Perkara yang Tak Kamu Ketahui tentang Jakarta

Mendengar kata ‘Jakarta’, apa yang pertama kali muncul di benak? Macet, polusi, banjir kiriman, sungai ciliwung, gedung-gedung pencakar langit, pusat industri, mal mewah, individualis, anak kota, high lifestyle, kriminal, pergaulan bebas. Apalagi? Tentu akan sangat banyak hal-hal yang merepresentasikan kata ‘Jakarta’ seiring dengan persepsi yang masing-masing kita kembangkan.

2020. Tahun di mana saya menetap di Jakarta dalam jangka waktu yang cukup lama. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di mana Jakarta hanya sebagai tempat singgah sementara ataupun sebatas tempat lalu-lalang saat mengunjungi beberapa daerah di tanah Jawa, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Malang misalnya.

Tentu bukan hanya saya seorang yang beralasan bermukim di Jakarta untuk tujuan belajar juga bekerja. Ibarat titik di tengah-tengah antariksa. Ya, tentu banyak sekali perantau lainnya yang menetap di kota yang hampir menjadi mantan ibu kota ini. Kota yang sangat representatif bagi Indonesia, dengan ragam suku yang bisa dijumpai di dalamnya, dan sekali lagi, saya hanyalah satu titik di antara kata-kata lainnya. Perantau muda yang akan mengajakmu mendeskripsikan suatu sisi Jakarta yang mungkin tak pernah kamu sentuh sebelumnya. Selamat berkelana!

Ternyata Inilah Ibu Kota Negara

Dua tahun pertama menetap di Jakarta dengan segala hiruk-pikuk dan terik mataharinya yang cukup menyengat, saya semakin sadar bahwa apa yang kebanyakan orang-orang pikirkan perihal Jakarta adalah benar. Macet yang tak berkesudahan, banjir karena sungai-sungai dipadati oleh tumpukan sampah, polusi udara yang buruk. Belum lagi angkutan umum yang luar biasa perjuangannya saat jam-jam sibuk, belum sah rasanya tinggal di Ibu Kota kalau belum coba Transjakarta ataupun KRL sebelum pukul 08.00 dan setelah pukul 16.00 WIB.

Belum lagi kalau berbicara tentang kriminal, mungkin saya juga bukan satu-satunya yang pernah kehilangan handphone dan sejumlah uang jutaan akibat kriminalitas. Penipuan yang bermodus ‘minta tolong atau bantuan’. Atau cerita tentang ojek online yang saya tumpangi dihadang oleh tukang ojek pangkalan. Pemandangan yang sangat jomplang antara gedung-gedung pencakar langit dengan gubuk-gubuk di pinggiran rel kereta api.

Yaa, kalau dipikir-pikir dan disebutkan semua problema di ibu kota rasanya ingin terus mengeluh dan mengalah saja dengan keadaan ini.”

Kalimat yang mungkin muncul kalau saya tidak benar-benar kuat untuk bertahan di Jakarta. Syukurnya, Allah izinkan saya untuk bertahan dan kuat berjuang di kota yang katanya, ‘Hidup di Jakarta itu keras!’.

Sisi Baik Kota Jakarta

Menjelang tahun ketiga menetap, sisi-sisi kebaikan Jakarta mulai terpancar, kebermanfaatan tinggal di kota ini secara sadar saya rasakan. Sebenarnya dari tahun pertama tinggal, ada sajak kebermanfaatan yang saya dapatkan, yang mungkin seringkali dihiraukan dan diabaikan. Sehingga rasanya tak ada sedikitpun kebaikan yang terasa, hanya kegelapan-kegelapan yang mendominasi akal dan perasaan.

Intinya semuanya akan bermuara pada persepsi, bahwa persepsi kita terhadap suatu hal akan memengaruhi isi hati. Hati akan menentukan perilaku, dan perilaku akan mewujudkan keadaan. Sama halnya dengan tinggal di Jakarta, yang katanya begini dan begitu. Kalau kita memandang dengan pikiran dan hati yang jernih, justru kita akan mendapatkan kebermanfaatan dan makna. Namun jika dipandang dari sisi gelap dan kotor, hanya akan menghasilkan keluhan, ketidakpercayaan, dan putus asa.

Sebagai pemuda rantau yang hampir tiga tahun menetap di Jakarta, banyak sekali keuntungan yang saya dapatkan, terutama dalam hal pencarian makna hidup dan jejaring sosial.

Kalau tidak merantau di Jakarta, atas izin Allah mungkin aku tidak akan pernah sekuat ini dan menemukan kebersyukuran yang mendalam.

Pemandangan rumah-rumah pinggir rel KRL Pondok Kranji sampai Tanah Abang, tak jarang membuat saya menitikkan air mata. Bahwa pernyataan ‘Jakarta keras’ itu benar adanya. Perjuangan-perjuangan para penduduk yang menetap untuk tetap waras mempertahankan hidup.

Mereka yang tak memiliki apa-apa namun berhati mulia untuk berbagi kebahagiaan; kegiatan seminar edukasi gratis yang bermanfaat; orang-orang baik yang bersedia menunjukkan jalan saat kamu bertanya karena kebingungan mencari jalan; para pengemudi ojek online yang bersedia menunggu dan bahkan hujan-hujanan; teman-teman yang saling bahu-membahu saat kondisi ada maupun tidak ada.

Para pendonor darah yang antusias mendonorkan darah kehidupannya; para tetangga sekitar kos yang selalu memberikan sapaan, senyuman dan makanan; para pemuda-pemuda yang rela meluangkan waktu rehatnya di hari Ahad hanya untuk kegiatan sosial dan menggalang dana.

Kalau dipikir-pikir lebih dalam, keburukan yang terjadi di Jakarta belum ada apa-apanya, dibandingkan kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Tenang, Jakarta ternyata tidak seperti apa yang kamu bayangkan. Jadi kamu harus tahu, bahwa masih sangat banyak orang-orang baik dan peduli yang menetap di Jakarta. Tugas kita adalah mencarinya, melalui sudut pandang dan hati yang jernih, tanpa ngedumel, dan tulus.

Bukankah cara kita bersikap akan menentukan hasil yang kita dapat pula? Jadi, sudah tahu tentang Jakarta sekarang?

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *