Apa yang Kita Bicarakan ketika Kita Berbicara tentang Hobi

Konon, hobi—yang berarti suatu hal atau kegiatan yang kita suka lakukan—berasal dari kata “hubb” yang dalam bahasa Arab berarti “cinta” atau “suka”. Sebagaimana lazimnya cinta, kadang-kadang ia sukar dicerna akal sehat. Elon Musk, misalnya, punya hobi mengoleksi benda-benda yang berhubungan dengan serial James Bond. CEO Tesla itu pernah membeli kapal selam yang muncul dalam satu seri film James Bond seharga hampir satu juta dollar. Satu juta dollar, anda tahu, jika kita ubah dalam bentuk pecahan seratus ribu rupiah, cukup untuk membikin barisan uang sepanjang Jakarta sampai Bekasi. Sementara Eko Patrio, seorang pelawak yang juga sempat jadi anggota DPR, punya hobi menyimpan patung-patung gajah. Seandainya dia menyimpan patung-patung berwujud Charlie Chaplin atau Mr. Bean, tentu lebih bisa diterima. Tapi, hobi seseorang, sebagaimana saya bilang di awal, memang sukar dicerna akal sehat.

Itu hobi orang-orang terkenal. Hobi mereka senantiasa melibatkan uang dalam jumlah besar, tak peduli setakberguna apa pun kegiatan atau benda yang mereka jadikan hobi atau barang koleksi. Sementara hobi orang-orang biasa, orang-orang di sekitar kita, wujudnya jauh lebih sederhana, walau bukan berarti tidak aneh. Hobi bapak saya adalah memindah-mindahkan barang. Rak buku saya sudah beberapa kali pindah tempat dan semua itu dilakukan oleh bapak saya. Dulu, saban kali saya dan ibu pergi ke luar rumah, kami akan pulang dengan pandangan melongo karena ada saja barang-barang yang berpindah tempat. Tentu saja pelakunya adalah bapak. Tak jarang saya berpikir kenapa bapak mau-maunya capek memindah-mindahkan barang yang sebenarnya tak perlu dipindahkan. Tapi, kini saya paham, jika sudah berkaitan dengan hobi, seseorang punya stok toleransi berlebih terhadap rasa letih.

Apakah hobi Anda? Oh, tentu saja saya tidak tahu—saya tidak mungkin tahu dengan pasti siapa yang akan membaca tulisan ini, walau saya bisa menerka-nerkanya. Tapi, siapa pun anda, anda pasti punya hobi. Mungkin hobi anda adalah mengoleksi diecast, menonton film, membaca buku, mengumpulkan kerang, menyimpan baju-baju berwarna merah marun, membeli porselen, memandangi para pejalan kaki di seberang gerbang perumahan tiap Minggu pagi, bersepeda dua puluh kilometer setiap hari Selasa, menatap ikan-ikan di akuarium, mengunjungi museum-museum di seluruh dunia, atau apa pun—banyak sekali hal yang bisa dijadikan hobi dan sebagian hobi bisa jadi begitu tak terduga sampai-sampai tak seorang pun (kecuali si pemilik hobi itu sendiri) mengira ada orang dengan hobi tersebut. Seremeh atau sebesar apa pun hobi anda, percayalah, saya mendukung anda. Lanjutkan. Asalkan hobi anda tidak membawa petaka untuk siapa-siapa. Baiklah, apa pun yang menyebabkan petaka memang sebaiknya tak dilakukan, apalagi dijadikan hobi.

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah artikel di Majalah Tempo edisi 14-20 September 2015 tentang orang-orang yang punya hobi mengoleksi buku. Mereka senang membeli dan membaca buku. Jumlah buku mereka ribuan. Buku-buku itu mereka kumpulkan selama bertahun-tahun. Jika Anda memasuki rumah mereka, Anda akan melihat monumen-monumen jilidan buku berdiri gagah di rak-rak. Itu pemandangan yang menakjubkan. Anda tahu, semua hal yang berhubungan dengan buku itu menakjubkan. Tetapi, sayangnya artikel itu berisi kesedihan. Itu adalah sebuah laporan tentang nasib buku-buku yang telantar, nasib ribuan buku yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena sang pemilik telah meninggal dunia.

Ada orang-orang yang memiliki hobi tertentu, tapi orang-orang terdekatnya—pasangan maupun anak-cucu mereka—sama sekali tidak tertarik dengan hobi itu. Alhasil, setelah pemilik hobi tiada, apa-apa yang berkaitan dengan hobi itu pun tak dilanjutkan oleh siapa-siapa, tak ada pemegang tongkat estafet hobi itu, sehingga lantas hobi yang telah dipelihara bertahun-tahun memudar begitu saja. Dalam konteks orang-orang dengan hobi mengoleksi buku seperti yang saya sitir di paragraf sebelumnya, kita bisa baca gambaran Majalah Tempo dalam artikel “Nasib Buku Koleksi yang Telantar” berikut ini:

“Banyak intelektual kita memiliki perpustakaan pribadi yang menyimpan koleksi ribuan buku. Buku-buku yang mewarnai pergulatan kecendekiaan mereka. Namun, setelah mereka wafat, sering buku-buku itu tak terawat. Para ahli waris enggan mengurusi buku-buku tersebut dan membiarkannya menumpuk. Bahkan ada yang melegonya ke pasar loak.”

Pada tulisan yang sama, di bagian berbeda, Jose Rizal Manua—sastrawan sekaligus kolektor buku—curhat, “Saya juga khawatir. Buku saya jumlahnya puluhan ribu. Kalau nanti saya wafat, bisa-bisa koleksi itu jatuh ke pedagang loak juga. Anak-anak saya enggak ada yang suka buku.”

Buku dalam paragraf-paragraf di atas hanyalah contoh kecil dari bagian suatu hobi yang telantar kelak ketika si pemilik hobi tiada. Kita bisa mengganti “buku” dengan sepatu, lukisan, keramik, pernak-pernik, tanaman hias, atau hobi-hobi berupa aktivitas seperti memancing, bermain catur, menonton film, bersepeda, dan sebagainya. Masalah utamanya: ketidakserasian antara hobi seseorang dengan minat orang-orang di sekitarnya. Permasalahan ini bisa kita jumpai di mana-mana—mungkin di rumah kita sendiri. Kita menyukai A, sementara orangtua kita menyukai B, pasangan kita menyukai C, dan anak-anak kita menyukai D. Ketika perbedaan minat itu muncul, apa-apa yang bisa kita lakukan adalah saling memaklumi sembari mewanti-wanti (dan berharap) orang-orang terdekat kita mencintai dan merawat benda-benda yang kita sukai sebagaimana kita mencintai dan merawatnya.

Tapi, pada akhirnya, dalam kebanyakan kasus, kita tidak bisa menghindari kemungkinan terburuk. Benda-benda yang kita jaga bisa rusak, dilupakan, dan tak terawat. Hobi-hobi yang kita miliki kelak tak akan abadi. Mengingat betapa rapuhnya segala yang kita miliki—termasuk hobi maupun benda-benda koleksi—memang menyedihkan. Tapi, toh, begitulah segala hal di dunia ini. Sekarang dan di sini, ketika kita masih bisa bernapas lega dan melakukan berbagai hal dengan riang gembira, kita bisa tetap melakukan hobi kita—apa pun itu—dengan sepenuh hati seraya berharap kemegahannya akan berlangsung selamanya. Namun, di sisi lain, kita juga harus bersiap meninggalkan itu—hobi kita dan secara umum, apa pun yang kita cintai. Tidak perlu berlebihan, tidak perlu merasa kekal dari kefanaan. Sebab, “terlalu berlebihan mencintai”, kata Queen dalam sebuah liriknya, “akan membunuhmu.”

Jadi, cintai hobimu secukupnya saja dan bersiaplah terhadap semua kemungkinan terburuk.

Author

3 thoughts on “Apa yang Kita Bicarakan ketika Kita Berbicara tentang Hobi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *