Dilema Generasi Sandwich
Published Date: 24 March 2022
Dorothy A Miller (1981) dalam jurnal ‘Sandwich Generation: Adult Children of The Aging.’ memperkenalkan sebuah istilah baru ‘generasi sandwich’, yaitu generasi orang dewasa yang harus memenuhi kebutuhan anak-anak, sekaligus orang tua mereka. Fenomena seperti ini dianggap hadir akibat orang tua yang tidak mampu mempersiapkan hari tua anaknya sehingga pada umur dewasa pun si anak masih harus menanggung beban yang berlapis-lapis.
Istilah generasi sandwich sendiri sebenarnya sudah lama digunakan di negara-negara barat, hanya saja baru akhir-akhir ini istilah tersebut digunakan di Indonesia. Penggunaan istilah ini mulai dikenal dan ramai di Indonesia sekitar tahun 2020.
Biasanya istilah generasi sandwich ini digunakan untuk menjadi alasan mengapa seseorang di umur 20-an awal sampai 40-an tahun belum merdeka secara finansial. Keadaan ini melahirkan banyak presepsi, ada yang berpendapat bahwa keadaan ini merupakan salah orang tua karena tidak becus dalam mengurus dan mempersiapkan masa depan si anak sehingga pada umur dewasa masih harus menanggung banyak beban.
Alasan tersebut seringkali diikuti dengan narasi penyesalan akibat dilahirkan dari orang tua yang tidak siap secara finansial yang mengorbankan anak untuk menanggung banyak beban. Dari sana, biasanya akan ‘digoreng’ menjadi normalisasi child free (pilihan untuk hidup tanpa memiliki anak setelah menikah) agar tidak mengorbankan anak dengan keadaan seperti ini. Tetapi, adapula yang menyikapinya dengan menyiapkan tabungan masa depan agar tidak mengorbankan kepentingan anak di masa depan.
Ada pula yang berpendapat bahwa keadaan ini tercipta dari buruknya sistem kapitalis di negeri ini yang membiarkan beban ditanggung oleh rakyatnya tanpa ada solusi yang meringankan beban mereka. Sulitnya mencari pekerjaan, harga sembako yang sering naik, pendidikan mahal dan susah dijangkau, sampai banyaknya kasus korupsi menjadi alasan mereka berargumen bahwa generasi sandwich adalah salah pemerintah. Biasanya orang-orang yang berpendapat seperti ini memiliki sentimen dengan pemerintah dan akan berujung pada pembahasan politik.
Memang, beragam permasalahan sosial ekonomi dapat menjadi beban tersendiri bagi si generasi sandwich, terutama mereka yang belum memiliki gaji dua dijit. Beragam pengeluaran untuk orang tua dan anak menjadi agenda rutin bulanan. Sampai-sampai tidak ada dana lebih yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi.
Istilah generasi sandwich sendiri dipermasalahkan di negara barat karena budaya mereka sendiri, di mana orang yang sudah berusia 18 tahun wajib lepas dari tanggung jawab orang tuanya, begitu pula sebaliknya. Memang sekarang sedang banyak bermunculan usaha agar budaya barat diimplementasikan di kehidupan orang-orang Indonesia, tetapi tetap saja budaya tersebut tidak cocok dengan kultur orang timur seperti kita.
Sementara itu untuk generasi sandwich di Indonesia, yang turut merasa jadi ‘si paling menderita’ karena mengikuti budaya barat, terkadang lupa bahwa di negara kita masih banyak orang tua yang lanjut usia masih harus menghidupi anak sampai cucu bahkan cicit mereka. Padahal si orang tua sudah mempersiapkan dan menabung untuk kehidupan si anak di masa depan. Jadi, kalau kita mau adil dan tidak ada standar ganda, istilah apa yang cocok untuk orang tua seperti ini? Hot Dog Generation? Atau Pizza?
Kondisi ‘terhimpit’ dari pihak orang tua dan anak, membuat generasi sandwich terkadang merasa jadi orang yang kurang beruntung. Dirinya tidak memiliki ruang bertumbuh dan mengaktualisasikan dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Waktunya seakan tersita untuk melayani dua kutub yang seakan tidak pernah ada habisnya. Atau, jika memutuskan untuk mengabaikan salah satunya, khawatir terhadap sanksi sosial karena dianggap anak durhaka atau orang tua tidak bertanggung jawab.
