Mengatasi Persoalan Kemiskinan Struktural

Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata kemiskinan? Mungkin akan terlintas di pikiran Anda bahwa kemiskinan adalah sebuah big giant problem yang angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun yang tidak kunjung ditemukan solusinya terutama bagi bangsa ini. Namun, ada hal yang menarik, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun 1999. Angka yang semula sebesar 23,43% dari keseluruhan penduduk Indonesia menjadi 9,82% di tahun 2018. 

Data Kemiskinan

Perlu diketahui terlebih dahulu, menurut BPS kemiskinan adalah ketika seseorang hanya bisa melakukan pengeluaran per bulan maksimal sebesar Rp472.525,- atau sekitar Rp15.750,-  per hari. Ini berarti orang yang memiliki pengeluaran di atas Rp15.750,- per hari sudah dikategorikan bukan orang miskin. Misalnya, seseorang memiliki pengeluaran harian sebesar Rp20.000,- BPS akan mencatat orang tersebut bukanlah orang miskin. Namun, secara logika orang yang hanya mempunyai pengeluaran sebesar Rp20.000 sehari tidak bisa dikatakan sebagai orang yang berkecukupan atau layak secara finansial. Mempertimbangkan faktor selain konsumsi pangan, seperti obat-obatan, pakaian dan tempat tinggal, apakah dengan nominal tersebut bisa benar-benar memenuhi kebutuhan seseorang terutama yang tinggal di perkotaan? Maka kita tidak bisa hanya melihat data dari BPS. Kita perlu melihat data yang lebih medekati realita.

Apabila kita merujuk pada standar Internasional mengenai kemiskinan, akan didapat bahwa orang yang dikategorikan miskin adalah mereka yang hanya mempunyai pengeluaran harian total $2 atau sekitar Rp30.000,-. Ternyata jika kita menggunakan standar tersebut persentase kemiskinan di Indonesia bukanlah 23,43% namun melonjak drastis menjadi sekitar 40%. Jika demikian, maka hampir setengah dari penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Walaupun tingkat kemiskinan cenderung menurun dari tahun 1999 sampai 2004 (persentasenya mencapai 6,77%), namun dari tahun 2014 sampai 2019, persentasenya hanya turun sekitar 1,74%. Itu artinya ada sesuatu yang menghalangi bertumbuhnya persentase penurunan kemiskinan di Indonesia.

Lalu, apa masalahnya? Masalahnya adalah, orang-orang atau keluarga yang dikategorikan miskin akan berpotensi membuat keturunannya sulit keluar dari lingkaran ini. Menurut hasil penelitian dari Smeru Reseach Institute yang meneliti tentang kemiskinan di Indonesia dari tahun 1993 sampai tahun 2014, seorang anak yang tinggal di keluarga miskin ketika berusia 8-17 tahun, memiliki pendapatan 87% lebih kecil dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak tumbuh dalam keluarga miskin. Serta sekitar 40% anak yang lahir dalam kemiskinan akan tetap miskin di usia dewasa. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa adanya kemiskinan struktural di Indonesia.

Lantas apa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural? Kemiskinan struktural adalah sebuah fenomena kemiskinan yang kondisinya terisolasi dengan struktur sosial dan juga lingkungan, di mana faktor sosial dan lingkungan itulah yang justru menghambat masyarakat miskin untuk keluar dari jurang kemiskinan. Setidaknya ada 4 faktor utama yang menyebabkan terjadinya kemiskinan struktural di Indonesia, yaitu:

  • Terjebak dalam Pola Pikir yang Salah

Pola pikir yang keliru tanpa sadar telah tertanam di sebagian masyarakat di Indonesia. Ironisnya, mereka yang mempunyai pemikiran ini berada di dalam kategori miskin. Hal ini telah membentuk lingkaran setan yang sulit diputuskan. Pola pikir ini justru membuat mereka terisolasi dan sulit untuk keluar dari jurang kemiskinan. Salah satu pola pikir yang umum di lingkungan masyarakat in adalah sikap pasrah dan terima nasib serta menganggap bahwa kemiskinan adalah takdir, yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan, yang tidak akan bisa mereka ubah. Seolah sudah menjadi konsensus bersama di antara masyarakat miskin di berbagai penjuru negeri bahwa kultur ‘nrimo’ ini adalah hal yang wajar untuk diyakini. Sehingga, cukup jarang yang termotivasi untuk mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.

