Cryptocurrency: Antara Halal dan Haram (Bag.3 – Selesai)

Sama seperti dilema yang dialami oleh sebuah negara, komunitas Islam juga harus mengalami dilema akan status dari cryptocurrency. Meski demikian kita memahami bahwa Islam adalah agama yang kaffah, dimana syariat telah mengatur segala perkara sampai akhir zaman, termasuk dalam perkara ini, yang masuk dalam ranah pembahasan fikih kontemporer para ulama.  Jika negara menyatakan legal atau ilegal secara hukum positif, maka Islam akan menyatakan halal atau haram menggunakan timbangan syariat. 

Saat artikel ini disusun, komunitas Islam masih terus mengalami pro dan kontra terkait hukum bitcoin. Namun yang perlu digarisbawahi, pro (setuju) di sini bukan berarti mendukung, merekomendasikan, menganjurkan tapi statusnya hanyalah tidak mengharamkan, atau minimal membolehkan transaksi atas hal tersebut. Sementara kontra (ketidaksetujuan) berarti mengharamkan cryptocurrency sesuai timbangan syariat. .

Dari apa yang penulis dapati  (khusus di Indonesia)), pihak yang mengharamkan cryptocurrency adalah dari kalangan PWNU Jawa Timur, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa Ulama Salaf di Indonesia. Sejauh penelusuran penuli,  pihak yang mengharamkan tersebut belum berbentuk fatwa lembaga/institusi, namun hanya berdasarkan berita dari sumber yang terafiliasi  atau hanya bersumber dari pernyataan, rubrik tanya-jawab  perorangan (fatwa pribadi). Hingga artikel ini dibuat (27/5), penulis belum menemukan bentuk fatwa lembaga dalam website resmi terafiliasi lembaga tersebut. Seperti pada laman resmi lembaga berikut:

Namun secara umum belum ada fatwa resmi dari 2 lembaga di atas terkait fatwa hukum cryptocurrency. Sedangkan sumber yang mewakili pendapat fatwa haram 2 lembaga di atas diperoleh dari laman berikut:

Adapun Muhammadiyah, sebagai salah satu ormas Islam terbesar, tidak mengakui cryptocurrency sebagai mata uang. Menurut mereka sebab syarat mata uang adalah diterima oleh masyarakat umum dan diakui oleh negara. Sementara itu pihak yang tidak mengharamkan, sejauh yang penulis temui sampai dengan saat ini, bersumber dari Nahdlatul Ulama: https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-transaksi-dengan-bitcoin-1sQB9

Cryptocurrency dalam Fatwa

Satu lagi adalah fatwa pribadi Ustaz yang dikenal di Kalangan Salafy, Musyafa Ad Dariny hafizhahullah, pada laman Facebook-nya yang diposting tanggal 18 Januari 2022. Beberapa poin inti dari permasalahan halal/haram dari berbagai pernyataan dan fatwa pribadi tersebut adalah:

  • Penggolongan Entitas Cryptocurrency

Saat ini fenomena cryptocurrency sudah diketahui oleh umum, sehingga harus didefinisikan dan digolongkan dalam jenis apa, agar selanjutnya dapat ditarik lebih lanjut terkait hukum syariat yang mengikutinya. Jika digolongkan sebagai mata uang, maka hukum terkait mata uang berlaku baginya seperti hukum valuta asing, riba, dan sebagainya. Jika digolongkan sebagai komoditas maka beda pula hukum syariat yang berlaku padanya seperti komoditas emas, perak, ataupun minyak. Hal yang menjadikan rumit adalah cryptocurrency merupakan produk digital yang tidak akan pernah ada wujud fisiknya seperti pada status hak cipta, lisensi, merk dagang. Namun di satu sisi, keberadaanya diakui dan bernilai. Dan nilai yang melekat sifatnya subyektif kesepakatan para pihak terkait. Jadi jika fatwa tersebut berlandaskan bahwa cryptocurrency tidak ada wujud fisiknya maka akan kurang tepat.

