Ledakan Tak Pernah Muncul Tiba-tiba

Seorang anak pejabat kantor pajak menganiaya bocah belasan tahun sampai bocah itu terbaring koma. Sebuah depo bahan bakar minyak kebakaran dan menyebabkan belasan orang tewas. Sebuah rumah pembuat petasan meledak dan meluluhlantakkan puluhan rumah di sekitarnya serta menewaskan satu keluarga si pembuat petasan.

Jika Anda menyimak berita-berita yang berseliweran di media massa belakangan ini, Anda tidak akan merasa asing terhadap potongan-potongan informasi di atas. Itulah tiga di antara sejumlah berita viral akhir-akhir ini. Namun, saya tidak hendak membahas berita-berita tersebut atau menganalisisnya seperti pengamat-pengamat di televisi membincangkan berita-berita yang heboh. Bagaimanapun, kejadian-kejadian semacam itu sudah sering kita dengar dan kemungkinan besar akan kita dengar lagi di masa mendatang. Dunia terus bergerak, orang-orang sibuk mengerjakan ini dan itu, dan karena tidak ada manusia yang sempurna, kadangkala kekeliruan terjadi dan menyebabkan masalah besar.

Bagaimana masalah besar bisa terjadi?

Jika kita belajar Bahasa Indonesia sebentar saja, tentu kita pernah membaca atau mendengar pepatah berbunyi “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Itu adalah pepatah yang membosankan dan karena membosankan kebanyakan orang mengucapkan atau mendengarkannya tanpa merasa perlu untuk memikirkan artinya lebih jauh. Kalau memang yang sedikit itu kelak menjadi bukit, lalu kenapa? Apa pentingnya bukit dalam pepatah itu untuk kehidupan ini? Ah, tepat sekali. Pada bagian “menjadi bukit”, pepatah itu memang jadi tak ada maknanya. Tetapi, bagian awalnya “sedikit demi sedikit”, itulah poin terpenting pepatah tersebut.

Mari kita lupakan pepatah itu dan menengok anak-anak kecil di sekitar kita. Mungkin Anda punya anak, adik, keponakan, atau tetangga yang masih balita atau belum lama lahir. Katakanlah di dekat Anda ada seorang bayi yang baru lahir, masih agak merah kulitnya dan lucu sekali wajahnya. Tapi, sadarkah Anda, sepuluh bulan yang lalu ia tak pernah ada, atau sudah ada tapi tak punya wujud yang nyata. Kini ia adalah seorang bayi, seorang makhluk kecil, tapi sebelumnya ia bahkan disebut “kecil” saja belum layak, karena memang tak punya ukuran.

Kemarin saya melihat video proses pertumbuhan seekor burung (saya tidak tahu jenis burung apakah yang ada dalam video itu, mungkin nuri atau kenari), dari baru menetas hingga mulai tumbuh bulu. Video berupa potongan perkembangan anakan burung itu dari hari ke hari begitu menakjubkan. Bagaimana tidak, burung itu mulanya tampak lemah dan rapuh pada hari-hari awal penetasannya. Kemudian si pemelihara memberinya pakan dan minum secara rutin, lambat laun burung itu pun tumbuh, sampai tubuhnya membesar dan dihiasi bulu-bulu indah.

Kita singkirkan dulu perkara anak-anak maupun burung dan mari kembali ke bagian dari mana tulisan ini dimulai.

Ketika ada seorang anak muda menganiaya anak muda lain sampai terluka parah, saya ragu bahwa itu adalah aksi pertama si pemuda melakukan kekerasan. Kemungkinan besar tindakan semena-menanya itu adalah puncak dari proses kebiadaban dia yang meningkat dari hari ke hari. Ketika kebiadaban itu sudah muncul dalam bentuknya yang paling mengenaskan dan berbahaya, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Ia boleh saja dihukum, dimaki oleh massa atau dikurung dalam bui. Tetapi itu semua tak membatalkan perbuatan buruk yang sudah dilakukannya dan fakta bahwa ada orang yang telah dirugikan akibat perbuatannya.

Alih-alih fokus pada penghakiman, alangkah baiknya kita mencurahkan perhatian untuk mencegah kesewenang-wenangan semacam itu terjadi di tempat lain oleh orang lain. Kita bisa memulai semuanya dari rumah—karena demikianlah kebanyakan hal berasal. Pendidikan menjadi perkara nomor satu. Kata-kata itu kedengarannya memang klise, tapi memang begitulah seharusnya. Bagaimana seorang monster atau manusia biadab bisa ada, itu adalah buah dari pendidikan dan pola hidup yang buruk. Kejahatan-kejahatan besar selalu bermula dari kejahatan kecil. Ketika seorang anak melakukan kejahatan kecil (anggaplah suka memukul temannya lantaran sebab sepele) lalu orangtuanya membiarkan saja, itu bisa jadi sinyal petaka. Pembiaran-pembiaran semacam itu akan membuat sang anak merasa perbuatannya sah-sah saja, dan pada kemudian hari bukan tidak mungkin ia akan melakukan kejahatan yang lebih besar.

Perkara depo yang meledak dan mengakibatkan korban jiwa juga berakar dari pola yang sama, yaitu adanya pembiaran. Dalam konteks ini, pembiaran terhadap warga yang membangun permukiman di sekitar depo. Terkait masalah pembangunan permukiman di sekitar depo memang akan jadi masalah yang kompleks dan rumit, tapi pada intinya semua bermula dari pembiaran. Kita terlalu mudah menoleransi sebuah kesalahan dan baru kaget betapa buruk pembiaran itu hanya ketika sebuah musibah besar terjadi. Begitu pula soal rumah pembuat petasan yang meledak. Kenapa tidak sedari dulu orang-orang di sekitar rumah si pembuat petasan—terutama ketua RT dan yang punya wewenang—memperingatkan atau melarang si pembuat petasan perihal riskannya membangun tempat pembuatan petasan di tengah permukiman umum dan tanpa prosedur yang ketat?

Kembali ke pertanyaan awal. Bagaimana masalah besar terjadi? Ya, tepat sekali, karena adanya pembiaran ketika masalah itu masih berupa masalah kecil.

Pembiaran ada dua jenis: pembiaran yang pasif dan pembiaran yang aktif.

Pembiaran yang pasif adalah pembiaran sebagaimana yang kita pahami, yaitu membiarkan suatu hal yang berpotensi mendatangkan bahaya terjadi tanpa ada kehendak dari diri kita untuk meminimalisasinya atau mengatasinya. Adapun pembiaran yang aktif (kedengaran oksimoron, memang) adalah membiarkan suatu hal yang berpotensi mendatangkan bahaya sambil diam-diam mendukung secara tidak langsung potensi bahaya itu jadi semakin besar.  Contoh nomor dua adalah apa yang (mungkin) terjadi pada diri si pelaku penganiayaan. Dia mungkin pernah melakukan kesalahan kecil, tapi orangtuanya cenderung membiarkan dan malah memberinya berbagai macam hadiah yang membuat egonya meningkat alih-alih membuat dirinya sadar. Saya tahu pernyataan saya ini kedengarannya seperti sebuah generalisasi, tapi poin yang ingin saya kemukakan adalah pembiaran menjadi dua kali lebih berbahaya ketika pihak yang membiarkan malah memberikan reward kepada pelaku “kejahatan kecil” dengan anggapan reward tersebut akan membuat si pelaku berubah jadi lebih baik. Tentu saja tidak demikian. Apa yang dapat membuat seorang pelaku kejahatan menjadi lebih baik bukanlah pemberian reward, tapi upaya untuk menjelaskan kepada si pelaku bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan sehingga ia menyadarinya dan mau mengoreksi perbuatannya.

Mari kita bergeser ke perkara anak-anak dan burung tadi. Bagaimana bisa seorang bayi dan seekor burung bertumbuh besar? Tentu karena orangtua dan perawatnya memberikan bayi dan burung tersebut asupan yang cukup. Dengan kata lain, proses pertumbuhan hanya bisa muncul dengan suatu tindakan aktif. Anak manusia maupun anak burung tidak akan bertumbuh jika dibiarkan, jika terjadi pembiaran. Alih-alih tumbuh, bisa-bisa mereka malah mati cepat. Dari sini, dapatlah kita tarik poinnya bahwa upaya untuk menjadikan sesuatu/ seseorang bertumbuh adalah dengan suatu tindakan aktif. Merawat, memelihara, memberikan pengajaran, memberikan pengawasan dan peringatan, menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, memberikan keterangan tentang dampak-dampak suatu perbuatan, dan seterusnya. Singkatnya, urusan menumbuhkan (entah sikap baik atau berat badan) bukanlah perkara mudah. Ada keharusan untuk aktif dan konsistensi dalam hal itu. Beda dengan menciptakan kematian atau sosok berwujud setan. Cukup lakukan pembiaran, niscaya seorang bayi atau seekor hewan akan mati. Cukup lakukan pembiaran, niscaya seorang anak akan jadi bajingan dan tak tahu aturan.

Baik tindakan aktif untuk menumbuhkan sesuatu atau pembiaran untuk menghancurkan sesuatu memerlukan waktu yang panjang untuk kita dapat saksikan hasilnya. Di sinilah pepatah “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit” perlu saya sitir kembali. Dan karena hasilnya baru bisa kelihatan dalam waktu yang lama, kadang orang tak sabar untuk menumbuhkan sesuatu dan memilih untuk membiarkannya. Dan biasanya ia baru sadar bahwa pembiarannya “menumbuhkan” sesuatu juga, tapi dalam bentuk yang berkebalikan, dalam bentuk yang tak diharapkan. Pada akhirnya, kita pun tahu bahwa ledakan, yang harfiah maupun bukan, tak pernah muncul tiba-tiba. Ada proses panjang di baliknya. Kita bisa mencegah ledakan itu terjadi maupun mempercepatnya. Tapi, jika ledakan itu telanjur muncul, apa-apa yang kita lakukan kemudian tak akan banyak gunanya.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *