Senyum Bukan Hanya untuk Sedekah?
Published Date: 29 December 2022
Akhir tahun 2022 dunia perfilman diramaikan sebuah karya berjudul ‘Smile’, sebuah film bertema thriller psikologis. Senyum dalam film tersebut digambarkan selayaknya aktivitas teror alih-alih untuk menghadirkan perasaan bahagia bagi yang melihatnya. Kontradiksi tersaji ketika judul yang positif bersanding dengan alur cerita mencekam. Formula yang nyatanya sukses membuat calon pentonton penasaran untuk kemudian beranjak menonton film tersebut di bioskop. Kita memang menyukai sebuah ironi semacam itu, ketika senyuman sebagai medium interaksi penuh keramahan malah dimanfaatkan jadi ajang menebar teror.
Ketika kecil kita terlatih untuk melihat senyum sebagai interaksi bersahabat. Dalam pandangan seorang anak, senyuman merupakan lambang persetujuan atas segala tindakan kita. Senyuman diasosiasikan sebagai kehangatan dari orang lain atas keberadaan kita. Rasanya tidak ada trauma yang dihadirkan dari sebuah senyum yang tulus. Anak kecil hanya memahami senyum sebagai sebuah simbolisasi kebahagiaan. Sayangnya hal tersebut semakin lama terasa surut dan bias dipahami ketika kita beranjak dewasa. Senyuman tidak lagi sekadar dilihat sebagai sarana menjalin persahabatan. Dunia orang dewasa yang kompleks membuat senyum sederhana jadi memiliki banyak makna.
Sebagai orang dewasa kita jadi melihat terlalu jauh ke belakang. Mencari alasan dari sebuah tindakan tertentu. Sehingga ketika ada politisi tersenyum di atas panggung kampanyenya, kita tidak sekadar melihat tarikan bibir di wajahnya saja. Kita berusaha memahami apakah senyum tersebut memang tulus atau sekadar cara bagi politisi tersebut meraih simpati di depan calon pemilihnya. Begitu juga ketika ada seorang pelawak yang sering tersenyum. Kita tidak mencurigainya akan berbuat curang seperti politisi, namun asumsi lain muncul, yakni tentang beban apa yang kiranya dipanggul di atas pundak pelawak tersebut. Senyum tak lagi sekadar ekspresi kegembiraan namun memiliki beragam makna tergantung di mana tempat senyum tersebut muncul.
Senyum Orang Dewasa
Kekhawatiran kita terhadap adanya senyum tidak tulus memang benar adanya. Peneletian mengenai senyum bahkan telah dilakukan sejak awal abad kesembilan belas oleh ilmuwan Perancis Guillaume Duchenne de Boulogne. Dia menemukan bahwa senyum dikendalikan oleh perangkat otot: zygomatic mayor, yang berjalan menuruni sisi wajah dan terhubung dengan sudut mulut, dan otot orbicularis occuli, yang mengitari mata dan menarik mata ke belakang. Zygomatic mayor berfungsi menarik bibir ke belakang untuk memperlihatkan gigi dan memperbesar pipi, serta difungsikan dengan sadar. Sementara itu orbicularis occuli di sekitar bertindak secara mandiri dan mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya dari senyum yang tulus.
Ada dua perangkat otot utama yang harus bekerja sampai orang dikatakan memberi senyuman tulus. Indikator utamanya adalah tarikan pada otot orbicularis occuli yang membuat tarikan garis di sekitar mata hingga terlihat keriput. Jadi ketika kita melihat ada orang yang tersenyum tanpa disertai dengan kerutan di sekitar mata atau bahkan matanya tidak terlihat mengecil dibanding biasanya, maka ada kemungkinan bahwa orang tersebut tidak tulus menyertakan hati dalam senyumannya. Ada kesadaran lain yang dibangun oleh orang tersebut dan bisa jadi kita tidak mengetahuinya.
Senyum memang jadi gerak kompleks ketika kita mengaitkannya dengan perkara lain yang menyertai ekspresi tersebut. Tujuan senyum dalam dunia orang dewasa memang beragam. Ada yang tersenyum untuk dapat diterima kehadirannya; tersenyum untuk menyembunyikan kesedihan; tersenyum untuk memberi persetujuan; hingga tersenyum untuk sekadar menyenangkan orang lain yang dianggap lebih penting atau disayangi. Menariknya, senyum ternyata bersifat menular meski yang diberikan hanya sekadar senyum palsu. Dalam buku Kitab Bahasa Tubuh, Alan dan Barbara Pease menganggap senyum palsu tetap akan mendapat respons serupa karena manusia cenderung untuk meniru ekspresi wajah dari orang yang dilihatnya. Itulah sebabnya kita sering membalas senyuman orang lain meskipun tidak terlalu mengenalnya. Bahkan apabila kita sendiri menyadari bahwa senyum tersebut tidak terasa tulus.
Senyum memiliki dampak besar dalam interaksi kita dengan orang lain. Ketika kita melakukan kesalahan lalu kemudian berusaha meminta maaf diiringi senyuman akan memberi efek berbeda dibandingkan melakukannya tanpa senyuman. Orang akan lebih tersentuh dan merasa dekat ketika melihat orang lain tersenyum kepada dirinya. Terkadang orang yang kita mintai maaf pun turut tersenyum ketika melihat senyum yang kita berikan. Tidak heran bila mudah meniru ekspresi senyum sebab menurut Howstuffworks, dikutip dari Health.Detik.com dibutuhkan jumlah otot yang lebih sedikit untuk tersenyum dibandingkan dengan cemberut. Beberapa ahli menyatakan dibutuhkan 43 otot untuk cemberut dan hanya 17 otot untuk tersenyum. Namun beberapa lainnya menyebutkan dibutuhkan 62 otot untuk cemberut dan hanya 26 otot untuk tersenyum.
Kembalikan pada Niat
Senyum yang pada awalnya kita kenal sebagai ekspresi bahagia, setelah dewasa dan ditempa kompleksitas kehidupan justru membuat kita bias untuk menerima maksud sebenarnya dari ekspresi tersebut. Beragam alasan membuat kita tidak lagi tulus memberi maupun menerima senyum dari orang lain di sekitar kita. Hal tersebut tentu akan sangat melelahkan apabila tidak ada kesudahannya. Sebab seiring berjalannya waktu, tentu kita menghendaki bahwa senyum kembali kepada esensi utamanya sebagai ekspresi bahagia yang mudah diberi dan diterima. Namun apabila kita kesulitan untuk menemukan alasan sejati dari sebuah senyuman, kenapa tidak kita kembalikan saja kepada petunjuk dalam agama Islam.
Seorang muslim tentunya pernah mendengar atau membaca petunjuk tentang perkara senyum. Dikatakan bahwa senyum merupakan salah satu bentuk sedekah yang bernilai pahala di sisi Allah. Hadisnya kurang lebih berbunyi, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.“ (HR at-Tirmidzi (no. 1956), Ibnu Hibban (no. 474 dan 529) dll, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “ash-Shahihah” (no. 572).)
Menurut Ustaz Abdullah Taslim, Lc, MA. dalam artikel Keutamaan Tersenyum di Hadapan Seorang Muslim, salah satu hikmah dari hadis tersebut ialah apabila kita menampakkan wajah cerita dan berseri-seri ketika bertemu dengan seorang muslim akan mendapatkan ganjaran pahal seperti pahala bersedekah. Selain itu, Menampakkan wajah manis di hadapan seorang muslim akan menyebabkan hatinya merasa senang dan bahagia, dan melakukan perbuatan yang menyebabkan bahagianya hati seorang muslim adalah suatu kebaikan dan keutamaan. Hadis tersebut juga semakna dengan hadis lain yang artinya, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim no. 2626)
Tidak disebutkan apakah senyum yang kita berikan harus dalam konteks ekspresi yang tulus dan kondisi senang atau tidak. Namun senyum yang kita berikan semata-mata karena kita hendak menampakkan keceriaan di hadapan saudara sesama muslim. Tentu dengan keyakinan mendasar bahwa apa yang disyariatkan Allah dan disampaikan oleh Rasulullah shalallahualaihi wa sallam pasti mendatangkan kebaikan bagi kita. Sehingga terasa lebih mudah bagi kita untuk memberi ekspresi senyum kepada orang lain.
Pada saat kita menyandarkan perkara ekspresi senyum kembali kepada petunjuk syariat, maka harapannya hal tersebut lebih mudah untuk dilakukan. Tujuannya pun jelas, semata-mata karena hendak mengharap pahala dari Allah Ta’ala. Sehingga tidak perlu lagi kita khawatir apabila senyum yang diberikan dimaknai berbeda oleh orang lain. Sebab tujuan kita sudah merdeka dari pengaruh orang lain di sekitar kita. Senyum kita adalah perbuatan yang hendak mematuhi suri tauladan umat Islam. Senyum bukan lagi sekadar ekspresi kegembiraan dari dalam diri, lebih jauh lagi menjadi salah satu cara untuk menyebarkan kebaikan kepada orang lain.
1 thought on “Senyum Bukan Hanya untuk Sedekah?”