Ingat Ya, Jangan Batal Puasa Ramadan Tanpa Uzur!
Published Date: 31 March 2023
Puasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi bagi orang beriman. Meski dalam praktinya terbuka peluang untuk tidak menjalankannya dikarenakan adanya uzur, namun ada konsekuensi yang menyertai ketika seorang muslim tidak berpuasa. Pemahaman tentang berpuasa merupakan perkara dasar, sebab puasa termasuk salah satu rukun Islam yang telah ada sejak zaman Rasululullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga kiamat nanti. Sehingga cukup mengherankan ketika seseorang yang mengaku muslim terlihat bermudah-mudahan tidak berpuasa tanpa adanya uzur yang dibolehkan syariat.
Praktik puasa sebenarnya sederhana saja. Secara kasat mata kita hanya diminta untuk tidak makan dan minum dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Selain kedua aktivitas tersebut ada aktivitas lain yang dianggap membatalkan puasa, seperti menghisap rokok, diinfus, dan lain sebagainya sesuai arahan fikih dari ulama. Namun porosnya ialah menahan lapar dan dahaga saja. Tapi beberapa tahun belekangan, praktik sederhana tersebut justru disepelekan oleh sebagian orang. Seolah tanpa konsekuensi ke depan, mereka bisa dengan mudah membatalkan puasa hanya semata merasa malas atau ikut-ikutan lingkungan. Dan hal itu dilakukan tanpa malu-malu lagi, langsung di depan orang lain yang mungkin saja menahan lapar dan haus karena berpuasa.
Padahal jika kita tahu, konsekuensi tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa uzur itu sangat berat, lho. Dalam sebuah hadis, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah diperlihatkan orang yang bergelantungan pada urat besar di tumitnya, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengeluarkan darah. Kemudian baru diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang membatalkan puasa sebelum waktunya. Bahkan dalam Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/434, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah, Adz-Dzahabi rahimahullah sampai berujar bahwa orang yang sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa uzur, dosanya lebih jelek dari berzina, atau menenggak minuman keras, bahkan diragukan keislamannya dan disangka sebagai munafik.
Peringatan keras dari hadis dan perkataan ulama semestinya sudah cukup menjadi pengingat bagi siapapun yang hendak membatalkan puasanya tanpa uzur. Itu baru batalnya saja, bagaimana lagi dengan sengaja memperlihatkan aktivitas makan dan minumnya di hadapan orang lain yang sedang berpuasa. Belum lagi jika perilaku tersebut dibarengi dengan meremehkan konsekuensi yang timbul darinya. Seorang ulama bernama Ibnu Bathtahal rahimahullah mengatakan bahwa, “Menampakkan perbuatan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, dan orang–orang saleh dari kalangan kaum mukminin.” (Fathul Bari, 10/486)
Ancaman keras juga disampaikan Nabi shalallahu’alaihi wa sallam tentang orang yang terang-terangan melakukan perbuatan dosa. Beliau bersabda (yang artinya),“Seluruh umatku akan dimaafkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang berbuat (maksiat) secara terang-terangan. Di antara bentuk menampakkan maksiat adalah ketika seseorang melakukan dosa di malam hari, dan Allah telah menutupinya. Namun, pagi harinya ia malah berkata, ‘Wahai Fulan! Semalam aku telah melakukan ini dan itu.’ Sungguh, pada malam itu Rabb-nya telah menutupi aibnya, namun di pagi hari ia justru membeberkan sendiri apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tutupi.” (HR.Bukhari, No. 6069. dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Jika rasa malu sudah hilang, paling tidak ingatlah akan konsekuensi yang akan didapatkan apabila kita secara sadar berbuka puasa di bulan Ramadan tanpa uzur. Bukan hanya ancaman tidak diampuni oleh Allah Ta’ala, namun siksaaan yang mengiringinya pun sangat berat. Dibayangkan saja sudah membuat bergidik.
Baca juga: Piala Dunia Qatar 2022 Jadi Ajang Mengenal Islam
Uzur Tidak Berpuasa di Bulan Ramadan
Berbagai ancaman dan peringatan tadi berlaku pada mereka yang mengaku beriman tapi tidak berpuasa di bulan Ramadan dengan sengaja tanpa adanya uzur. Padahal seperti kita tahu, Islam adalah agama rahmat yang penuh kasih sayang terhadap pemeluknya. Maka sebenarnya ada ruang bagi kita untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan asalkan disertai dengan alasan jelas. Berikut ini alasan yang diperbolehkan syariat alias uzur syar’i.
Uzur pertama ialah sakit. Orang sakit tentu akan merasa berat berpuasa karena kondisi badan yang lemah dan memerlukan asupan gizi lebih banyak. Orang sakit juga terkadang dihadapkan pada kebutuhan untuk mengonsumsi obat secara teratur agar dapat sembuh sesegera mungkin. Maka ketika kita dalam kondisi sakit, diperbolehkan kok untuk tidak berpuasa. Tapi jangan lupa untuk menggantinya pada hari lain di luar bulan Ramadan ketika kondisi badan sudah sehat.
Uzur kedua ialah bepergian atau safar. Orang yang bepergian jauh dalam jarak dan durasi tertentu diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Keringanan orang safar bahkan tidak hanya dalam perkara puasa tetapi juga kewajiban salatnya. Orang safar boleh menggabungkan dua waktu salat ataupun meringkas jumlah rakaat pada salat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan bagi pemeluknya. Konsekuensi dari uzur ini ialah menggantinya pada hari lain di luar bulan Ramadan.
Uzur ketiga ialah bagi wanita hamil dan menyusui. Meski ada saja wanita hamil dan menyusui yang mungkin merasa sanggup menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadan. Tapi ulama fikih berpendapat bolehnya mereka tidak melaksanakan puasa apabila khawatir dengan kondisi diri atau anaknya yang sedang dikandung atau masa pertumbuhan. Apalagi jika kondisi puasa dapat membahayakan keduanya. Maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan konsekuensi menggantinya di hari lain. Ada pula pendapat yang membolehkan hanya memberi makan orang miskin tanpa menggantinya.
Uzur keempat ialah orang tua dan jompo. Kalau yang ini mungkin sudah terbayang sebabnya, ya. Puasa bagi yang muda saja terkadang terasa berat dan melelahkan, maka apalagi bagi mereka yang sudah berumur lanjut yang sudah kepayahan menjalani hidup. Maka bagi mereka ini diperbolehkan tidak berpuasa dengan konsekuensi untuk memberi makan orang miskin di kemudian hari.
Uzur kelima ialah kondisi lapar dan haus yang amat sangat. Kondisi semacam ini tentu sangat subjektif dan dikembalikan kepada tiap orang. Bisa jadi dua orang yang berada dalam situasi kepayahan menjalankan puasa memiliki daya tahan berbeda dalam menjalani puasa di bulan Ramadan. Ulama membolehkan berbuka puasa jika kondisi tersebut mendorong bisa membahayakan nyawa. Konsekuensi dari pembatalan puasa dengan cara ini ialah menggantinya di waktu lain. Dan satu lagi, ingatlah bahwa Allah Maha Mengetahui isi hati hambaNya, jadi tetap jangan main-main dan bermudahan dalam hal ini.
Uzur terakhir ialah kondisi terancam. Nah, kondisi terakhir ini bisa saja terjadi ketika dalam situasi perang atau peristiwa mencekam lainnya. Ketika seseorang yang benci dengan syariat memaksa kita untuk membatalkan puasa disertai dengan ancaman yang dapat membahayakan nyawa. Tapi mudah-mudahan kita tidak perlu mengalami hal yang demikian.
Melihat deretan uzur di atas rasanya cukup bagi kita untuk memahami bahwa Islam memberi banyak kemudahan bagi pemeluknya. Bila tidak dapat berpuasa dengan alasan yang tepat, maka kita diberi kesempatan untuk menggantinya di lain waktu, ataupun memberi makan orang miskin. Maka jadi agak mengherankan apabila ada orang yang masih memiliki kemampuan untuk berpuasa namun dengan sadar meninggalkan kewajiban tersebut, bahkan terkesan menyepelekan.
Referensi:
- Peringatan Orang yang Enggan Puasa, Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc. Muslim.or.id
- Jangan Meremehkan Dosa, Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Asysyariah.com
- islamqa.info