Food Waste dalam Menu Berbuka Puasa

Marhaban yaa Ramadan! Dengan tibanya Ramadan yang penuh kebaikan, berbagai ganjaran dan hadiah besar yang berupa pahala pun dilipatgandakan. Pintu-pintu kebaikan terbuka lebar pada bulan yang penuh rahmat ini, bulan saat Al-Qur’an diturunkan, kitab suci yang penuh petunjuk dan cahaya. Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185). 

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat yang mulia ini, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa -yaitu bulan Ramadan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2/179)

Pada bulan Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa, tujuannya agar menjadi pribadi yang bertakwa. Hakikat puasa adalah membiasakan menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, maka diharapkan setelahnya dapat menahan diri dari hal-hal yang diharamkan. Selain itu, puasa juga mengajarkan kesederhanaan dan rasa syukur atas apa yang telah dimiliki, salah satunya adalah nikmat berupa makanan yang tersedia. 

Namun yang terjadi dewasa ini, momen tersebut dijadikan sebagai ajang melakukan perilaku konsumtif, terutama urusan menu berbuka. Sering kali kalap mata dan dorongan hawa nafsu membuat masyarakat menyiapkan banyak menu sajian, padahal kebutuhan konsumsi orang berpuasa terbatas. Hal ini sangat berpotensi meningkatkan limbah sampah sisa makanan. 

Food Waste Berdampak pada Lingkungan

Menurut Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) sampah sisa makanan (food waste) berarti jumlah sisa atau kerugian makanan yang terjadi pada tahap akhir yaitu ritel dan konsumsi akhir atau konsumen, dihasilkan pada saat proses pembuatan makanan maupun setelah kegiatan makan yang berhubungan dengan perilaku penjual dan konsumennya. Sejalan dengan itu, Azharama (2022) menjelaskan bahwa food waste merupakan suatu proses menyia-nyiakan makanan yang masih bisa dikelola ataupun dikonsumsi secara langsung dari ritel hingga tahap konsumen. 

Merujuk FAO (2016) sampah makanan di Indonesia berjumlah 13 juta ton setiap tahun, sama dengan 500x berat Monas di Jakarta dan diperkirakan mampu menghidupi 28 juta orang. Sampah makanan berasal dari retail, restoran, rumah tangga maupun industri pengolahan makanan dan dijalur distribusi (Mulyadi, 2019). Berdasarkan data Kementerian Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2018 timbulan sampah di Indonesia sebanyak 44% merupakan sampah makanan (KLHK, 2018). Pada Ramadan 2019, food waste di Jakarta meningkat hingga 211 ton. Menurut penelitian Barilla Center for Food & Nutrition, nilai indeks kehilangan dan kemubaziran pangan Indonesia masuk kategori buruk. Setiap tahun orang Indonesia membuang sampah makanan 300 kilogram dan masuk dalam peringkat tiga besar negara terburuk bersama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (Kompas.com). Timbulan sampah sisa makanan di Indonesia pada kurun waktu 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton/tahun atau setara dengan 115-184 kg/ kapita/ tahun (Bappenas, 2021).

Shinfi Wazna dosen Teknik Lingkungan Universitas Islam Negeri Surabaya (UINSA) menjelaskan bahwa jika dilihat dari komposisi sampah organik, zat yang paling banyak dihasilkan sampah ketika tertimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah gas metana. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan pemanasan global dan berdampak pada perubahan iklim. Gas metana yang berlebih dapat merusak lapisan ozon bumi sehingga suhu di bumi menjadi lebih panas. Selain itu gas metana juga dapat menyebabkan kebakaran. 

Selain berdampak pada pemanasan global, sampah organik yang membusuk juga dapat menyebabkakn eutrofikasi, yaitu pencemaran air oleh limbah fosfat. Dampak dari eutofikasi ini antara lain, yaitu rusaknya sumber mata air, rusaknya ekosistem air tawar, hingga kematian pada makhluk hidup yang menempati air yang telah tercemar tersebut (Hendrik, 2022). 

Dampak lain akibat food waste adalah potensi kehilangan ekonomi sebesar Rp107-346 triliun/ tahun, sektor tanaman pafi-padian yang paling besar kehilangan ekonomi. Timbulan food waste pada tahun 2000-2019 sebesar 23-48 juta ton/ tahun menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan gizi khususnya kandungan energi, protein, vitamin A, dan zat besi (Bappenas, 2021).

Food Waste Bertentangan dengan Nilai Islam

Data-data tersebut menjadi perhatian serius umat Islam, terutama di bulan Ramadan ini. Fenomena food waste sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berkaitan dengan pola konsumsi. 

Kembali pada tujuan puasa yaitu untuk menahan nafsu, termasuk menjaga diri dari lapar mata membeli menu berbuka. Allah berfirman,

وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“ … makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf (7): 31)

Selain itu fenomena food waste membuat pelakunya menjadi orang yang tabdzir. Allah berfirman,

اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَا نُوْۤا اِخْوَا نَ الشَّيٰطِيْنِ ۗ وَكَا نَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’ (17): 27)

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk menyisakan makanan, bahkan dianjurkan untuk menjilati jari-jari setelah makan.

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ أَمَرَ بلَعْقِ الأصَابِعِ وَالصَّحْفَةِ، وَقالَ: إنَّكُمْ لا تَدْرُونَ في أَيِّهِ البَرَكَةُ

“Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di mana keberkahan pada makanan tersebut.” (HR. Muslim)

Fakta di Indonesia, berdasarkan studi Status Studi Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilakukan oleh Balitbangkes, Kemenkes dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa kekurangan gizi pada balita berdasarkan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) yaitu sebesar 7,0% pada baduta dan 0,9% balita mengalami gizi buruk serta 4,0% balita mengalami kekurangan gizi. Ironisnya data-data ini muncul ketika fenomena food waste masih terjadi, apalagi meningkat ketika Bulan Ramadan. 

Perilaku food waste dan lapar mata membuat banyak orang kekenyangan sampai menunda ibadah sholat hingga tidak melaksanakan sholat tarawih. Kekenyangan mengganggu aktivitas ibadah berikutnya yang sebetulnya dapat dioptimalkan sebab cukupnya asupan, selain itu beresiko mengalami kenaikan berat badan dan obesitas yang menganggu kesehatan. Merujuk pada temuan UNICEF tahun 2018, 1 dari 5 anak usia sekolah (20% atau 7,6 juta), 1 dari 7 remaja (14,8% atau 3,3 juta) dan 1 dari 3 orang dewasa (35,5% atau 64,4 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Selama beberapa dekade terakhir, kelebihan berat badan dan obesitas terus meningkat di semua kelompok umur. 

Data RISKESDAS menunjukkan peningkatan tajam pada prevalensi dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan orang dewasa (dari 28,9% pada 2013, menjadi 35,4% pada 2018). Wanita dewasa terpengaruh secara tidak proporsional; pada 2018, 44,4% wanita hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas (dibandingkan dengan 26,6% pria). Selama Perang Dunia 1 dan 2, banyak korban meninggal akibat kelaparan. Sedangkan saat ini, berlebihan makan membuat masyarakat mengalami obesitas dan penyakit lain yang berakibat fatal hingga kematian.

Puasa hendaknya menjadi momentum bagi kaum muslimin untuk mengevaluasi atau muhasabah diri agar menjadi manusia yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي

“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi.” (HR. Bukhari)

Dengan munculnya fenomena-fenomena di atas, sebagai pertanda untuk umat agar kembali kepada tujuan awal dan fokus dalam menjalani ibadah Ramadan yang mulia. Semoga Allah mengerakan hati kita untuk selalu mengevaluasi diri. Aamiin.

 

Referensi:

 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *