Menahan Diri di Tengah Keriuhan
Published Date: 27 February 2023
Ketika saya pikir dunia baik-baik saja, saya membuka media sosial. Tanpa perlu waktu lama, saya segera menemukan kenyataan—setidaknya kenyataan di dunia maya—bahwa selalu ada masalah, pertikaian, perdebatan tak usai-usai. Jika semua itu sedang tak terjadi di sini, paling tidak itu terjadi di sana, di tempat yang tidak kita ketahui.
Pertikaian paling umum saya saksikan belakangan ini adalah perdebatan di media sosial. Orang-orang gampang sekali saling mencela, mendaku pendapatnya sendiri paling benar, dan mencari musuh di media sosial. Bahan bakar pertikaian itu pun beragam. Mulai dari perkara percintaan, pekerjaan, agama, hingga perkara-perkara sepele semisal perbedaan selera terhadap judul buku atau film tertentu. Saya sering takjub dibuatnya, betapa emosi manusia begitu mudah meluap-luap, betapa orang-orang enteng sekali meluangkan waktu untuk sesuatu yang sering kali malah berakhir merugikan mereka.
Beberapa hari lalu saya menonton film 12 Angry Men (1957), sebuah film legendaris besutan Sidney Lumet yang menceritakan perdebatan dua belas orang juri perihal suatu kasus kriminal. Mereka saling melempar argumen apakah terdakwa pantas dicap bersalah atau tidak. Salah satu adegan terbaik dalam film itu adalah manakala seorang juri yang kolot dan tua mengoceh panjang lebar, tapi ocehannya bernada diskriminatif. Lalu, satu demi satu juri lain berdiri dari kursi, membelakangi dia, enggan memedulikan ocehan dia, sampai dia akhirnya diam karena tidak ada orang yang mau mendengarkan omongannya.
Saya kira begitulah yang semestinya kita lakukan kalau ada orang yang mengumbar opini jelek atau sesuatu yang tidak kita sukai. Itu lebih menghemat tenaga dan memberi efek jera ketimbang kita meladeninya serta berbantah-bantahan dengannya tanpa ujung. Sayangnya, tak banyak orang melakukan itu, terutama di media sosial. Orang-orang lebih senang memperpanjang urusan, memviralkan sesuatu yang semestinya dibiarkan saja membusuk dan terlupakan. Memang ada kalanya suatu opini musti dibalas dengan opini lain, tapi biarlah itu dilakukan oleh seseorang yang memang layak untuk membahasnya, dan biasanya selalu ada orang untuk setiap bidang. Tak perlu repot-repot ikut masuk ke dalam kerumunan yang kita sendiri tak paham apa yang sedang mereka kerumuni.
Memang sulit menahan diri untuk tidak ikut-ikutan dalam keramaian. Apalagi jika keramaian itu membuat kita gelisah dan marah. Manusiawi belaka jika kita hendak mempertahankan nilai-nilai yang kita pegang, keyakinan-keyakinan yang kita genggam erat, atau semata membela sosok yang kita junjung. Akan tetapi, kerap kali suatu keramaian tidak muncul secara alamiah atau kalaupun muncul secara alamiah, tak lantas layak dipedulikan. Misalkan pada masa-masa pemilihan umum yang telah lewat. Pada waktu itu, heboh sekali perdebatan tentang ini-itu, terutama topik-topik yang mempertentangkan Calon A dengan Calon B. Polarisasi terjadi sedemikian hebat sampai-sampai ada saudara yang memusuhi saudaranya sendiri gara-gara perkara tersebut. Sialnya, keramaian-keramaian itu, keributan-keributan itu, tak jarang dinyalakan oleh para provokator yang memang sengaja memperkeruh suasana. Atau kalau bukan oleh provokator, biasanya orang-orang beridentitas tak jelas yang menyebarkan berita-berita provokatif tak bertanggungjawab. Dan lebih sialnya lagi, banyak orang begitu mudah terpancing oleh kabar-kabar yang tak jelas validitasnya.
