Kesampingkan Membaca Digital, Kembali ke Gaya Konvensional
Published Date: 30 December 2023
Pada tengah tahun 2023, Kementerian Pendidikan Swedia mengumumkan bahwa mereka mengembalikan sumber informasi cetak seperti buku sebagai komponen utama dalam pembelajaran di sekolah. Maka, tidak seperti kebanyakan negara Eropa yang justru mulai mengalihkan medium belajarnya ke ranah digital, Swedia justru ingin agar setiap anak di sekolah terbiasa kembali dengan buku. Hal tersebut terlihat seperti kontradiksi di tengah kecenderungan tren pendidikan global yang mendorong para siswanya mulai terbiasa memanfaatkan perangkat digital dalam membantu proses pembelajaran. Meski demikian, negara skandinavia ini punya alasan yang cukup kuat ketika memutuskan untuk kembali ke material cetak.
Dikutip dari Jusoorpost, Menteri Pendidikan Swedia Lotta Edholm menyampaikan argumentasinya kenapa negara mereka perlu kembali pada perangkat cetak lagi.
“Orang yang membaca lewat kertas dapat memahami poin utama dengan lebih baik, mengingat banyak bagian, dan memperlihatkan kemampuan baca yang komprehensif. Lebih jauh lagi, ada penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang menggunakan kertas dan pensil ketika menulis esai, lebih mudah untuk mengenali huruf, dan mengingat hasil belajar,” ujarnya.
Apa yang disampaikan oleh Edholm seperti menjadi pengingat bagi kita yang semakin terbiasa dengan perangkat digital dalam mengolah informasi. Kita hendak membiasakan diri untuk membaca buku secara digital lewat perangkat smartphone atau laptop agar lebih efisien. Perangkat digital mampu membawa ribuan bahkan jutaan judul buku maupun sumber informasi lain dalam satu waktu tanpa bobot tambahan. Namun, seringnya proses membaca lewat perangkat tersebut tidak berlangsung optimal dan lebih mudah teralihkan dengan banyaknya aplikasi lain di dalam perangkat. Bagi orang yang sudah cukup dewasa mungkin mudah saja memilah prioritas ketika hendak membaca di perangkat digital. Perkara berbeda dapat terjadi pada siswa yang sedang dalam masa pertumbuhan. Di mana fokusnya harus dilatih sedemikian rupa dan salah satunya ialah memberikan medium belajar konvensional seperti kertas.
Kekhawatiran lain tentang penggunaan perangkat digital, yakni soal screen time bagi para siswa, terutama di tingkat dasar. Lamanya waktu di depan layar dapat membuat potensi pertumbuhan seseorang dapat terhambat karena perilaku pasif justru terjadi ketika seseorang lama menggunakan perangkat digital seperti smartphone, yang sering diakses siswa. Sehingga para orang tua dan guru perlu menyadari efek jangka panjang ketika seseorang menghabiskan waktu pertumbuhannya untuk secara rutin menggunakan perangkat digital.
Swedia sendiri tidak sepenuhnya menghilangkan kebutuhan terhadap perangkat digital dalam sistem pendidikannya. Mereka hanya membatasi penggunaan smartphone, laptop, maupun Personal Computer (PC) yang dapat diakses dalam pembelajaran dan mengembalikannya melalui perantara informasi konvesional seperti buku atau jurnal bacaan secara langsung. Perangkat digital ditempatkan sebagai suplemen tambahan apabila informasi yang didapat dari buku membutuhkan contoh penguat atau informasi tambahan yang sifatnya sekunder. Untuk usahanya ini, Swedia bahkan rela mengalokasikan dana sebesar 685 juta kroner atau sekitar Rp103 miliar untuk menjalankan program mengganti screen time menjadi reading time.
Baca juga: Betulkah Membaca Adalah Hal yang Luar Biasa?
Indonesia Belum Perlu Buku Digtal
Bila Swedia menginginkan agar para siswanya kembali kepada cara konvensional dengan membaca buku cetak. Persoalan berbeda justru terjadi di negara kita tercinta Indonesia. Bukan tentang buku digital atau buku cetak, tapi tentang bagaimana agar para siswa kita mau membaca. Membaca belum menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi masyarakat di Indonesia. Ada banyak faktor memang, seperti persoalan ekonomi, sehingga membuat seseorang sulit meluangkan waktu untuk membaca dan lebih memilih mencari uang. Namun, sebenarnya hal tersebut bukan alasan utama karena di sela-sela kesibukan pun kita dapat tetap membaca, dengan catatan hal itu sudah menjadi kebiasaan. Membaca memang membutuhkan usaha untuk menjadikannya satu kebiasaan.
Dalam peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 untuk kategori membaca, Indonesia berada di peringkat 70 dari 80 negara yang berpartisipasi. Skor membaca kita relatif masih rendah. Bandingkan dengan Swedia yang berada di posisi 18, termasuk ke dalam 20 besar negara di dunia yang memiliki kemampuan membaca tinggi. Peringkat tersebut dapat menjadi indikator bahwa masih ada pekerjaan rumah besar menanti. Bahkan, hal itu masih terus terjadi dari tahun ke tahun.
Permasalahan membaca menjadi bertambah ketika kita dihadapkan pada pemanfaatan media belajar, apakah menggunakan format cetak atau digital. Pemicunya ialah karena untuk membaca dalam format cetak pun kita belum tuntas. Masih harus dipaksa untuk segera memahami format digital, yang belum tentu juga akan mudah kita konsumsi dengan baik. Sementara jika mendorong siswa untuk membaca buku cetak, maka akan terbentur dengan kendala ekonomi di tengah semakin mahalnya harga buku, yang salah satu sebabnya karena kurangnya minat baca di tengah masyarakat sehingga ongkos produksi tidak tertutupi karena kuantitas pembeli sedikit.
Maka dalam kondisi demikian, dibutuhkan peran banyak pihak dalam mendorong tumbuhnya budaya membaca di tengah masyarakat kita. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia dapat menyiapkan alokasi anggaran untuk memudahkan masyarakat dalam membeli buku atau mengakses bahan bacaan. Subsidi harga buku dapat dilakukan sehingga harganya semakin murah dan terjangkau. Pengadaan fasilitas perpustakaan publik pun dapat terus didorong dengan aksi ‘jemput bola’ seperti perpustakaan keliling. Itu pun harus dilakukan secara konsisten karena untuk menjadikannya sebagai kebiasaan bahkan menjadi budaya memerlukan waktu relatif lama.
Sementara bagi sekolah dan guru, tidak perlu buru-buru mendorong siswanya untuk mengakses sumber informasi digital ketika berada di sekolah. Ajak para siswa untuk lebih aktif lagi membuka buku cetak di perpustakaan. Jika perlu, adakan program untuk bertukar buku bacaan di antara siswa sehingga dapat memperkaya khazanah bacaan mereka. Para guru juga dapat ikut serta dengan memberi contoh kepada para siswa dengan turut terlibat dalam diskusi mengenai bahan bacaan untuk ditelaah lebih dalam. Sehingga guru juga harus lebih sering membuka buku bacaan (cetak) dibandingkan laptop atau smartphone, apalagi jika hanya dipakai untuk mencari hiburan semata.
Terakhir para orang tua dapat mulai menyelipkan anggaran tambahan di rumah tangga untuk membeli buku bacaan. Tidak perlu buku baru jika memang harganya mahal, cukup buku bekas, selama bacaan di dalamnya masih dianggap relevan dengan yang dibutuhkan. Pemberian perangkat digital di rumah pun harus dibatasi, diatur, dan difiltrasi sehingga informasi yang diterima dapat tetap terjaga dan tidak memberikan pengaruh buruk kepada anggota keluarga.
Editor: Riski Francisko