak ketiga (bank dan lembaga moneter lain) dalam mekanisme pencetakan, peredaran dan pertukarannya.
- Sangat aman dengan memanfaatkan teknologi blockchain dan bersifat peer to peer sehingga hampir tidak mungkin digandakan atau dibobol hacker dan sejenisnya.]
Tiga kelebihan di atas sangat bertolak belakang dengan mata uang fiat yang berlaku di seluruh dunia saat ini. Sejak mata uang fiat menganut sistem mengambang bebas dan tidak mengacu pada cadangan emas maka pemerintahan suatu negara bebas mencetak uangnya berapapun, kapanpun dia mau (asal tidak hiperinflasi). Hal ini memicu rasa ketidak adilan, kecemburuan dan kemarahan yang pada akhirnya memicu seorang Satoshi Nakamoto untuk menciptakan mata uang Bitcoin yang bertujuan untuk menggantikan mata uang (Dolar AS) sebagai alat tukar yang lebih terpercaya dengan dibatasinya jumlah unit.
Bitcoin adalah perintis pertama penggunaan cryptocurrency menggunakan teknologi blockchain sebagai alat tukar masa depan bagi sebagian pendukungnya. Harapannya adalah tidak ada lagi kesewenang-wenangan suatu lembaga keuangan (Bank Sentral) maupun negara yang dengan ‘modal angin’ mencetak kertas (M0 s.d. M2) yang kemudian ditukar dengan komoditas lain seperti beras, minyak, batu bara, tembaga, dan lain sebagainya dengan jumlah yang berlipat ganda daripada nilai kertas (uang) itu sendiri.
Namun benarkah demikian? mampukah crypto currency menggantikan mata uang dunia? Insyaallah akan kita ulas pada tulisan selanjutnya.