Dalam situasi semacam itu—yang sering berulang dalam rupa berbeda-beda di masa kini maupun akan datang—kita memang perlu lebih tegas kepada diri sendiri. Tepatnya, lebih tegas dalam menahan emosi yang tak perlu. Sebelum capek-capek mencurahkan emosi—entah lewat status media sosial atau dalam obrolan-obrolan sengit di warung kopi—ada baiknya kita tinjau segalanya dengan tenang dan saksama. Jika mendapat suatu informasi tentang seseorang yang mencela keyakinan atau suku kita, umpamanya, jangan dulu menggebrak meja atau mengambil celurit. Lebih baik duduk di atas kursi dengan kepala jernih, baca secara keseluruhan informasi tersebut, baca pula data-data pembanding, bertanya kepada orang-orang yang lebih berpengetahuan perihal informasi tersebut, dan seterusnya. Itu jauh lebih berguna ketimbang langsung membuat status panjang (padahal hanya gara-gara baca berita broadcast pendek) yang penuh tanda seru dan huruf kapital.
Seorang ulama pernah berkata, “Jika seseorang hendak berbicara, ia harus berpikir dulu sebelum menyampaikannya. Bila apa yang akan dikatakannya tampak jelas akan membawa kemaslahatan, barulah ia boleh menyampaikannya. Namun jika ia meragukan kemaslahatan ucapannya, hendaknya ia tidak berbicara apa-apa.”
Kutipan tersebut layak menjadi pedoman kita sebelum bereaksi terhadap kejadian-kejadian di sekitar. Dengan membiasakan diri mempertimbangkan matang-matang dampak atas apa yang akan kita katakan, niscaya itu akan membuat kita lebih mawas diri sekaligus mencegah terjadinya hal-hal tak diinginkan. Memang tidak mudah menahan diri, tapi jauh lebih tidak mudah menanggung konsekuensinya. Sudah terlalu banyak kita melihat orang-orang yang menyesal, mendapat cacian dari banyak pihak, atau dalam tingkat paling ekstrem dipenjara dan dibenci banyak orang sepanjang masa lantaran blunder akibat tidak pandai menahan diri dalam menanggapi informasi atau kejadian tertentu
Lagi pula, ada banyak hal yang bisa kita lakukan selain reaktif terhadap isu-isu yang sedang ramai. Tentu tiap-tiap kita punya kesibukan masing-masing, kewajiban yang harus dipenuhi, orang-orang yang harus dikasihi, atau sesederhana hobi yang musti diperhatikan. Makanya, saat melihat orang-orang sibuk memancing di pemancingan terdekat atau bermain-main dengan burung piaraannya, saya tak lantas menganggap mereka sedang buang-buang waktu atau melakukan hal tidak bermanfaat. Boleh jadi apa yang mereka lakukan lebih bermanfaat ketimbang apa yang kita lakukan, ketimbang berdebat terus dan adu otot sampai kiamat. Setidaknya orang-orang itu, orang-orang yang disibukkan oleh suatu hal sehingga tak sempat mengurusi keramaian-keramaian tak perlu, telah berkontribusi dalam mengurangi potensi membesarnya nyala api yang dapat merusak kedamaian hidup banyak orang.
Percayalah, dunia akan tetap baik-baik saja walaupun kita tidak melontarkan pendapat apa-apa. Tidak akan terjadi perang nuklir atau invasi zombie hanya karena kita terlewat merespons suatu berita yang viral. Biarlah orang-orang yang pandai dalam bidangnya yang urun pendapat. Percayalah, sesungguhnya sebagian besar dari kita tak diperlukan pendapatnya; sesungguhnya kebanyakan orang tak peduli apakah kita bicara atau diam; sesungguhnya diam sering kali lebih berguna ketimbang bicara. Anda tak percaya? Cobalah menahan diri dari keributan-keributan yang beredar selama beberapa hari, lalu periksalah langit di atas rumah anda, apakah jadi mengandung asap beracun lantaran anda luput mengeluarkan pendapat ke hadapan dunia? (*)