  • Aspek Legalitas

Legalitas disini adalah berupa pengakuan dari lembaga resmi negara. Saat ini sebagian besar negara-negara di dunia tidak mengakui cryptocurrency sebagai mata uang, namun masih mengakui cryptocurrency sebagai komoditas sehingga regulasi yang diberlakukan diatur dan diawasi oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi – khusus untuk Indonesia). Dalam hal ini Ustaz Musyafa Ad Dariny hafizhahullah mengakui sebagai komoditas karena mengikuti pemerintah Indonesia yang mengakuinya, sehingga komoditas disini bernilai dan dapat dijadikan aset digital, selanjutnya hukum syariat yang berlaku mengikuti peraturan jual/beli komoditas pada umumnya. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui info di web mui.or.id (belum berbentuk fatwa resmi lembaga) tidak menganggapnya sebagai mata uang maupun komoditas.

  • Faktor Nilai dan Underlying

Nilai di sini adalah harga/angka yang disepakati antara penjual dan pembeli, sedangkan underlying adalah acuan dasar dari harga/angka tersebut. Misalkan saham maka harganya digambarkan sesuai dengan running trade di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan underlying dari saham tersebut adalah aset berdasarkan nilai buku perusahaan yang berupa mesin produksi, bangunan pabrik, tanah, dan sebagainya. Pada cryptocurrency hanya ada nilai harga, dan tentu saja tidak ada underlying fisik dibalik kripto itu sendiri, karena sekali lagi cryptocurrency adalah entitas digital.

Hal yang menjadi acuan nilai pada cryptocurrency  (khususnya Bitcoin) adalah karena faktor kelangkaan (hanya 21 juta unit di dunia)  dan dari kesepakatan pasar (komunitas kripto). Apakah secara syariat hal demikian dapat diterima? Satu yang dipahami ialah meski tidak ada wujud fisik bukan berarti sesuatu itu tidak bernilai.

‘Nilai’ yang terkandung dalam cryptocurrency bersifat sangat subjektif seperti karya seni/barang antik atau barang unik lainnya. Nilainya terkadang sangat tergantung dari siapa yang menilai dan apa yang menjadi objeknya. Sama-sama lukisan di atas kanvas, tapi  nilai karya seniman pinggir jalan dan karya Affandi tentu terpaut jauh harganya. Tidak adanya underlying ini sebenarnya lebih mirip kaitannya dengan mata uang fiat suatu negara, yaitu sama-sama tidak dibackup oleh cadangan emas (setelah berakhirnya kesepakatan Bretton Woods 1971). Hanya saja mata uang fiat diakui oleh negara, tapi kripto tidak diakui negara.

‘Nilai’ yang dilekatkan dalam Bitcoin oleh komunitasnya juga seakan tidak masuk akal, tergantung komunitas yang menilai. Sama seperti para penggemar brand barang mewah seperti Hermes, Louis Vuitton, Chanel yang menghargai tas tersebut senilai ratusan juta sampai miliaran rupiah.

  • Faktor Fluktuasi

Dalam keterangan yang disebutkan sebagai salah satu alasan haramnya cryptocurrency adalah faktor fluktuasi harga kripto itu sendiri, dimana dalam waktu yang relatif singkat harganya bisa naik sangat tinggi dan juga sebaliknya, harganya jatuh tajam sehingga menimbulkan kerugian bagi investornya. Namun apakah faktor fluktuasi bisa dijadikan acuan halal/haram? Berapa % fluktuasi yang dalam batas wajar/tidak wajar? Sedangkan fluktuasi bisa juga terjadi dalam setiap komoditas fisik lainnya. Misal batubara dari harga US$50/ton pada tahun 2020 menjadi US$400/ton pada tahun 2022 (naik sekitar 700%). Lalu pada bulan Mei 2023 sudah turun lagi menjadi US$ 150 (turun sekitar -60%). Wajarkah fluktuasi demikian?

Ada juga fenomena tanaman bernama  gelombang cinta, anthurium, maupun aksesoris batu akik yang sempat ramai di masyarakat Indonesia. Akan tetapi apakah ada fatwa haram terhadap tanaman maupun batu akik tersebut? Fluktuasi adalah salah satu bagian dari mekanisme pasar, dimana penawaran dan permintaan sangat berperan dalam menentukan tinggi/rendah fluktuasi suatu barang/jasa. 

Kesimpulan tentang Cryptocurrency

Beberapa poin yang penulis dapat tarik kesimpulan dari berbagai fenomena di atas adalah sebagai berikut:

  1. Cryptocurrency sebagai salah satu entitas digital adalah fenomena nyata yang telah terjadi.
  2. Kaum muslimin sendiri belum menyepakati (masih diperdebatkan) status cryptocurrency apakah ia masuk sebagai mata uang, komoditas ataukah hanya scam. 
  3. Dalam menentukan status cryptocurrency, negara Indonesia mengakuinya sebagai salah satu jenis komoditas sehingga fungsi, tujuan dan regulasinya jelas.
  4. Ketika artikel dibuat, penulis belum menemukan fatwa resmi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam bentuk fatwa lembaga. Hal ini mengindikasikan (kemungkinan) belum disepakatinya fatwa tersebut oleh Dewan Syariah Nasional MUI itu sendiri.
  5. Fluktuasi itu sendiri akan menimbulkan spekulasi, spekulasi lebih condong pada judi. Namun fluktuasi tidak dapat dijadikan dasar bahwa sesuatu itu adalah judi. Adapun sifat spekulasi tersebut bisa terjadi pada apa saja, tidak hanya kripto, dan spekulasi yang tinggi inilah yang diharamkan.

Tulisan ini lebih banyak merujuk kepadacryptocurrency Bitcoin saja di antara ribuan jenis cryptocurrency lain, yang tentu saja berbeda dan butuh pembahasan lebih jauh lagi. Berdasarkan kaidah, “Segala muamalah duniawi adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkan,” maka pihak yang mengharamkan harus mendatangkan bukti yang jelas keharamannya. Namun adapula kaidah, “Apabila ada maslahat dan mudharat maka menghindari mudharat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat”. 

Berdasarkan website https://coinmarketcap.com/ per tanggal 31 Mei 2023 sudah ada 10.208 buah kripto, dan mungkin masih akan bertambah. Siapapun dan kapanpun seseorang yang mempunyai kemampuan men-generate coding cryptocurrency berkesempatan untuk membuat kriptonya sendiri, termasuk beberapa artis asal Indonesia yang juga mengikuti hype cryptocurrency lalu ikut membuat jenis kriptonya sendiri. Dan memang kenyataannya adalah lebih dari 90% cryptocurrency berakhir dengan zonk alias scam. Maka dari itu sebagian ulama dan pemerintah melarang akan transaksi kripto (dan produk sejenisnya) dengan tujuan pada perlindungan kepada masyarakat dari sifat serakah. Dan juga jangan semata faktor hype lalu dengan spekulatif (judi) membeli/berinvestasi pada cryptocurrency tanpa tahu itu apa, bagaimana, untuk apa hal tersebut dibuat sehingga berujung pada kerugian finansial.

Jika mengacu pada prinsip sesuatu dihukumi sesuai dengan keumumannya, maka 90% lebih kripto berujung scam sangat masuk akal jika lebih baik dihindari. Namun penulis juga tidak menggeneralisir bahwa semua jenis kripto adalah scam. Kuncinya adalah perlu pembahasan lebih detail terhadap setiap jenis kripto, karena setiap kripto punya tujuan dan alasan tertentu kenapa ia diciptakan. Definisi dan fatwa pada masing-masing kripto juga akan bisa berbeda.

Wallahu’alam bishawab, nashalallaha al’afiyah.

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *