Fractional Reserve Banking, Mengenal Salah Satu Sistem Penting dalam Perbankan Dunia

Tulisan kali ini bertujuan untuk memahami sistem cara kerja perbankan secara umum yang berlaku di seluruh dunia dengan sederhana. Baik perbankan konvensional maupun syariah, di Indonesia maupun mancanegara. Kita tidak akan membahas setuju/tidak setuju, halal/haram yang berkaitan langsung dengan hukum syariah terkait hal tersebut. Sistem tersebut dikenal dengan istilah Fractional Reserve Banking yang disingkat FRB. Pengertian secara umumnya adalah sistem yang dilakukan bank untuk mengelola dana nasabahnya untuk digunakan sebagai kredit untuk nasabah lainnya sehingga mempengaruhi peredaran uang di suatu negara

Masih bingung? Mari kita lihat gambar analogi sederhana dibawah ini.

  • Misalkan Agus menyimpan uangnya di Bank A sebesar Rp110 juta sebagai tabungan biasa yang dapat diambil sewaktu-waktu, lalu dana tersebut dikelola oleh bank A dengan disalurkan sebagai pinjaman kredit kepada seseorang yang bernama Pak Budi yang ingin membuka sebuah toko sebesar Rp100 juta. 
  • Toko tersebut akhirnya berjalan dan punya karyawan bernama Caca, yang digaji sebesar Rp10 juta/bulan. 
  • Lalu dengan uang gajinya, Caca membeli smartphone baru dari Dedi seharga Rp5 juta, untuk kemudian hasil jualan smartphone-nya semuanya ditabung oleh Dedi di Bank A. 
  • Tak berapa lama kemudian pak Eko meminjam uang dari Bank A sebesar Rp90 juta untuk membeli motor sport dari Pak Adi. Hasil penjualan motor itu langsung dimasukan ke Bank A oleh Pak Adi.

Jika kita cermati dalam cerita analogi sederhana di atas, maka dapat kita tarik benang merah bahwa uang tabungan sebesar Rp110 juta dapat mendorong perputaran ekonomi sampai dengan Rp205 juta alias hampir 2x lipat uang awal yang hanya Rp110 juta di awal tadi. Nah, Rp110 juta yang berupa uang real cash inilah yang disebut oleh para ekonom sebagai bentuk M0 yaitu uang asli yang benar-benar cair, yang beredar pada suatu negara yang berbentuk fisik seperti kertas, koin, dan lain-lain. Lalu tabungan Pak Agus, Dedi dan Pak Adi sebesar Rp205 juta ini disebut M1 yang meliputi seluruh M0 ditambah tabungan, deposito, dan lain-lain. Misalkan dana mengendap di Bank A di atas diinvestasikan lagi sebesar Rp100 juta ke obligasi negara. maka itu masuk kategori M2 yaitu M0 + M1 + berbagai investasi berupa obligasi, sukuk dan bentuk investasi jangka panjang lainnya. Beberapa ekonom ada yang mengkategorikan sampai dengan M3 tergantung seberapa likuid, jangka waktu perputaran, dan lain sebagainya.

Dari kisah di atas kita jadi paham bahwa peran perbankan sangat vital dalam perputaran ekonomi suatu negara. Berikut data peredaran mata uang rupiah berdasarkan https://tradingeconomics.com/ 

Jumlah M0 Rupiah per Maret 2023 adalah Rp832,8 triliun dan jumlah M1 sebesar Rp4.561,7 Trilyun. Itu berarti daya ungkit (leverage) ekonomi yang terjadi mencapai 447,8 % alias 4x lipatnya. (belum jika memperhitungkan bentuk M2 sekitar Rp8.293.6 triliun). Dengan kata lain hal tersebut mencakup 90% aktivitas ekonomi. Jika terjadi krisis yang bersifat sistemik pada perbankan suatu negara, maka hancurlah perekonomian negara tersebut.

Resiko dalam Fractional Reserve Banking

Jangan lupa dalam setiap leverage mengandung yang namanya resiko. Dan resiko terbesar bagi perbankan adalah ketika nasabahnya melakukan penarikan serentak dalam jumlah besar (bank run/money rush). Ingat dalam analogi kisah Bank A di atas dana real yang disimpan di bank hanya Rp110 juta. Bagaimana jika misalnya Bank A diserang hacker, server bank A diinfeksi ransomware sehingga layanan perbankan di bank A mati sampai berhari-hari. Otomatis nasabah jadi panik, 1 penarikan besar oleh nasabah akan diikuti kepanikan besar oleh nasabah lain. Bagaimana jika Agus, Dedi dan Adi menarik tabungannya secara serentak (total Rp205 juta) sedangkan saldo real-nya hanyalah Rp110 juta (itupun sebagian sudah disalurkan sebagai kredit)?. Bank akan bangkrut dalam waktu sekejap. Itulah mengapa dalam bisnis perbankan kepercayaan adalah hal mutlak, kepercayaan hilang = wassalam. 

Jika itu terjadi pada satu bank saja mungkin tidak terlalu masalah bagi perekonomian suatu negara. Nasabah hanya akan memindahkan uangnya dari bank A ke bank B. Namun bagaimana jika itu terjadi pada banyak bank di suatu negara secara serentak?. Hampir dapat dipastikan perekonomian negara itu akan langsung ambruk. Nasabah yang gagal menarik uang mereka akan mengamuk dan terjadi kerusuhan. Yang berhasil tarik uangnya akan mengamankan asetnya ke luar negeri karena merasa di dalam negeri tidak aman. Permintaan valas naik yang mengakibatkan nilai rupiah melemah terjadilah inflasi (inflation by supply). Karena inflasi harga barang-barang naik, sebagian masyarakat tidak sanggup membeli sembako lalu terjadi bencana kelaparan dan seterusnya.

Itulah mengapa fungsi Bank dalam sebuah negara sangat penting dan vital sebagai ujung tombak perekonomian. Jika terjadi apa-apa dalam bidang ekonomi (katakanlah krisis ekonomi) maka yang pertama akan diselamatkan adalah perbankan nasional dengan segala cara, biasanya akan disuntik pendanaan oleh pemerintahan (bailout) seperti program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN saat 1998) dll. Di Amerika terkenal dengan istilah Quantitative Easing (QE) alias cetak duit untuk menyuntik perekonomian US agar tidak collapse.

Kasus bangkrutnya bank karena terjadinya bank run baru-baru ini terjadi di Amerika pada Silicon Valley Bank (SVB) dan beberapa rekan bank sejenisnya. Secara garis besar SVB merupakan bank yang sehat, asetnya berkualitas (sebagian besar surat utang negara), namun krisis yang menimpa nasabahnya (nasabah SVB kebanyakan adalah startup) memaksa nasabahnya menarik dana dalam jumlah besar untuk menutup biaya operasionalnya. Aset SVB terpaksa dijual rugi untuk memenuhi likuiditas. Seperti yang kita tahu, kebanyakan startup ini belum dapat menghasilkan cash flow yang positif karena masih “bakar duit”. Seluruh operasional startup didanai oleh investor. Sejak Bank Sentral Amerika (FED) menaikkan suku bunga, maka para investor ini tidak berminat lagi investasi di startup, alhasil banyak startup yang bertumbangan. Sisa startup yang masih punya dana segera mencairkan dana mereka yang ada di bank untuk membiayai operasionalnya. Beberapa penarikan besar yang dilakukan startup membuat likuiditas SVB makin tipis, melihat gelagat SVB yang mulai kekurangan cash membuat nasabah jadi panik, lalu daripada dananya nyangkut, sekalian tarik duluan sebisa mungkin. Masalahnya semua nasabah berpikir demikian, alhasil collapse-lah SVB karena di-rush nasabahnya sendiri. 

Itulah kelebihan dan kekurangan Fractional Reserve Banking (FRB) yang digambarkan dengan sederhana. Realitanya tentu lebih rumit lagi dijelaskan. Daya ungkit ekonominya memang besar, namun resikonya tak kalah besar. 

Jika tidak ada FRB maka tidak ada Pak Budi yang membangun toko baru, tidak ada toko baru berarti Caca juga tidak bisa membeli HP baru. Tidak ada penjualan HP berarti Dedi juga tidak bisa menabung di Bank, dan begitu seterusnya. Lalu muncul pertanyaan, “Bisakah FRB diterapkan pada perbankan tanpa sistem bunga?”. Pertanyaan ini mungkin bisa dijawab oleh pakar ekonomi syariah. Ingat, yang membuat bank (konvensional) itu haram bukan lembaga bank-nya, tapi transaksi yang ada di dalamnya (akad riba). Bunga atau rate ini berfungsi untuk mengambil laba untuk membiayai operasional bank, menarik minat nasabah untuk menyimpan uang di bank, dan sebagai “alat” bagi bank sentral untuk mengendalikan peredaran uang dan ekonomi secara keseluruhan. 

Jika ada cara lain selain bunga yang bisa mengakomodir fungsi diatas tentu hal tersebut layak diusahakan. Namun sebatas pengetahuan penulis saat ini, melihat realita di lapangan belum ada satupun negara yang bisa menerapkan. Bagaimana sistem perbankan di negara Saudi Arabia dan negara islam lainnya? Wallahu’alam.

 

Referensi:

https://tradingeconomics.com/indonesia/indicators. Diakses pada 15 Mei 2023.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *