Waktu Terbaik untuk Mengomentari Diri Sendiri
Published Date: 31 December 2023
Awal tahun ini saya menulis dalam buku catatan perihal target-target yang ingin saya capai. Di antaranya saya berniat mengkhatamkan 100 judul buku + 100 judul film sepanjang tahun ini. Pada saat saya mencanangkan dua target itu, segalanya kelihatan sederhana dan gampang diraih. Bukan urusan sepele, tapi sama sekali tidak mustahil. Namun, seiring bergulirnya waktu, keadaan tak sesederhana yang dibayangkan dan target-target yang dicanangkan pada awal tahun kebanyakan gagal atau tak semaksimal yang diharapkan.
Sampai saat saya menulis artikel ini, buku yang saya tamatkan tak sampai 50 judul dan film yang saya tonton cuma sedikit di atas 50 judul. Dengan kata lain, saya gagal memenuhi target yang telah saya buat. Memang tidak ada hukuman apa-apa atas kegagalan ini. Saya tidak menghukum diri saya sendiri; orang-orang juga tidak akan menghukum saya—bahkan mereka tidak peduli. Namun, kegagalan ini, kegagalan yang sekilas sepele, membuat saya memikirkan ulang banyak hal. Dalam ungkapan yang canggih nan filosofis: kegagalan ini membuat saya merenungi apa yang terjadi sepanjang tahun, membuat saya bertafakkur dan bermuhasabah.
Anda mungkin juga punya target-target tahunan—apa pun itu—dan merasakan apa yang saya rasakan. Sedikit penyesalan, setitik hasrat untuk mengulang kembali waktu yang berlalu. Walaupun biasanya penyesalan itu akan hilang dengan sendirinya, perasaan pernah menyesal karena tidak bisa melakukan sesuatu secara maksimal tetap menyisakan ketidaknyaman di hati. Setidaknya itulah yang rasakan. Dan perasaan itu muncul lebih kuat pada akhir tahun seperti saat ini, ketika orang-orang mendadak rajin berhitung dan repot-repot menyusun kaleidoskop.
Tentu saja ada beragam cara untuk menyemarakkan akhir tahun. Bukan, yang saya maksud bukan cara-cara konvensional macam berlibur ke tempat wisata, menyalakan kembang api, atau perkara-perkara seremonial semacam itu. Yang saya maksudkan di sini lebih kepada hal-hal yang bersifat abstrak, tak bisa diraba, tapi gampang dilakukan dan kalau dipikir-pikir bisa bermanfaat untuk menyongsong hari-hari yang akan datang.
Misalnya, bersyukur.
Ajakan untuk bersyukur adalah ajakan mainstream. Kita dapat dengan mudah mendapat ajakan tersebut di tempat-tempat ibadah terdekat atau di media-media dakwah online yang berada di sekitar kita. Bersyukurlah karena anda masih bisa makan, minum, bernapas, punya telinga, punya hidung, punya mata… dan seterusnya. Itulah yang biasa kita dengar. Hal-hal normatif semacam itulah yang sering kita dengar. Topik-topik seperti itu jelas tidak keliru, tapi di akhir tahun ini, kita bisa bersyukur dengan cara lain, yang lebih spesifik. Bentuknya adalah mensyukuri pencapaian-pencapaian baik yang bisa kita peroleh hari ini. Mungkin ada sebagian dari kita yang berhasil meningkatkan kualitas diri di tahun ini: membiasakan bangun lebih pagi, lebih rajin berolahraga, lebih kuat menahan amarah, lebih tidak reaktif di media sosial, lebih menjaga pola makan, lebih berprestasi di sekolah dan tempat kerja, lebih punya banyak waktu bercengkerama dengan keluarga, dan lain sebagainya. Itu adalah hal-hal yang patut disyukuri. Lebih dari itu, patut dipertahankan. Mempertahankan hal-hal baik terkadang lebih sulit daripada sekadar mensyukurinya. Bersyukur adalah tanda bahwa kita menyadari ada hal-hal baik di sekitar kita, tapi mempertahankan hal-hal baik itu adalah tanda bahwa kita sadar segala hal bisa berubah dan itulah alasan kita perlu berjuang mempertahankannya.
Selain bersyukur, salah satu hal penting untuk dilakukan pada akhir tahun adalah mengoreksi diri sendiri. Kita mencari apa yang kurang pada diri kita, apa yang belum maksimal kita lakukan, dan apa-apa yang selama ini masih kita abaikan dan lalaikan. Meskipun evaluasi diri memang bisa dilakukan kapan saja, tapi akhir tahun adalah waktu yang pas untuk melakukan evaluasi diri secara besar-besaran. Sebab, pada akhir tahun kita bisa lebih mudah membayangkan gambaran besar mengenai apa saja yang sudah kita lakukan atau tidak kita lakukan. Akhir tahun adalah waktu yang pas untuk meninjau diri sendiri. Akhir tahun adalah waktu terbaik untuk mengomentari diri sendiri. Kalau selama ini kita terbiasa mengomentari postingan orang di media sosial atau tingkah laku orang di dunia nyata, maka inilah waktu yang pas bagi kita untuk mengomentari diri sendiri. Mengomentari orang lain memang terlihat mengasyikkan, tapi percayalah mengomentari diri sendiri lebih banyak gunanya.
Mengomentari diri sendiri bukan berarti merendahkan atau menghina diri sendiri sehingga malah membuat diri menjadi down dan insecure. Bukan itu yang saya maksudkan. Mengomentari diri sendiri yang saya maksudkan adalah kesadaran untuk lebih memperhatikan diri sendiri, memacu diri untuk lebih berkembang, mengoreksi kesalahan-kesalahan sendiri, meningkatkan kemampuan-kemampuan yang sudah kita miliki, dan tak ragu-ragu menyingkirkan apa yang cuma membebani diri atau membuat diri sendiri tak berkembang.
Dalam Surat Al-Hasyr ayat 18, Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Perihal ayat tersebut, Ibnu Katsir berujar,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”
Singkatnya, komentarilah diri sendiri sebelum mengomentari pihak lain, sebelum orang lain mengomentari diri kita, dan sebelum hari penghitungan tiba. Akhir tahun adalah waktu terbaik untuk mengomentari diri sendiri. Sebab, untuk mengomentari diri sendiri, kita tidak perlu menunggu orang-orang menyalakan petasan dan kembang api, tidak perlu menunggu poster-poster berisi ucapan Selamat Tahun Baru beredar; kita hanya perlu mengambil cermin dan memeriksa lamat-lamat, apa saja yang perlu kita benahi?