Menulis Itu Dari Saya, Oleh Saya, Untuk Saya

“Menulis mempertajam pikiran saya.” (Gita Wirjawan, 2024, 6:43)

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Herald van der Linde, penulis buku Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire, di kanal YouTube Gita Wirjawan, seorang Wirausahawan dan mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Pak Gita mengiyakan pernyataan tersebut. Beliau juga menambahkan bahwa orang-orang yang menulis cenderung mempunyai pola pikir yang lebih tertata.

Dua hal tersebut merupakan beberapa dari manfaat yang bisa kita dapatkan ketika menulis. Jika kita mencari ‘manfaat menulis’ melalui pencarian Google, misalnya, kita akan mendapat daftar faedah yang berjibun. Sebagai contoh, dari blog.tempoinstitute.com, diperoleh beberapa manfaat menulis, yakni: meningkatkan kreatifitas, wadah untuk menuangkan emosi/perasaan, menjadi lebih terorganisir, memperkuat daya ingat, meningkatkan kemampuan dalam berbahasa yang baik, bahkan menulis bisa menjadi jalan untuk menghasilkan uang.

Kalau kita perhatikan, manfaat-manfaat tersebut akan kembali kepada para penulis. Penulislah yang akan menuai buah dari apa yang ditulisnya. Keterampilan menulis kita akan terus meningkat jika terus menulis. Kemampuan berliterasi kita akan terus berkembang seiring dengan banyaknya bacaan dan riset yang kita lakukan untuk menghasilkan tulisan.

Menulis Buatmu Terancam Keren

Tidak semua orang keren menulis, tapi orang-orang yang menulis itu biasanya keren. Mereka keren karena proses menulis memang tidak mudah. Menulis membutuhkan ide yang datangnya tidak bisa dipaksa, bahkan kadang perlu waktu lama. Menulis membutuhkan riset. Setelahnya ada proses editing, dan sebagainya. Prosesnya yang panjang kadang membuat seseorang tak tahan. Maka, orang yang bisa gigih dalam menulis dan menghasilkan karya -menurut saya- tergolong orang yang keren.

Alasan berikutnya kenapa menulis membuat kita keren adalah karena menulis akan ‘memperpanjang usia’ kita. Maka, ada istilah menulis bisa membuat kita meraih usia kedua. Usia kedua bukan berarti kita hidup lebih lama atau mendapatkan kesempatan kedua di dunia. Maksudnya, meskipun si penulis telah meninggal, karyanya tetap bisa ‘hidup’, dibaca, dinikmati, dan memberi manfaat bagi orang-orang yang membacanya.

“Ada manusia yang usia karyanya, jauh lebih panjang dibandingkan usia fisiknya. Sekalipun dia sudah meninggal ratusan tahun di masa silam, namun karyanya tetap segar dan terlihat jelas di permukaan.” (Konsultasi Syariah, 2017)

Keren, kan? Orangnya sudah tidak di dunia, tetapi karyanya masih ada di sekitar kita. Banyak sekali contohnya. Ibnu Hajar, misalnya, penulis Bulughul Maram, telah meninggal pada tahun 852 Hijriyah (1449 Masehi). Namun, karyanya masih bisa dibaca hingga kini. Artinya, buku tersebut telah berusia lebih dari 590-an tahun (perhitungan Hirjiyah atau 570-an tahun jika menurut kalender Masehi).

Menurut konsultasisyariah.com, beliau wafat pada usia 79 tahun. Karya beliau telah hidup tujuh kali lebih lama dari usianya. Lebih dari itu, berarti beliau telah memanen banyak sekali kebaikan karena karyanya sangat bermanfaat. Berarti beliau telah mendapatkan banyak sekali pahala darinya.

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya Kami yang menghidupkan orang mati, Kami catat semua yang telah mereka lakukan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan..” (QS. Yasin: 12)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa salah satu makna dari ayat tersebut, yakni Allah subhanahu wa ta’ala mencatat amal yang mereka kerjakan dan dampak dari amal tersebut. Jika baik, maka dicatat sebagai kebaikan dan jika buruk maka dicatat sebagai keburukan.

Hadis dari Jarir bin Abdillah pun menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang menghidupkan sunah yang baik dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya maka dicatat untuknya mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Siapa yang menghidupkan tradisi yang jelek di tengah kaum muslimin, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim 2398, Ahmad 19674, dan yang lainnya)

Teranglah sudah bahwa penulislah yang akan paling menikmati hasil dari buah tulisannya. Kalau dalam konsep demokrasi ada frasa “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, menulis pun demikian. Frasanya jadi “dari penulis, oleh penulis, dan untuk penulis”.

Maka, mulailah membiasakan diri untuk menulis. Luruskan niat menulis. Bukan agar orang lain mendapat manfaat dari tulisan kita -walaupun itu bisa terjadi, insyaAllah-, tetapi minimal untuk diri sendiri. Menulislah agar kita bisa mengikat dan menjaga ilmu (Shahih Al-Jami’ no. 4434). Catatlah ilmu yang kita peroleh untuk kita baca kembali saat kita lupa. Kiranya hanya masalah waktu tulisan-tulisan tersebut akan dikenal orang lain atau tidak.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membantu kita untuk terus istikamah menuntut ilmu dan membuat kita mendapat manfaat dari ilmu yang kita punya, melalui menulis, misalnya.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *