Betapa Melelahkan Menjadi Hamba Tren
Published Date: 6 September 2022
Dalam dua tahun terakhir saya kembali aktif menggunakan Twitter. Namun, apa yang saya maksud “aktif” bukanlah aktif membikin twit atau mengomentari kicauan-kicauan yang beredar di linimasa. Saya aktif hanya sebagai penonton, penyimak, pengamat dari kejauhan. Saya memperhatikan apa-apa saja yang ramai di belantara Twitter, siapa saja yang berperan aktif di dalamnya, dan berapa lama suatu isu diperbincangkan. Saya tidak pernah mengadakan penelitian khusus soal ini, tapi sejauh yang bisa saya ingat, jarang sekali pembahasan suatu topik berlangsung lama. Kalau ada suatu hal yang diperbincangkan sampai seminggu, itu sudah merupakan sejenis keajaiban.
Biasanya hal-hal yang menjadi trending topic hanya bertahan dalam hitungan hari atau bahkan jam. Dunia ini fana, tapi topik-topik yang beredar di Twitter (atau media sosial secara umum) jauh lebih fana. Ada suatu masa ketika topik tentang mbak-mbak yang ngamuk ke pelayan restoran segera digantikan oleh topik tentang pertandingan bola tertentu atau topik tentang kecelakaan maut berganti menjadi topik tentang perdebatan sepele antara dua orang publik figur. Kadang-kadang saya heran dengan cara kerja tren yang kerap tak terduga.
Kita mungkin belum lupa tentang kehebohan Citayam Fashion Week. Dalam kehebohan itu kita pun akrab dengan nama-nama tempat semacam SCBD dan nama-nama orang semisal Bonge dan Jeje. Tapi, berapa lama perbincangan itu bertahan? Lihatlah sebulan setelah kehebohan itu terjadi dan Anda akan takjub mendapati bahwa orang-orang sudah tak lagi membahasnya. Barangkali masih ada yang mengingatnya, tapi dengan ingatan yang samar. Barangkali masih ada yang menyinggungnya, tapi cuma sebagai kehebohan yang telah berlalu. Dan itu hanya satu contoh. Banyak sekali hal-hal lain semacam Citayam Fashion Week yang lekas timbul lekas pula tenggelam. Saat suatu kehebohan terjadi banyak orang mungkin memujanya dan berpikir itu tidak akan pernah berakhir. Tapi sayang sekali, waktu bisa melindas apa saja dan membuat pujaan banyak orang tertimbun di bawah reruntuhan kejadian-kejadian lain.
Dalam bab akhir buku The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menyampaikan anjuran radikal. Ia menyarankan pembacanya untuk berhenti membaca berita. Bahkan, gagasan soal itu diperluas lagi olehnya dalam buku Stop Membaca Berita. Banyak orang mungkin akan terheran-heran dan menertawakan anjurannya yang tak masuk akal. Mana mungkin kita bisa hidup tanpa membaca berita? Mana mungkin kita bisa hidup tanpa mengetahui apa saja hal-hal yang sedang terjadi dan diperbincangkan di sekitar kita? Demikianlah pertanyaan-pertanyaan berbau gugatan yang barangkali akan dilontarkan oleh orang-orang yang tidak sreg dengan saran Dobelli.
Namun, ketika Dobelli memberikan anjuran semacam itu, ia tidak sedang bermaksud membuat orang-orang menjauhi dunia dan kembali menjadi manusia gua yang ketinggalan semua informasi. Poin utama Dobelli adalah bagaimana kita bisa menyaring informasi apa-apa saja yang sebaiknya kita konsumsi. Dobelli beranggapan bahwa berita-berita besar pasti akan kita ketahui walaupun kita tidak membaca berita. Bisa saja kita mendapatkan informasi tentang hal-hal yang sedang ramai tersebut melalui percakapan dengan rekan sejawat atau kilasan-kilasan informasi di suatu tempat. Apa yang perlu ditekankan dari saran Dobelli adalah mengenai cara kita dalam mendapatkan informasi. Alih-alih bersikap sebagai obyek dengan membaca berita-berita yang disuguhkan oleh media, alangkah jauh lebih baik kalau kita berperan aktif dengan cara hanya membaca apa-apa yang kita butuhkan. Kira-kira demikianlah poin utama dari gagasan Dobelli.
“Alih-alih bersikap sebagai obyek dengan membaca berita-berita yang disuguhkan oleh media, alangkah jauh lebih baik kalau kita berperan aktif dengan cara hanya membaca apa-apa yang kita butuhkan.”
Dalam kaitannya dengan tren, kita bisa memikirkan ulang sikap kita terhadap hal-hal yang sedang populer dan ramai diperbincangkan. Misalnya, kita tidak perlu merasa terbebani dengan kewajiban harus mengetahui atau mengikuti semua hal yang sedang viral. Apalagi jika hal tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan kita atau tidak kita minati. Sebab, jika kita membiarkan diri kita terbawa arus tren, kita tidak akan pernah tahu kapan arus itu berakhir. Kita akan selalu disibukkan oleh tren A, yang lalu berganti menjadi tren B, kemudian tren C, sampai tren Z. Tidak akan pernah ada habisnya. Bisa-bisa kita sudah hanyut begitu jauh ketika sadar bahwa apa-apa yang selama ini kita ikuti ternyata tak banyak gunanya untuk kehidupan kita.
Tren hanya merupakan bagian kecil dari dinamika hidup manusia. Hanya secuplik potret dari perjalanan peradaban. Ia bisa berubah kapan saja, berubah menjadi apa saja, dan berubah dengan cara apa saja. Dan tren—yang orang-orang pikir mungkin melibatkan begitu banyak orang dan terjadi di seluruh penjuru dunia—kerap kali cuma berlangsung di tempat tertentu, di antara orang-orang tertentu, dalam kurun waktu tertentu. Kalau dipikir-pikir lagi, tren tidak memiliki pengaruh sekuat yang kita duga. Ketika orang-orang mendengarkan lagu BTS atau makan mie gacoan, umpamanya, sadarilah bahwa jauh lebih banyak orang yang tidak mendengarkan lagu grup musik asal Korea dan mengonsumsi makanan viral tersebut. Jadi, tidak perlu cemas. Langit juga tidak akan seketika runtuh atau bumi tiba-tiba terbelah hanya karena kita tidak mengikuti tren.
Lagi pula, jika kita hidup hanya untuk mengikuti tren, itu pasti akan menjadi kehidupan yang melelahkan. Kita terpaksa membeli A karena tren, melakukan B karena tren, mendengarkan C karena tren, membaca D karena tren, mengunjungi E karena tren, mengonsumsi F karena tren, dan seterusnya. Kita melakukan segalanya hanya karena orang-orang melakukannya, bukan karena kita sungguh-sungguh menyukainya dan membutuhkannya.
Tentu tidak masalah mengetahui apa saja yang tengah menjadi tren. Seperti halnya tidak masalah melihat sungai berarus deras yang ada di dekat kita. Yang terpenting kita tidak tergoda untuk menceburkan diri dalam arus deras tersebut sampai-sampai lupa bahwa masih banyak hal lain yang harus kita lakukan, yang tidak ada hubungannya dengan sungai tersebut. (*)
1 thought on “Betapa Melelahkan Menjadi Hamba Tren”