Cryptocurrency: Di Antara Pro dan Kontra Bitcoin (Bag. 2)
Published Date: 1 July 2023
Melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang cryptocurrency, kini kita akan membahas mengenai kontroversi tentang bitcoin. Namun sebelumnya kita perlu memahami mengenai syarat agar suatu hal bisa dijadikan alat tukar atau pembayaran dalam lingkup ekonomi. Secara umum, sesuatu bisa dijadikan sebagai alat tukar jika memenuhi syarat sebagai berikut:
- Dapat diterima secara umum: Alat tukar harus diterima oleh masyarakat secara luas sebagai medium pertukaran yang nilainya diakui (minimal dalam lingkup 1 negara saja);
- Penyimpanan nilai: Alat tukar harus dapat menyimpan nilai dari waktu ke waktu;
- Mudah dibagi dan digabung: Alat tukar harus mudah dibagi menjadi unit yang lebih kecil atau digabung menjadi jumlah yang lebih besar, sehingga memudahkan dalam melakukan transaksi yang beragam;
- Transportabilitas: Alat tukar harus dapat dengan mudah diangkut dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain untuk memfasilitasi pertukaran;
- Keterbatasan pasokan: Alat tukar yang efektif harus memiliki keterbatasan pasokan, sehingga nilai yang melekat padanya dapat dipertahankan;
- Disahkan oleh negara (pengakuan oleh negara sebagai alat tukar).
Jika mengacu pada syarat dan ketentuan diatas maka saat di atas, Bitcoin telah memenuhi sebagian syarat-syaratnya (kecuali poin nomor 6), walaupun masih ada yang pro dan kontra terhadap beberapa syarat yang dimaksud.
Sampai kini, setidaknya ada dua syarat yang paling kontroversial yang terkait hal tersebut yaitu:
Pengakuan. Bagi kelompok yang pro tentu saja Bitcoin diakui sebagai alat tukar. Transaksi pertama yang pernah didokumentasikan adalah pembelian 2 loyang pizza senilai ₿10.000 pada tahun 2010. Bahkan Elon Musk (pemilik Tesla) sempat menerima pembayaran Bitcoin untuk pembayaran mobil Tesla-nya, meskipun hanya beberapa waktu saja sebelum kebijakan tersebut dicabut. Setelah itu transaksi secara langsung (penukaran dengan barang /jasa) tidak terlalu terekspos, namun esensinya adalah ada pihak sebagai pembeli dan penjual yang mengakui bitcoin sebagai alat tukar.
Dalam skala lebih luas sebenarnya lebih banyak yang tidak mengakui, entah karena tidak paham dengan mekanismenya ataupun sampai alasan politis tertentu. Sejauh ini pengakuan dari komunitas crypto-lah yang berperan paling besar terkait statusnya sebagai alat tukar. Pengakuan komunitas tersebut sifatnya sudah skala global. Namun pengakuan itu tidak didapatkan oleh entitas negara karena jelas bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut (kecuali beberapa negara saja). Sampai dengan saat tulisan ini dibuat, hanya ada 2 negara yang mengakui secara legal crypto Bitcoin ini yaitu negara Afrika Tengah dan negara El Savador. Alasan lebih lanjut akan dibahas di bawah.
Kemampuan menyimpan nilai. Bagi kelompok yang pro, narasi yang digadang-gadang adalah ‘uang masa depan’, ‘alat investasi masa depan’, ‘pengganti sistem mata uang fiat di seluruh dunia’ dan sebagainya, tidak ketinggalan soal ‘nilainya’. Setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, nilai yang diakui untuk ₿1 saat ini adalah sekitar Rp400 jutaan (via https://coinmarketcap.com/id/ per 19/05/23) dengan total kapitalisasi pasar mencapai angka sekitar Rp7.700 triliun. Kelompok yang kontra tentu tidak menganggap nilainya bisa sampai segitu, mereka akan menganggap itu semua adalah scam, money game, hingga monkey business. Dan kelompok yang tidak mendukung Bitcoin sebagai mata uang adalah para penguasa/pemerintahan suatu negara. Walaupun tidak semua negara, tapi sebagian besar negara tidak akan pernah mengakui bitcoin sebagai mata uang karena alasan yang akan dijabarkan dalam poin selanjutnya.
Kelebihan Sekaligus Kekurangan Cryptocurrency
Bukan hanya soal pro dan kontra saja. Kehadiran Bitcoin sebagai alat tukar yang baru juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita perlu memahami ini, untuk mengetahui resiko yang akan didapat ketika hendak beralih menggunakan Bitcoin di masa mendatang. Kelebihan dan kekurangan Bitcoin antara lain:
- Jumlah Terbatas 21 Juta Unit
Masih ingat dengan konsep Fractional Reserve Banking (FRB) sebelumnya? Yups, dengan dibatasinya jumlah “unit” maka tidak bisa dijadikan leverage untuk memutar roda ekonomi. Alias tidak ada daya ungkit untuk mengembangkan perekonomian suatu negara. Seperti data dalam artikel FRB,, bahwa setiap uang yang dicetak oleh bank sentral akan memutar ekonomi sampai dengan 90% lebih dari yang seharusnya. Jika mata uang tersebut dikunci hanya sampai jumlah tertentu maka efek compounding (berlipat eksponensial) tidak akan terjadi. Kelebihannya memang tidak akan terjadi inflasi pada “mata uang” tersebut, selamanya akan tetap jumlahnya. Namun menaruh resiko dalam 90% aktivitas ekonomi suatu negara sangat tidak sepadan dengan apa yang didapat.
- Tidak Memerlukan Pihak Ketiga
Seperti pada setiap cryptocurrency lainnya, Bitcoin dan kawan-kawannya diperoleh dari aktivitas mining (menambang) dengan menggunakan algoritma khusus dan perangkat komputer dengan berbagai peripheral-nya (perangkat GPU/VGA Card). Token/block yang didapat dari aktivitas mining disimpan secara peer to peer dalam setiap server yang digunakan oleh miner (penambang) diseluruh dunia. Hal ini diklaim sangat aman dari hacking dan bentuk penyalahgunaan otoritas lainnya (yang di hack biasanya akun usernya/exchangenya bukan cryptonya).
Bagaimana cara kerja cryptocurrency dengan teknologi blockchain bekerja tidak akan dibahas di sini karena akan panjang.. Intinya crypto dibuat oleh kita dan digunakan untuk kita (masyarakat), dan tidak melibatkan pemerintah, bank sentral maupun lembaga otoritas keuangan lainnya yang biasanya ada kemungkinan diselewengkan oleh oknum tersebut. Hal yang perlu digarisbawahi adalah ketiadaan pihak ketiga ini justru menjadi boomerang bagi cryptocurrency itu sendiri karena pihak ketiga yang dimaksud (otoritas pemerintah) akan memberlakukan pelarangan sampai dengan blokir crypto apapun itu.
Mata uang (fiat) suatu negara adalah alat kontrol utama perekonomian (dan politik) negara tersebut, misal jika terjadi inflasi tinggi maka bank sentral akan menaikkan suku bunga agar aktivitas ekonomi menurun sehingga inflasi tetap terjaga level amannya. Demikian pula jika terjadi deflasi maka bank sentral akan menurunkan suku bunganya agar para pelaku ekonomi lebih termotivasi meningkatkan aktivitasnya sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung. Tentu saja pemerintah / negara yang kuat sistem ekonomi dan politiknya tidak mau peran itu diambil begitu saja oleh cryptocurrency. Terbukti negara-negara besar seperti China, Amerika termasuk negara Indonesia menolak dengan tegas cryptocurrency sebagai alat tukar yang sah di negara-masing-masing. Adapun (sebagian besar) negara-negara yang melarang penggunaan cryptocurrency diatas masih mengakui cryptocurrency sebagai “komoditas” layaknya emas, minyak, nikel dan komoditas lainnya, makanya di Indonesia sendiri crypto diregulasi dibawah bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).
Jadi perlu diperhatikan, cryptocurrency tidak diakui sebagai mata uang, namun diakui sebagai komoditas. Sehingga fungsi, peran dan penggunaanya dibatasi oleh negara. Otomatis narasi bahwa cryptocurrency adalah “mata uang masa depan” kemungkinan besar tidak akan pernah tercapai selama negara-negara tersebut masih memiliki perekonomian dan politik yang kuat.
- Transaksinya Bersifat Anonim
Jika kita bertransaksi dengan nominal yang cukup besar dalam sistem keuangan reguler saat ini maka pihak bank (atau otoritas terkait lain) akan kepo tentang transaksi yang akan kita lakukan. Pertanyaan dari mana, untuk apa, ke siapa, harus lolos verifikasi jika ingin transaksi lancar. Sekilas kita mungkin agak risih dan berkata, “Lha duit-duit gue ngapain tanya-tanya?” Namun sebenarnya disitulah peran penting otoritas untuk melindungi masyarakat. Otoritas akan mengetahui lalu lintas uang itu yang kemudian dilacak, diinvestigasi dan diputuskan siapa saja yang bersalah akan transaksi tersebut jika itu memang salah. Biasanya kejahatan pencucian uang, korupsi, penipuan, atau terorisme, selama masih ada aliran uang masuk dan keluar dari satu rekening ke rekening lain maka akan mudah dilacak.
Fungsi anonim yang melekat pada cryptocurrency ini memang bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi menguntungkan karena bebas (minim) bea transaksi, namun disisi lain sangat memudahkan berbagai macam kejahatan finansial seperti disebutkan sebelumnya. Namun regulator juga tidak akan kehabisan akal, saat ini mereka akan memverifikasi akun nasabah/user crypto melalui exchange tempat mereka membeli/menjual crypto-nya.
- Teknologi Blockchain Berbasis Digital
Tidak dapat dipungkiri bahwa cryptocurrency dengan teknologi blockchain adalah produk dari canggihnya teknologi komputer saat ini dipadukan dengan internet untuk memproses algoritma yang rumit yang sepenuhnya berbasis digital. Dengan kata lain kebutuhan atas listrik dan internet adalah hal yang mutlak harus dipenuhi. Jika misal dalam kondisi darurat khusus seperti bencana alam, perang dan force majeur lain yang meniadakan 2 hal tersebut maka transaksi crypto pun tidak akan bisa dilakukan. Bercermin pada bencana tsunami yang melanda Fukushima Jepang pada tahun 2011 yang lalu, orang yang memiliki dana cash-lah yang bisa bertransaksi karena sistem kelistrikan (dan tentu saja internet) tidak berfungsi. Uang di rekening walaupun gendut isinya tak bisa berbuat apa-apa. Jadi narasi “cryptocurrency sebagai alat tukar masa depan” akan sulit direalisasikan.
Demikianlah sedikit ulasan tentang cryptocurrency terlepas dari pro dan kontra yang terjadi. Cryptocurrency telah menjadi suatu realita dalam perkembangan peradaban teknologi umat manusia. Lalu bagaimanakah Islam memandang cryptocurrency sendiri? Pro dan kontra juga terjadi, namun pembahasannya akan dituliskan dalam episode selanjutnya. Insyaallah.
Referensi
- https://coinmarketcap.com/id/legal-tender-countries/ diakses pada 27 Mei 2023