Refleksi TKA 2025: Kejujuran, Kepatuhan pada Aturan, dan Kerja Keras
Published Date: 11 November 2025
Pekan lalu saya berkesempatan menjadi pengawas TKA (Tes Kemampuan Akademik) di sebuah sekolah dan itu membuat saya memikirkan ulang beberapa hal.
Pertama, soal kejujuran. Ada satu kutipan yang sering diputar di mana-mana dan disebut-sebut sebagai ucapan Kasino Warkop DKI. Kutipan itu berbunyi, “Bangsa (Indonesia) ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur”. Kutipan itu terdengar seperti fakta yang disuarakan terlalu lantang. Terlebih di situasi seperti sekarang, ketika kasus korupsi tiada habisnya, penipuan bermunculan dengan berbagai macam modusnya, dan kelicikan-kelicikan kecil terus terjadi. Dan kutipan itu makin menyala sebagai fakta saat saya menyimak berita soal TKA.
Untuk membuat tulisan ini menjadi lebih terang, saya perlu jelaskan lebih dulu soal TKA. TKA merupakan asesmen atau tes terstandar yang digunakan untuk mengukur capaian akademik siswa dan diberlakukan untuk peserta didik tingkat akhir pada setiap jenjang pendidikan di Indonesia, yakni: kelas 6 SD, kelas 9 SMP, dan kelas 12 SMA. TKA menjadi pengganti Ujian Nasional (UN) yang terakhir diselenggarakan pada tahun 2020. Pelaksanaan TKA ini digagas oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.
Salah satu tujuan penyelenggaraan TKA ialah sebagai instrumen penting untuk memvalidasi nilai rapor peserta didik yang ingin melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Dikutip dari pusatinformasi.murid.kemendikdasmen.go.id, TKA hadir karena penilaian sekolah saat ini secara umum cenderung belum objektif. Pemerintah mengusung TKA sebagai upaya untuk membuat penilaian -yang boleh jadi- lebih objektif.
Nah, pada penyelenggaraan TKA tahun ini, ada berita tidak mengenakkan. Pada sesi pertama hari pertama pelaksanaan TKA pekan lalu (3 November 2025), misalnya, soal TKA di mata pelajaran wajib bocor. Dikutip tempo.co, pelakunya adalah oknum peserta TKA yang bahkan bisa melakukan siaran langsung di TikTok dengan nama akun @nurulnamanya saat TKA berlangsung di ruang tes. Sumber lain menyebutkan bahwa peserta tersebut berasal dari salah satu SMA di Garut. Kontan hal tersebut langsung viral di media sosial.
Hal semacam ini (kebocoran soal) memang pernah terjadi pada tahun-tahun lampau ketika UN masih diselenggarakan. Tetapi fakta bahwa kejadian semacam itu masih terjadi lagi sampai saat ini tentu patut membuat kita mengelus dada. Itu artinya kita, dunia pendidikan kita, tidak banyak berubah, dan itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan.
Soal ini, saya sempat bertanya kepada seorang siswa SMA Negeri 6 Bekasi saat saya menjadi pengawas TKA di sana.
“Sangat disayangkan apabila ada soal-soal yang bocor lewat social media. Saya kecewa juga ke pihak-pihak sekolah (lain) yang tidak mendukung kejujuran dari siswa-siswinya,” ungkap Samuel Sergio Siagian, siswa kelas XII-D SMA Negeri 6 Bekasi.
Terdengar nada kekecewaan di situ dan itu wajar adanya. Ketidakjujuran itu bukan hanya merusak nilai-nilai luhur yang kerap digemakan oleh orang-orang terdidik di negeri ini, tapi juga melukai orang-orang yang telah berusaha untuk terus jujur. Padahal kejujuran adalah aspek penting dalam dunia pendidikan. Kejujuran adalah sebuah nilai yang bukan hanya harus digemakan, tapi lebih penting untuk terus dipraktikkan di dunia nyata, baik oleh siswa, lebih-lebih oleh para pendidik di negeri ini.
Kedua, soal kepatuhan pada aturan. Pada penyelenggaraan TKA tahun ini ada sejumlah aturan yang sudah dibuat oleh pihak berwenang untuk menciptakan penyelenggaraan TKA yang berlangsung adil, tertib, lancar, dan sesuai dengan tujuan–yaitu untuk mengetahui kualitas akademik seorang siswa.
Salah satu aturan itu termaktub dalam Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia No. 95 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyelenggaraan Tes Kemampuan Akademik. Dalam BAB IX Tata Tertib, Penanganan Pelanggaran, dan Larangan telah disebutkan bahwa baik penyelenggara, penyelia, pengawas, dan peserta wajib menjaga kerahasiaan dan tidak boleh menyebarluaskan soal (TKA).
Namun, kita lihat sendiri, masih saja ada orang yang melanggar aturan tersebut. Padahal aturan itu ditekan langsung oleh seorang menteri dan sudah tertulis cukup rinci. Lantas, apa yang salah dengan orang-orang di negeri ini? Apakah kita mengalami semacam buta huruf mendadak saat melihat lembar-lembar aturan? Ataukah krisis integritas dan kepatuhan kepada aturan-aturan baik telah luntur? Ataukah kita kekurangan tauladan lantaran orang-orang pintar dan para pejabat juga sering abai pada aturan?
Yang jelas, ketidakpatuhan pada aturan ini meninggalkan efek lanjutan yang tidak baik. Lambat laun aturan hanya akan dianggap sebagai seruan sambil lalu. Aturan dibikin hanya untuk dilanggar. Padahal sebuah aturan tidak dibuat secara sembarangan. Aturan dibuat dengan penuh perhitungan, dengan memikirkan dampak jangka panjangnya, dengan memikirkan fungsi dan konsekuensinya. Jika aturan-aturan yang ada sedemikian mudah dilanggar, apalagi di ranah pendidikan, maka masih bisakah kita mengharapkan keteraturan yang membuat negeri ini jadi lebih maju?
Ketiga, soal kerja keras. Dua poin sebelumnya mungkin kurang mengenakkan hati. Tetapi untunglah masih ada sebutir mutiara yang bisa saya raup dari segunung sampah.
Pada momen TKA kali ini, saya masih bisa menyaksikan orang-orang yang bekerja keras, melakukan segala upaya dengan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan mereka. Setidaknya itulah yang saya dapati saat bertanya kepada dua orang siswa SMA Negeri 6 Bekasi terkait penyelenggaraan TKA.
“Kendalanya itu di waktu. Waktu pertama kali diberitahukan (disosialisasikan) TKA dan pelaksanaannya bisa dibilang lumayan mepet. Sementara kita harus belajar, mengulas materi (dari kelas 10-12) dengan waktu yang singkat,” ungkap Samuel Sergio Siagian (XII-D) saat ditemui setelah pelaksanaan TKA Gelombang 1 Hari 2.
Sementara itu, siswa lain bernama Muhammad A. Ryan Sasongko yang tak lain teman sekelas Samuel, mengatakan, “(Untuk persiapan) saya belajar mandiri dan bareng teman. Terus, saya nyari-nyari di internet, latihan-latihan try-out gitu. Try-out gratis baik online maupun offline saya ikutin semua.”
Dari ungkapan mereka, saya menyadari masih ada nyala api bisa kita harapkan. Masih ada siswa-siswa yang tetap berlaku jujur, belajar terus-menerus, dan bekerja keras untuk mencapai cita-cita mereka. Di tengah maraknya ketidakjujuran dan ketidakpatuhan pada aturan, nyala-nyala api semacam itu tentu layak membuat kita gembira. Ternyata dunia pendidikan tidak seburuk itu. Dan kita harap akan terus lebih baik.
Pada akhirnya, momen TKA ini membuat saya berpikir bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi dari pendidikan di Indonesia. Semua elemen yang terkait (pemerintah, sekolah, pendidik, siswa, dan para orang tua) harus saling bahu-membahu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang masih kerap terjadi di dunia pendidikan. Pelan-pelan kita harus tutup lubang yang masih menganga di mana-mana. Kita harus mengakui ada banyak celah yang masih kita miliki, tapi di saat yang sama kita juga harus terus melakukan evaluasi nyata. Dengan demikian, kita bisa berharap dunia pendidikan Indonesia akan membawa angin segar.
Sebagai penutup, agaknya perkataan Bagus Muljadi dalam tulisan di Medium ini penting untuk kita renungkan: “Kompetensi sering disalahartikan sebagai sekadar kepintaran, kecerdikan, bahkan kelicikan – bahkan semata-mata gelar akademik. Padahal kompetensi hanya dimungkinkan oleh dedikasi, integritas, disiplin — dan yang paling penting: kejujuran itu sendiri. Terlalu sulit, pada prakteknya, bagi orang yang korup dan manipulatif untuk benar-benar menjadi kompeten.”
