Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dan Lahirnya Kesadaran Persatuan [Bag.1]
Published Date: 23 May 2023
Halo teman-teman, tau gak kalau tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Sebenarnya Hari Kebangkitan Nasional merupakan hari lahirnya organisasi Budi Utomo loh! Budi Utomo sendiri adalah organisasi yang didirikan oleh mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen-STOVIA yang tujuan awalnya membentuk “Dana Belajar” atau beasiswa bagi masyarakat bumiputera yang ingin melanjutkan studinya kemudian diperluas jangkauannya bergerak ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Hal ini didasari oleh realita kehidupan masyarakat bumiputera masa itu mengalami banyak diskriminasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Mahasiswa STOVIA sadar bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengangkat kedudukan dan martabat rakyat.
Wah, bisa dibayangkan ya betapa majunya pemikiran para mahasiswa STOVIA untuk meningkatkan pendidikan di Hindia Belanda. Walaupun padatnya kegiatan perkuliahan sebagai mahasiswa kedokteran, mereka sangat aware terhadap nasib rakyat loh! Selain mendirikan organisasi Budi Utomo, para mahasiswa STOVIA juga banyak andil dalam berbagai kongres yang berpengaruh besar dalam sejarah Indonesia. Bukan kaleng-kaleng deh dedikasi pemuda masa itu, mental dan pemikirannya sekuat baja.
Nah teman-teman, berhubung masih dalam momen kebangkitan nasional, penulis ingin sharing tentang perkembangan pendidikan kedokteran di Weltevreden sebagai cikal bakal pendidikan kedokteran di Indonesia dan pengaruhnya terhadap kesadaran kebangsaan. Happy reading!
Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden
Secara geografis Weltevreden berada di pinggir Batavia lama yang berjarak 10 kilometer ke arah selatan, daerah ini dulunya menjadi tempat tinggal utama orang-orang Eropa. Berdasarkan laman resmi Pemprov DKI Jakarta, Kota baru tersebut menjadi pusat pemerintahan masa Gubernur Jendral Daendels, letaknya saat ini berada di wilayah RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah, Jakarta Pusat. Di masa pendudukan Jepang, wilayahnya melingkupi seluruh daerah di Jakarta Pusat.
Pendirian pendidikan kedokteran bermula dengan munculnya berbagai penyakit di Karesidenan Banyumas, kondisi tersebut menjadi wabah yang membuat Pemerintah Hindia Belanda kesulitan menangani serta kekurangan tenaga medis. Hal ini yang mendorong dr. W. Bosch selaku Kepala Dinas Kesehatan saat itu membentuk kelompok dokter yang berasal dari penduduk pribumi sehingga mampu mengobati dan memenuhi kebutuhan kesehatan di Hindia Belanda.
Tahun 1851 pendidikan kedokteran di Weltevreden dimulai dengan nama Sekolah Dokter Djawa, tujuannya untuk mendidik para pemuda Jawa yang mampu membaca dan menulis huruf Jawa dan Melayu serta memiliki bakat dan minat menjadi tenaga medis praktis di rumah sakit militer di Jawa. Sekolahnya berada di kompleks Rumah Sakit Militer. Bahasa pengantar perkuliahan adalah bahasa Melayu, dengan masa studi 2 tahun untuk mempelajari prinsip-prinsip berhitung Belanda, ilmu ukur, geografi (Eropa dan Hindia Belanda), astrologi, ilmu kimia non-organis, ilmu alam, ilmu perkakas, geologi, ilmu tanaman, ilmu hewan, kebidanan, dan ilmu bedah. Di tahun 1853, terdapat 11 lulusan pertama yang memulai karirnya sebagai petugas vaksin dan dokter bagi masyarakat di daerah-daerah. Mahasiswa yang telah lulus diberi gelar Dokter Djawa dan mendapat honor sebesar ƒ10 kemudian ƒ15/bulan, sampai saat itu hanya pemuda Jawa yang diterima di sekolah tersebut.
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan terus dilakukan dengan melakukan reorganisasi sekolah di tahun 1864. Jumlah mata pelajaran diterapkan sebanyak 27 dengan jumlah murid maksimal 50 siswa dan masa pendidikan selama 3 tahun. Ada pula kenaikan honor sebesar ƒ30/bulan serta wewenangnya pun diperluas. Dokter Djawa ditugaskan di bawah perintah langsung para kepala pemerintah wilayah dan dibekali kotak penuh obat. Kurikulum sekolah pun diperbaiki dengan memasukan mata pelajaran seperti kosmografi, geologi, mineralogi, bedah mayat, kedokteran kehamilan, dan kedokteran kepolisian.
Di sekolah, terbukti bahwa Bahasa Melayu tidak cocok sebagai pengantar pendidikan, karena bagi kebanyakan orang tidak mempunyai istilah ilmiah yang sepadan. Selain itu, keterbatasan pengajar di Dinas Kesehatan Militer menjadi kendala bagi peningkatan pendidikan. Dilakukan lagi reorganisasi di tahun 1875 yang membagi sekolah dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan selama 2 tahun yang mempelajari Bahasa Belanda dan tahap kedokteran selama 5 tahun yang mempelajari mata pelajaran kedokteran umum (anatomi, fisiologi, patologi umum dan terapi, prasarana kedokteran, pengetahuan farmasi, kesehatan, dan ilmu bedah), ilmu alam, ilmu kimia, ilmu tanaman, serta serta ilmu hewan, selanjutnya sejak saat itu bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Belanda.
Pada tahun 1896 terdapat pergantian Direktur Sekolah Dokter Djawa yang baru yaitu dr. H.F. Roll yang berjuang untuk memperbaiki kualitas maupun kuantitas Dokter Djawa dengan rencananya ingin melakukan reorganisasi. Perbaikan penting dilakukan pada 1900-1902, tidak ada lagi Dokter Djawa melainkan diganti menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dengan gelar dokter bumiputera. Para calon murid dapat mengikuti ujian tertulis di seluruh wilayah Hindia, tidak datang ke Batavia dan kurikulum yang digunakan setara dengan kurikulum sekolah kedokteran di Utrecht. Gedung sekolah baru di bangun, dengan berbagai macam fasilitas penunjang seperti asrama siswa, ruang kelas, ruang rekreasi, gymnastic, dan ruang laboratorium. Kemudian dibuka kesempatan untuk siswa dari seluruh daerah di luar Jawa untuk mendaftar ke STOVIA.
Di tahun 1901 dibuat peraturan mengenai ikatan dinas, isi peraturannya adalah lulusan wajib secara moral melaksanakan tugas-tugas sebagai pengganti biaya pendidikan yang telah dinikmatinya. Peraturan baru ini memuat ketentuan bahwa murid yang telah memperoleh ijazah dokter bumiputera mengabdi kepada pemerintah setidaknya selama 10 tahun. Gaji awal mereka ditetapkan sebesar ƒ150/bulan dengan kenaikan tiga tahun dari ƒ25 menjadi ƒ250/bulan.
Kegiatan pembelajaran dilakukan di gedung sekolah baru yang sekarang dinamakan gedung kebangkitan nasional yang dijadikan sebagai museum. Pada 1907, bangunan sekolah diperluas dengan sebuah bangunan terpisah yang digunakan untuk pendidikan praktis dalam ilmu kimia, mikroskop, dan ilmu persiapan dokter. Pada tahun 1910, lembaga pendidikan ini menerima penghargaan medali emas dan ijazah kehormatan atas perkembangan pendidikan yang baik dengan fasilitas yang memadai bangunan, asrama, dan laboratorium.
Pada tahun 1913, pemerintah membuka sekolah persiapan di Surabaya (NIAS) dan merancang sekolah kedokteran selama 7 tahun. Selain itu sekolah dibuka bagi para murid dari semua etnis, baik pria maupun wanita dengan tunjangan belajar dari dinas pemerintah atau atas biaya sendiri bagi swasta. Sehubung dengan itu, gelar yang diberikan diubah dari Dokter Bumiputera menjadi Dokter Hindia.
Pada tahun 1914, pengaruh perang dunia berdampak pada kondisi kedokteran di Hindia Belanda, awalnya muncul gangguan penyaluran pasokan peralatan dari Eropa yang sangat menghambat praktikum. Selanjutnya awal masuk sekolah ditunda beberapa minggu karena beberapa tenaga pengajar yang ditunggu kehadirannya dari Eropa tidak bisa datang tepat waktu, untuk sementara dalam hal ini banyak pengajar yang tersedia di Hindia Belanda mengambil alih mata pelajaran. Kondisi seperti ini berakhir di tahun 1915. Di rentan waktu 1913 dilakukan pembangunan gedung baru di daerah Salemba, tujuannya untuk menyediakan fasilitas yang lengkap dalam proses pembelajaran dan memperluas wilayah sekolah dengan pindah ke daerah Salemba. Pada 1919 ruang gambar di gedung Salemba mulai digunakan untuk para pemula, demikian pula apotek pendidikan untuk bagian kedokteran mulai dibuka. Pada 5 Juli 1920, seluruh kegiatan pendidikan dipindahkan ke Salemba dan gedung lama digunakan sebagai asrama. Di tahun 1922, STOVIA meluluskan dokter wanita pertama di Hindia Belanda yaitu Marie Thomas, kemudian pada tahun 1924 lulus pula Anna Warouw sebagai Dokter Hindia. Suatu kehormatan bagi dua wanita yang lulus sebagai Dokter Hindia, bantuan kesehatannya pun sangat dihargai terutama terhadap wanita muslim.
Di tahun 1926 seluruh kegiatan termasuk asrama siswa sudah dipindahkan ke Salemba dan kegiatan di gedung lama sudah dihentikan. Sekolah tinggi kedokteran dalam waktu singkat berkembang di Salemba, berbagai persoalan muncul yang juga diusahakan diselesaikan oleh STOVIA. Sekolah kedokteran berubah menjadi pendidikan tinggi dan memberikan kebebasan bagi murid untuk melakukan kajian seluas-luasnya dalam bidang medis dan kedokteran.
Referensi:
- A.De Waart. (1926). Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden. Waltevreden: G. Kolff & Co
- Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2019). Sejarah Nasional Indonesia V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
- Rahman, Momon Abdul, dkk. (2008). Sumpah Pemuda Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda
- Maziyah, Siti. (2009). Peran STOVIA dalam Pergerakan Nasional di Indonesia. URL: http://eprints.undip.ac.id/25984/1/PERANAN_STOVIA_DALAM_PERGERAKAN_NASIONAL_DI_INDONESIA-Siti_Maziah.pdf
2 thoughts on “Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dan Lahirnya Kesadaran Persatuan [Bag.1]”