Pada akhirnya dibutuhkan kesadaran untuk memahami situasi ‘sandwich’ dari beragam sudut pandang. Dan bagi seorang muslim, kembali melihat referensi syariat menjadi salah satu bagian dari usaha memahami keadaan ini.
‘Generasi Sandwich’ dalam Pandangan Islam
Meyakini Islam adalah agama sempurna merupakan salah satu langkah untuk menemukan jawaban atas setiap permasalah hidup. Termasuk dalam perkara generasi sandwich yang kita bahas kali ini.
Dalam Islam, keadaan ‘sandwich’ tidak dianggap sebagai sebuah masalah. Bila dalam budaya barat saat umur 18 tahun anak sudah harus berpisah dengan orang tua, dalam agama Islam orang tua tetap membantu dan menafkahi anak sampai mereka siap dan sudah menikah atau yang laki-laki sudah bekerja. Walaupun kadang ada juga kegagalan dalam mendidik anak yang mengakibatkan disaat anak dewasa si anak masih saja menyusahkan orang tuanya.
Syariat Islam mengatur keadaan anak laki-laki yang memiliki kewajiban menafkahi orang tua sampai kapanpun terutama ketika orang tua dalam kondisi yang sangat membutuhkan. Begitu juga perempuan yang sudah menikah dan masih ingin membiayai orang tuanya, dianggap sah-sah saja dan akan menjadi pahala tersendiri dengan catatan harus dengan izin si suami apabila ia tidak memiliki penghasilan sendiri.
Banyak anak yang mengeluh karena di masa tua mereka masih harus menanggung beban orang tuanya, tetapi sangat jarang sekali kita dengar orang tua yang mengeluh saat masa tua mereka masih harus membiayai kebutuhan anak dan cucu mereka dan lupa akan jasa-jasa orang tuanya. Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.” (QS. Al Ahqaf: 15)
Dari fenomena ini, memang kita tidak bisa menitikberatkan kesalahan pada orang tua atau si anak saja. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa memang masih banyak orang tua yang menuntut banyak kepada anak karena sudah mengeluarkan banyak biaya untuk kehidupannya yang berakibat meminta balas budi di kala anak sudah bekerja ataupun berkeluarga dan merasa dirugikan apabila anaknya sudah memiliki tanggungan sebelum membahagiakan orang tuanya.
Ada pula keadaan dimana si anak yang sudah seharusnya mampu mencari nafkah dan menafkahi keluarganya sendiri dan membantu orang tuanya justru merong-rong harta orang tua karena merasa orang tuanya masih mampu menafkahi dia dan juga anak-anaknya.
Jadi, generasi sandwich musibah atau berkah? Kembali lagi ke presepsi masing-masing. Pada intinya, kita sebagai anak masih memiliki tanggung jawab terhadap orang tua dan sepanjang kita dapat membantu orang tua merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah, dalam hadis Riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan,
سَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ « الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا » . قَالَ ثُمَّ أَىُّ قَالَ « ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ » .قَالَ ثُمَّ أَىّ قَالَ « الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قَالَ حَدَّثَنِى بِهِنَّ وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِى
“Aku bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘salat pada waktunya’. Lalu aku bertanya, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.’ Lalu aku mengatakan, ‘Kemudian apa lagi?’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Berjihad di jalan Allah’.”
Lalu Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan hal-hal tadi kepadaku. Seandainya aku bertanya lagi, pasti beliau akan menambahkan (jawabannya).”
Dan lagi, apabila sudah dan akan menjadi orang tua, jangan pernah menuntut balas budi atau mengandalkan anak menjadi sapi perah karena kemalasan atau ketamakan kita sebagai orang tua. Sebagai orang tua ,kita perlu mendidik anak kita menjadi orang yang siap menghadapi kerasnya hidup dan menjadi insan yang peduli terhadap keluarga dan orang sekitar.