Berikutnya berkaitan dengan mindset yang keliru tentang uang. Mereka meyakini bahwa uang bisa mengubah orang menjadi jahat dan serakah. Mereka merasa lebih nyaman berada dalam kelompok yang sama-sama orang miskin. Hal ini didasari karena sejak kecil mereka sudah melihat kemiskinan adalah suatu kewajaran dan dianggap sebagai hal yang lumrah. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan dalam firman-Nya pada Surat Ar-Ra’d ayat ayat 11:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwasanya semua perkara di seluruh dunia ini terjadi dengan takdir dan perintah-Nya. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan sunnah-sunnah kauniyah dan syari’at dalam mengubah nasib suatu kaum. Sehingga, umat yang menjalankan sunnah-sunnah kauniyah dan syari’at untuk kejayaan, maka Allah subhanahu wa ta’ala mengubahnya menjadi jaya. Demikian juga sebaliknya, apabila mereka abai menjalankan petunjuk Allah untuk menjauhi kerendahan dan kehinaan -atau membuat orang-orang menjadi jahat dan serakah-, maka Allah menjadikan mereka hina dan rendah. Hal ini telah terjadi pada umat-umat terdahulu, yang semestinya menjadi pelajaran bagi umat manusia pada zaman sekarang.

  • Sulitnya Akses Pendidikan yang Berkualitas

Sering kita menyaksikan kondisi fasilitas pendidikan di Indonesia yang sangat jauh dari kata layak, apalagi di daerah-daerah pelosok yang terisolir. Tak jarang akses anak-anak untuk sampai ke sekolah juga sangat tidak memadai bahkan pada sebagian lokasi bisa dibilang sangat ekstrim dan membahayakan. Meskipun kondisinya demikian, semangat anak-anak dalam menuntut ilmu sangat perlu untuk diapresiasi. Dengan akses yang seadanya dan fasilitas transportasi yang tidak memadai tidak serta merta menyurutkan semangat mereka dalam belajar. Namun, ternyata kondisi tersebut hanya sebagian kecil dari keseluruhan kondisi anak-anak miskin di Indonesia. Kondisi mayoritas anak-anak miskin di Indonesia yang sebenarnya adalah terbatasnya kondusifitas lingkungan belajar. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang putus sekolah karena tuntutan untuk membantu orang tua mencari uang karena faktor ekonomi. Sulitnya akses untuk meraih pendidikan yang berkualitas membuat membantu orang tua jauh lebih baik bagi mereka. Alhasil, anak-anak tersebut makin sulit berkembang dan lepas dari lingkaran kemiskinan dan karena pendidikan yang rendah. 

  • Economic Behavior yang Buruk

Seperti kata pepatah, “Sudah jatuh tertimpa tangga“. Ungkapan ini agaknya tepat untuk menggambarkan perilaku ekonomi sebagian besar masyarakat miskin. Mereka tidak paham cara membelanjakan uang dengan baik dan benar. Pada sebagian masyarakat, membelanjakan uang untuk pengeluaran yang konsumtif secara berlebihan adalah hal yang wajar. Ketika mendapatkan uang, sedikit saja dari mereka yang menyisihkan uang tersebut untuk ditabung atau diinvestasikan. Beberapa di antara mereka justru menggunakan uang itu untuk keperluan online game, judi slot atau bahkan untuk membeli minuman keras. Bahkan, masih segar diingatan kita perilaku konsumtif para petani di Tuban, Jawa Timur yang beramai-ramai membeli mobil mewah setelah mendapatkan uang milyaran dari Pertamina atas dana pembebasan tanah mereka. Saat ini kondisi mereka bahkan ada yang menyisakan uang sekitar Rp50 juta saja dari Rp17 miliar yang mereka dapatkan dari Pertamina. Parahnya lagi saat ini sebagian dari mereka tidak mempunyai penghasilan lagi karena sudah tidak ada lahan bagi mereka untuk bercocok tanam.

Maka, faktor lingkungan dan pendidikan mempunyai pengaruh besar. Circle pertemanan atau pendidikan yang baik membuatnya mempunyai pengambilan keputusan yang baik pula dalam hal finansial. Literasi finasial yang memadai bisa membuat orang-orang yang diberi uang milyaran rupiah akan tetap humble dan menggunakannya dengan bijak.

  • Keterbatasan Akses Sumber Daya

Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan yang mengatakan bahwa menjadi orang miskin biayanya lebih mahal daripada menjadi orang kaya. Maksud dari ungkapan tersebut adalah karena orang miskin memiliki akses yang terbatas terhadap sumber daya. Contohnya di Jakarta, menurut mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan hingga kini baru sekitar 57% warga Jakarta yang memiliki akses terhadap air bersih melalui pipa. Sementara 43% lainnya tidak memiliki akses air pipa bersih. Sehingga orang yang tidak memiliki akses air bersih melalui pipa mereka yang tergolong miskinmau tidak mau membeli air eceran dengan harga yang lebih mahal.

Contoh yang kedua yaitu ketika orang miskin hendak memiliki barang seperti smartphone, misalnya, mereka biasanya lebih memilih mengambil kredit jangka panjang yang memiliki jangka waktu bertahun-tahun, yang secara otomatis harga belinya jika ditotal bisa berkali-kali lipat dari pada harga beli tunai. Bahkan yang lebih parah lagi adalah ketika mereka mengambil kredit kepada rentenir dengan bunga tinggi. Sudah jatuh kepada riba, harus pula membayar bunga yang mencekik. Hal tersebut disebabkan karena mereka tidak mempunyai akses kepada pendanaan syariah yang mengutamakan prinsip-prinsip syariah dengan pertambahan nilai yang wajar. Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.

Itulah 4 faktor utama yang mendasari terjadinya kemiskinan struktural di Indonesia. Hal tersebut menyadarkan kita rumitnya masalah kemiskinan di negeri ini. Agar pengentasan kemiskinan bisa diatasi, kita perlu melakukan perubahan yang menyeluruh, terstruktur dan jangka panjang mencakup perubahan pola pikir, mempermudah akses pendidikan, dan pemerataan sumber daya serta menggagas kebijakan-kebijakan yang mendukung perubahan positif menuju masyarakat yang adil dan makmur. Peran aktif pemerintah yang bersih juga merupakan faktor penentu kesuksesan pengentasan kemiskinan. Pelatihan dan pemberdayaan masyarakat miskin juga perlu untuk ditingkatkan lebih masif lagi, agar rakyat miskin memiliki kesempatan yang sama untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Sehingga persentase ketimpangan sosial di Indonesia bisa semakin menurun.

Pandangan Islam Mengenai Kemiskinan

Kemiskinan bukanlah hal baru. Hal ini pun menjadi perhatian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, beliau pernah bersabda terkait ketakukan beliau jika umatnya berada dalam lingkaran kemiskinan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَاللَّهِ لاَ الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah, sebenarnya bukanlah kemiskinan yang aku takutkan akan membahayakan kalian. Akan tetapi, yang kutakutkan adalah apabila dunia telah dibentangkan pada kalian, sebagaimana telah dibentangkan pula bagi orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun akhirnya berlomba-lomba untuk meraih dunia sebagaimana orang-orang terdahulu berlomba untuk mendapatkannya. Akhirnya kalian pun akan binasa, sebagaimana mereka binasa.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa kemiskinan sebenarnya bukanlah perkara yang ditakutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam takut adalah apabila manusia sudah terpesona dengan dunia dan akibatnya mereka melanggar batasan-batasan Allah dan terjerumus dalam kubangan maksiat. Rasulullah takut orang-orang miskin telalu sibuk bekerja dengan dalih mencari kebahagiaan duniawi. Mereka bekerja pagi sampai malam tanpa menghiraukan waktu sholat, misalnya, atau tanpa memperhatikan halal-haramnya suatu pekerjaan. 

Perlu diingat bahwa apa yang terjadi pada diri kita, apa yang kita alami, kadang juga berasal dari diri kita sendiri -termasuk menetapnya suatu golongan di dalam kemiskinan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Bukan tidak mungkin kemiskinan yang dialami oleh sebagian masyarakat adalah buah dari dosa yang mereka lakukan. Oleh sebab itu, solusi yang paling tepat adalah dengan membersihkan diri kita dan seluruh umat dari dosa. Bertaubat dari dosa yang kecil hingga yang paling besar, seperti syirik dan bid’ah. Kemudian, mari berupaya dengan sungguh-sungguh untuk kembali kepada panduan hidup kita yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman para shahabat. Plus, mengembalikan prinsip-prinsip tauhid ke tengah-tengah umat, serta menghancurkan segala bentuk kesyirikan dan kebid’ahan yang menjadi akar masalah kaum muslimin. Semoga dengan kembalinya tauhid ke dalam dada-dada kita kaum muslimin, Allah akan mengembalikan pula kejayaan dan muru’ah umat Islam khususnya di Indonesia. Jika bendera tauhid dan sunnah telah tegak berkibar dan bendera syirik dan bid’ah hancur, maka saat itu kita berhak mendapatkan janji Allah, yaitu kemenangan.

Referensi: 

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *