Saat Anak Kembali ke Sekolah

Kebahagiaan bagi orang tua adalah saat sang anak dapat memiliki hal-hal kebaikan yang lebih dibandingkan orang tuanya. Dengan pencapaian dari apa yang dimiliki orang tua, artinya ia telah sukses dan berhasil mengantarkan anak pada masa depan lebih baik. Di antara sarana dalam mencapai kebaikan-kebaikan yang lebih itu adalah, melalui jalan pendidikan.

Pandemi dua tahun lalu, mengajarkan kita, bahwa ada suatu yang tak terduga dari ketetapan Allah Ta’ala. Segala perencanaan berubah, bisa jadi tolok ukur dan patokan apapun perlu untuk dilihat kembali. Persiapan-persiapan akan berganti menjadi pertimbangan-pertimbangan yang bersifat manusiawi dan realistis. Hal-hal yang lebih dari tuntutan kepada anak dari para orang tuanya, bisa jadi telah bergeser dari nilai-nilai ideal sebelumnya. Pandemi adalah ketetapan dari Allah yang mengingatkan kita, bukan hanya tentang perlunya menjaga kesehatan raga, tapi juga kenyataan berpikir kita. Bisa jadi, pencapaian paling tinggi bagi orang tua hari ini, adalah anaknya menjadi shalih dan bertakwa, soal masa depan, biarlah itu kelak menjadi jalan hidup anak di kemudian hari, dari usaha yang dilakukan, dan ketetapan rizki Allah atas diri anak-anaknya.

Sekolah kini kembali dibuka perlahan, dengan didahului oleh uji coba, pembatasan dalam penggunaan jam belajar, hingga aturan-aturan yang memerlukan banyak penyesuaian. Penyesuaian tentang efektifitas pembelajaran, dan penyesuaian agar tetap waspada terjadinya penyebaran virus yang pernah merenggut banyak korban jiwa.

Tentu tidak mudah bagi orang tua, yang telah dua tahun membersamai anak belajar di rumah, sudah ada perasaan saling mengerti keadaan satu sama lain. Bisa jadi di awal keduanya (baik anak dan orang tua) dilanda kejenuhan dan ketidaksiapan yang berakibat pada stres hingga psikosomatis. Namun lambat laun, akhirnya tak sedikit yang memiliki penerimaan, dan justru tidak siap saat anak harus kembali ke sekolah. Bukan sekadar kecemasan dan kehati-hatian, tapi harus menyesuaikan ulang budaya di rumah yang sudah sebelumnya berjalan.

Setidaknya ada beberapa hal yang dapat menjadi perhatian orang tua, saat akhirnya harus merelakan si buah hati kembali belajar dihadapan para guru, dan berinteraksi bersama para teman-temannya.

Pertama, hendaklah orang tua memikirkan dengan matang, apakah ia telah benar-benar siap secara mental untuk melepaskan kembali anaknya ke sekolah. Karena melepaskan anak ke sekolah, itu artinya kembali mengantar jemput, menyiapkan sarapan pagi, memastikan semua telah siap, entah itu seragam, buku, kelengkapan protokol kesehatan, hingga hal-hal lain. Setelah sebelumnya, belajar dapat menyesuaikan waktu cukup lapang, sarapan pagi tidak mesti di bawah jam delapan, hingga setrika-an tidak bertumpuk dengan adanya seragam tambahan dari si anak. Mental itulah yang harus benar-benar kembali disiapkan, selain menghadapi kesepian saat kembali di rumah sendiri. Anak yang ke sekolah, dan suami berangkat mencari nafkah.

Kedua, ketahuilah bagi para orang tua, bahwa anak-anak juga butuh tempat untuk menjadi dirinya sendiri. Dan hal itu tidak akan tercapai apabila ia senantiasa bersama dengan orang tuanya. Tentu pikiran dan perkataan hingga perbuatan orang tua tidak ingin seluruhnya ditiru oleh sang anak. Itulah mengapa, dibutuhkan bagi mereka, cara dalam berinteraksi dan komunikasi dengan sebaya. Hal ini penting, agar usia fisik anak, tidak lebih sedikit dengan usia akalnya. Apa yang dikatakan anak, masih sesuai dengan taraf zaman dimana ia tinggal. Bukankah akan mengerikan apabila ada anak yang memiliki pikiran seperti orang tua, dan perbuatan seperti nenek dan kakeknya? Nah, itulah mengapa, sekolah kembali dibuka agar anak tetap tumbuh menjadi seorang anak. Tidak ada loncatan usia terlalu jauh dalam dirinya, sedang semestinya posisi tumbuh kembang belum menghendaki lebih dari itu.

Ketiga, tetap menjaga hubungan yang baik dengan anak. Sebagai orang tua, tentu konflik akan datang silih berganti. Konflik tercipta karena adanya perbedaan sikap dan komunikasi, walau kadang orang tua kerap melakukan klaim, bila ada sifat-sifat anaknya yang turun dari dirinya, atau dari pasangannya. Tapi konflik tetaplah konflik, urusan sifat yang turun, nanti lagi. Selama dua tahun pandemi, komunikasi antara anak dan orang tua, bisa jadi pasang surut. Kekesalan, emosi, dan pandangan-pandangan orang tua atas anak, tak bisa disebut senantiasa positif. Bahkan mungkin kebanyakannya adalah negatif. Namun itu merupakan hal yang wajar. Sebab dari sana akan memunculkan hubungan emosional yang baik, mengeratkan, dan kelak saling merindukan dengan berbagai alasan serta ungkapan. Oleh karena itu, tetap jaga komunikasi yang baik dengan anak. Tanyakan kepada mereka saat pulang sekolah, bukan selalu soal apa yang dipelajari, tapi tanyakan tentang teman, guru, di perjalanan, tempat jajan baru, hingga hal unik lain yang membuka obrolan penuh kehangatan. Bukankah sebagai orang tua, kita kerap senang dengan hal-hal sederhana tapi dapat menggairahkan hubungan cinta dengan pasangan. Begitu pulalah pada anak kita.

Keempat, bangun diskusi yang menarik di grup WhatsApp wali kelas dan wali siswa lainnya. Untuk memulai kembali pembelajaran, bagi sebuah lembaga pendidikan bukanlah hal mudah. Butuh banyak birokrasi untuk meyakinkan berbagai kalangan, bahwa sekolah telah siap. Pun halnya dengan guru-guru yang mengajar dan mendidik anak kita. Fokus mereka bukan lagi soal mengajar materi pembelajaran, tapi juga mengawasi dan memperhatikan agar pembelajaran tetap aman, nyaman, tidak saling canggung, dan mencair di keadaan yang serba baru ini. Sehingga perlu bagi orang tua, pada grup WhatsApp memotivasi guru atau wali kelas dengan dukungan dan pujian. Menanyakan hal-hal apa saja yang dapat dibantu. Orang tua yang memiliki keluangan waktu, mungkin dapat mengambil gambar bagaimana nuansa pembelajaran berlangsung dan mengapresiasi dengan keterangan-keterangan yang baik. Hingga mungkin dapat mengusulkan lomba-lomba kecil atau kegiatan sederhana untuk kelas demi terwujudnya energi positif dalam pembelajaran. Dukungan positif orang tua terhadap sekolah, akan memunculkan emosi baik bagi anak yang sedang menyusun kembali gairah belajarnya di kelas.

Kelima, yang tak kalah penting adalah orang tua terus membangun komunikasi dengan wali kelas. Tidak mesti harus saling bicara, hari ini masih ada media sosial yang memiliki jangkauan luas. Ada fasilitas status pada WhatsApp, tanyakan pada anak, gurunya mengajarkan apa pada dirinya. Lalu jadikanlah status yang baik tentang kemajuan belajar si anak di sekolah. Ucapkan terima kasih di status, kelak para guru akan membacanya. Ingat, kadang apresiasi kita di media sosial dalam bentuk status, merupakan hiburan bagi sekolah dan guru yang membacanya. Di tengah masih terbatasnya liburan untuk keluar rumah. Membaca status adalah hal membahagiakan dan dapat menyunggingkan senyum di wajah para guru bagi anak kita. Suka atau tidak, status seseorang di WhatsApp merupakan perjalanan spiritual tersendiri bagi orang lain yang melihat, selain melihat-lihat keranjang belanja pada market place yang kita instal pada layar telepon pintar.

Itulah beberapa hal yang kiranya dapat membangun kembali diri kita, sekolah, dan anak saat mereka sudah perlahan melepaskan ketergantungan dari belajar daring (PJJ). Memang hal-hal yang disajikan, digambarkan pada hal-hal mudah dan sangat bersifat intrinsik, namun tentu kita sadar, tidak akan ada hal-hal besar tanpa didahului oleh hal kecil. Tak ada keberhasilan bila tidak diawali dengan usaha, dan tak ada kebahagiaan apabila setiap kita hanya mengomentari tanpa berbuat serta berpangku tangan tanpa berangkulan.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *