Seri Saham: Mengenal Saham dan Bagaimana Islam Memandangnya (Bag. 1)

Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata ‘saham‘? Mungkin akan sama dengan penulis ketika pertama kali mendengar kata tersebut, walaupun akhirnya sudah mencari tahu dari berbagai sumber namun masih dihinggapi kebingunan. Sederhananya saham adalah surat berharga bukti kepemilikan terhadap suatu perusahaan. Defisini sederhana namun ada beberapa hal yang membuat bingung yakni mekanismenya, seperti:

  • Kenapa harganya ada yang murah sekali mulai dari Rp 50,-/lembar, sedangkan aset suatu perusahaan nilainya bisa puluhan bahkan ratusan milyar ?
  • Apakah saham itu berwujud lembaran? Apakah jika kita membeli 1 juta lembar saham maka kita akan mendapat sejumlah jutaan lembar kertas seperti tumpukan uang kertas?
  • Kenapa harga saham bisa naik dan turun?
  • Apakah saham termasuk judi? 
  • Bagaimana hukum saham dalam Islam?

Pertanyaan di atas adalah beberapa hal dasar yang sempat membuat bingung penulis sampai kemudian terus belajar dan memahaminya. Nah, penulis di sini tidak ingin membuat Anda terlalu lama mencari dan coba menghadirkan penjelasan yang lebih mudah melalui cerita di bawah ini.

Anto, Budi, Caca dan Dodo adalah 4 orang sahabat. Alkisah mereka berempat sepakat untuk mendirikan perusahaan secara patungan dengan modal total Rp100.000.000,-. Perusahaan tersebut diberi nama PT. ABCD Sukses Bersama. Modal tersebut dibagi rata masing-masing Rp 25.000.000.-per-orang sehingga persentase kepemilikan masing-masing adalah 25%. Modal 100 Juta inilah yang direpresentasikan dengan satuan lembar. Jumlahnya ya suka-suka mereka, mau dibuat lembarannya sedikit, ya buat saja harga 1 lembar saham PT ABCD adalah Rp1 juta sehingga total saham beredarnya hanya 100 lembar. Atau mau dibuat harga saham terlihat murah maka dapat diputuskan harga perlembar saham PT ABCD adalah 100 rupiah sehingga total saham beredar adalah 1.000.000 lembar.

Harga saham perlembar x jumlah saham beredar = Kapitalisasi Pasar atau nilai pasar, contoh dalam hal ini Rp100.- X 1.000.000 lembar = Rp100.000.000.-. Seratus juta rupiah inilah modal yang terkumpul dari 4 orang di atas.

Mengapa harus demikian?

Sebenarnya bisa saja dengan langsung menggunakan metode persentase seperti di atas, namun yang perlu diperhatikan adalah jika suatu saat nanti modal tersebut sudah berkembang/ ada yang keluar masuk sebagai investor baru, maka akan susah alias ribet dalam pencatatan maupun pembagiannya. Jika hanya segelintir orang pendiri perusahaan tentu mudah pencatatannya, namun dalam kenyataannya dibutuhkan banyak investor / penanam modal untuk menghimpun dana yang besar.

Bagaimana jika ada yang membeli saham sejumlah 500 lembar saja dari total 1 Juta lembar saham?

Apakah kita akan mencatatnya dengan persentase 0,0005% pemilik saham PT ABCD?

Bagaimana pula jika hendak menjual setengah dari 0,0005% saham tersebut?

Katakanlah setelah PT ABCD berjalan selama 3 tahun Caca ingin keluar dari perusahaan dan hendak mengambil modalnya yang dulu ia setorkan sejumlah 25% kepemilikan. Apakah Caca akan rela dan adil jika hanya dikembalikan senilai Rp 25.000.000.- seperti awal mereka merintis? Padahal setelah berjalan 3 tahun tersebut, katakanlah, PT ABCD telah mendapatkan laba ditahan sebesar Rp 50.000.000.- alias 50% dari modal disetor diawal. Apakah Caca akan mendapatkan 25 Juta + 50 % laba ditahan?

Tentu saja tidak semudah itu, Jangan lupa ternyata PT ABCD juga mempunyai hutang sejumlah 20 Juta rupiah dan sebagian pendapatan juga masih dalam bentuk piutang alias belum berupa cash. Maka akan lebih adil jika pengembalian modal Caca juga mempertimbangkan Nilai Buku (book value) asli perusahaan tersebut setelah dikurangi hutang dan beban lainnya juga. Maka dengan menggunakan satuan lembar akan mudah dalam administrasi pencatatan suatu kepemilikan perusahaan dan digunakan sebagai acuan penetapan harga suatu saham sesuai nilai wajarnya. 

Lalu istilah apa yang digunakan, satuan lembar atau lot? Tidak ada pengaruhnya, lot adalah minimal jumlah saham yang dapat dibeli/jual dalam 1x transaksi. Saat ini (2022) 1 lot = 100 lembar saham. Dulu pernah 1 lot = 500 lembar dan bahkan akan ada wacana untuk mengubah 1 lot menjadi 10 atau 1 lembar saham untuk membuat harga saham lebih terjangkau semua kalangan. Jika harga saham adalah Rp100,-/ lembar maka minimal 1x transaksi beli/jual adalah Rp100,- x 100 lembar = Rp10.000,- sekali transaksi (belum termasuk fee broker).

Apabila kita telah membeli 1 lot saham = 100 lembar, misalnya, bukan berarti kita akan mendapat sertifikat berupa kertas sejumlah 100 lembar. Meski dahulu saham memang diwujudkan secara fisik berupa kertas sertifikat khusus yang menunjukkan bukti kepemilikan, tapi tidak pula berarti 1 lembar saham = 1 lembar kertas sertifikat tapi cukup tertera di sertifikat tersebut bahwa 1 lembar sertifikat ini bernilai sekian lembar saham dengan nilai sekian.

Pada era digital saat ini, saham cukup diwakilkan dan dicatat secara digital (scriptless) yang disimpan oleh KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia), jadi saham tidak perlu dicetak secara fisik lagi. KSEI akan mencatat saham tertentu, di waktu tertentu dimiliki oleh siapa dan berapa jumlahnya. Karena saham sudah berbentuk digital sehingga lebih mudah lagi berpindah tangan alias diperjual belikan maka tingkat fluktuasi harga saham akan sangat sering terjadi.

Hal tersebut menjelaskan kenapa dan bagaimana harga suatu saham naik dan turun bahkan sangat signifikan hanya dalam hitungan menit bahkan detik. Karena transaksi jual dan beli saham sangat mudah dan berlangsung tiap hari aktif di jam bursa. Supply (penawaran) dan demand (permintaan) sangat berpengaruh disini. Hukum dasar ekonomi berlaku, dimana semakin banyak permintaan akan suatu barang dan barang tersebut terbatas/langka maka akan membuat harga dari suatu barang tersebut naik, pun begitupula sebaliknya.

Saham dalam Syariat Islam

Dalam syariat islam tidak ada peraturan bahwa pemegang saham tidak boleh menjual sahamnya, jadi sah-sah saja jika pagi beli saham, sore sudah dijual lagi. Jika itu yang dilakukan maka istilahnya adalah ‘trading saham’ (jual beli saham yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, biasanya jangka pendek, pelaku disebut trader), berbeda tapi tetap beririsan dengan ‘investasi saham’ (jual beli saham juga yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, biasanya jangka panjang, pelaku disebut investor). Keuntungan dari selisih harga beli (yang lebih rendah) dari harga jual (yang lebih tinggi) itulah yang dicari oleh trader maupun investor saham yang biasa disebut dengan istilah capital gain.

Karena banyak pihak yang mencari capital gain tersebut, mengakibatkan harga sangat fluktuatif – naik dan turun – dalam waktu singkat. Akhirnya ada orang yang memanfaatkan hal tersebut dengan cara tebak-tebak buah manggis, beli saham ABCD dan berharap harganya naik, jika benar harga naik maka dia untung, tapi jika salah dan harga saham turun maka dia buntung alias rugi. Hal tersebut mengakibatkan ada beberapa kalangan yang berpendapat bahwa aktifitas jual beli saham adalah judi!

Perilaku spekulatif demi mendapat keuntungan dari capital gain memang identik dengan judi. Berangkat dari situ, penulis berpendapat bahwa perilaku terkait jual-beli tersebut yang diharamkan, bukan instrumennya. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada saham saja, bisa jadi lomba lari dijadikan ajang taruhan judi, namun apakah lomba larinya serta merta menjadi haram?

Kemudian soal pernyataan lain bahwa, “Saham itu tidak ada wujudnya, jadi tidak bisa diperjual belikan!”Pernyataan tersebut sering menjadi argumen utama orang yang mengharamkan saham. Sekali lagi ‘wujud’ dari saham sebenarnya adalah hak seseorang terhadap suatu perusahaan yang di dalamnya ada aset-aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Bisa berupa tanah, gedung, mesin, kendaraan dan lain-lain. Lalu bolehkah seseorang menjual hak tersebut yang sesuai dengan porsi kepemilikannya?

Jika saham itu haram maka bagaimana hukumnya jika anda bersama dengan dua atau tiga orang teman anda berserikat mendirikan warung bakso dengan setoran modal tertentu itu haram juga? Jika saham itu haram karena tidak ada wujudnya maka bagaimana dengan hak royalti penulis buku, lisensi yang dijual software house atau hak paten yang didapat ilmuan karena penelitiannya berhasil dan dimanfaatkan orang lain?

Perlu diketahui bahwa Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan MUI telah mengeluarkan daftar efek syariah sesuai dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Memang benar bahwa tidak semua saham itu halal dan bisa dimiliki oleh seorang muslim. Apa saja kriterianya?

Insyaallah akan dibahas dalam artikel selanjutnya.

Author

1 thought on “Seri Saham: Mengenal Saham dan Bagaimana Islam Memandangnya (Bag. 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *