Menumbuhkan Motivasi Belajar Jadi Proses Belajar Paling Utama
Published Date: 19 April 2023
Sebagai seorang guru, pengajar maupun orang tua kita pasti sering mengamati ada anak yang rajin belajar dan ada yang malas belajar. Walaupun sudah di-treatment dengan stimulus yang sama hasilnya pasti tidak sama persis antara anak satu dan lainnya. Alhasil guru/orang tua akan menyerah atau pasrah pada akhirnya. Agar mau belajar guru akan memberikan Pekerjaan Rumah (PR), tugas terstruktur, tugas kelompok dan lain sebagainya dengan alasan untuk menstimulus si anak agar mau belajar mandiri. Sehingga guru pun tidak hanya sekedar transfer knowledge (yang bisa digantikan oleh google dan AI saat ini) namun juga memberikan “ruh” kepada siswa/anak tentang pentingnya menuntut ilmu atau belajar cabang ilmu itu sendiri (ilmu Sosial, Eksak, maupun Bahasa,). Harapannya dengan atau tanpa guru sekalipun mereka akan tetap semangat belajar secara mandiri.
Tapi harapan tinggallah harapan, dengan metode konvensional tersebut seringnya si anak bukannya semangat belajar tapi malah malas belajar atau dapat dikatakan tingkat keberhasilan metode tersebut relatif rendah. Si anak hanya belajar untuk sekedar lulus atau hanya mengejar nilai saja, tanpa tahu esensi pentingnya belajar hal tersebut.
Apakah setiap pelajaran perlu hal tersebut? Sebenarnya tidak juga, kecuali memang pelajaran penting yang sifatnya fardlu ‘ain yang wajib dikuasai oleh setiap individu seperti pelajaran tauhid, fikih dasar, membaca, menulis, matematika dasar, dan sebagainya. Namun dengan membuat si anak/murid itu termotivasi untuk belajar secara mandiri, tentu saja hal tersebut akan sangat membantu bagi guru/orang tua maupun si anak/murid sendiri.
“Menumbuhkan motivasi belajar adalah (salah satu) proses belajar yang paling utama, bahkan sebelum mulai belajar itu sendiri”.
Begitulah pernyataan salah satu pakar pendidikan anak di Indonesia, Faudhil Adzim, dalam salah satu bukunya. Proses belajar mengajar akan lebih kondusif, efisien dan berdampak signifikan jika anak-anak sudah paham akan pentingnya ilmu tersebut kemudian mempelajarinya sendiri dengan semangat dengan atau tanpa perintah guru di kelas bahkan tanpa iming-iming nilai dan ijazah sekalipun.
Realitanya hal tersebut tidak mudah, apalagi memang setiap anak itu unik dan tidak berlaku stimulus yang sama akan berhasil untuk semua anak di kelas, namun tidak ada salahnya kita coba. Menumbuhkan motivasi anak untuk belajar bisa kita kategorikan menjadi dua hal dasar berdasarkan sumbernya.
Pertama motivasi internal berarti kita berharap si anak sendiri yang menemukan sumber semangat kenapa ia harus belajar hal tersebut. Jenis motivasi inilah yang paling sulit, namun hasilnya paling maksimal, karena jika diri sendiri sudah merasa butuh, maka mengapa kita repot-repot menyuruhnya untuk belajar? Hal yang harus dilakukan guru/orang tua hanyalah memberikannya inspirasi diawal, selanjutnya terserah ananda.
Kedua ialah adanya motivasi eksternal, motivasi inilah yang akan banyak dilakukan oleh guru maupun orang tua. Dengan tujuan agar si anak/siswa tumbuh semangatnya belajar hal tersebut. Orang tua/guru akan memberikan banyak stimulus, metode belajar, nasihat, hadiah bahkan hukuman agar anak termotivasi untuk belajar. Jika setiap anak itu unik maka perlakuan yang dibutuhkan juga bermacam-macam. Tujuan akhirnya juga adalah menumbuhkan motivasi internal di atas walaupun tidak 100%.
Baca juga: Cerita Kampus: Kisah Jaga Labkom di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Dua Sisi Motivasi
Motivasi itu sendiri tumbuh dari 2 sisi yaitu dari rasa takut dan impian. Mainkan dua sisi motivasi ini untuk menstimulus siswa/anak kita. Rasa takut akan mendorong seseorang untuk menghindari dan berusaha agar sesuatu tersebut tidak terjadi padanya. Misalnya takut tidak lulus UN (sekarang sudah dihapus), takut tidak bisa bersaing mendapatkan PTN favorit, hingga takut mengecewakan orang tua. Di sisi lain impian akan berperan mendorong si anak/siswa untuk menggapai hal tersebut. Seperti diterima di PTN favorit, lalu dengan begitu bisa mendapatkan pekerjaan impian dan mendapat gaji yang signifikan sehingga bisa membantu orang tua disaat usia sudah renta dlsb. Yang harus diperhatikan oleh guru/orang tua adalah pastikan rasa takut dan impian yang memotivasi si anak masih dalam koridor syariah sehingga tidak berlebihan.
Jika seseorang sudah termotivasi dengan sendirinya maka tidak perlu energi yang banyak untuk mengkondisikan si anak tersebut untuk belajar. Ciri anak yang sudah termotivasi belajar adalah ia tidak menganggap belajar sebagai suatu beban hingga tahap ekstrimnya dia sampai level “trance” saat belajar hal tersebut. Tak peduli siang malam, bahkan harus pergi jauh dari rumah dengan segela kerepotannya akan dijalani dengan senang hati.
Sesulit apapun menumbuhkan motivasi anak, namun hal tersebut patut dicoba terlebih dahulu sebelum masuk ke pelajaran inti, mungkin bisa kita usahakan untuk memancing rasa penasaran anak dengan berbagai stimulus, kisah, tujuan, harapan, manfaat, bahaya yang berkaitan dengan dengan ilmu tersebut. Caranya bisa bermacam-macam: (1) Menumbuhkan rasa penasaran; (2) Mengetahui tujuan belajar ilmu ini; (3) Mengetahui manfaat belajar ilmu ini (atau kerugiannya jika tidak tahu ilmu ini); (4) Bahkan mengetahui keuntungan yang sifatnya materi dari ilmu yang dipelajari jika ada.
Nah, jika berbagai usaha untuk menumbuhkan motivasi sudah kita lakukan maka sebagai guru/orang tua kita cukupkan saja semampunya saja, biarkan mereka belajar sesuai kemampuannya. Karena tidak setiap anak akan menjadi programer, tidak semua anak akan menjadi dokter dan tidak semua anak akan menjadi ustadz juga. Allah Ta’ala tidak membebani kita melebihi batas kemampuan, cukup sampaikan semampu kita, biar Hidayah Allah yang urus. Apalagi ilmu yang ingin kita sampaikan sifatnya fardhu kifayah. Yang terpenting adalah si anak/murid sudah tahu pentingnya belajar dan berusaha agar ia dapat bermanfaat untuk sesama, apapun peran, jabatan, status dia di masyarakat nanti.
Maka benarlah sebuah adagium yang berbunyi “At-thorikotu ahammu minal maddah wal mudarisu ahammu minat tharikoh wa ruhul mmudaris ahammu minal mudarris” (Metode itu lebih penting daripada materi, dan guru lebih penting dari metode, dan ruh (jiwa ) seorang guru itu lebih penting lagi dari gurunya sendiri.”). Maka di antara kriteria guru favorit bagi siswa yang bermacam-macam tersebut biasanya mengerucut pada kriteria menginspirasi, paling berkesan dan paling mengubah hidup / jiwa si anak tersebut. Yang mana hal tersebut sangat erat kaitannya dengan “ruh” guru itu sendiri.
Setiap anak mempunyai minat, bakat, potensi, kesukaan dan cita-cita yang berbeda-beda, kita sebagai guru atau orang tua cukup mendampingi dan membimbing agar tidak melenceng dari fitrahnya dan dapat memaksimalkan potensinya.
Studi kasus di lingkungan sekitar saya ada seorang rekan yang saya tahu beliau sangat suka sekali dengan buku/kitab karangan ulama lokal hingga punya berbagai buku/kitab langka karangan ulama tersebut, bahkan saking senangnya sempat saya ketahui beliau menyempatkan hadir silaturahmi ke beberapa penulis/keturunan/rekan dekat ulama lokal tersebut. Bagi kita yang kurang paham tentu akan menganggap hal tersebut kurang kerjaan / merepotkan, namun bagi mereka yang sudah menyukai dunia penulisan kitab klasik tentu akan ada rasa bangga dan senang ketika berjumpa dengan penulisnya.
Kisah lain yang penulis alami sendiri, dari sebelumnya tidak tertarik dengan dunia keuangan dan ekonomi, mendadak rajin belajar akuntansi dan buku bisnis demi bisa mengetahui bahasa bisnis dan mengembangkan circle of competence-nya. Sesuatu yang sebelumnya tidak dianggap penting dan tidak menarik mendadak menjadi asyik untuk dipelajari. Padahal ketika SMA dengan jurusan IPA dan kuliah di fakultas MIPA, hampir setiap hari selalu menyempatkan diri mempelajari konsep, teknis, analisis LK, perkembangan dunia ekonomi dan sebagainya. Sesuatu yang sebelumnya tidak terbesit dalam pikiran penulis sama sekali. Namun jika motivasi internal sudah tumbuh maka tidak ada kata terlambat untuk belajar walaupun usia sudah tidak lagi muda.
Satu yang perlu digaris bawahi bahwa datangnya motivasi belajar itu tidak dibatasi umur tertentu. Bisa jadi saat usia sudah tidak lagi muda ia menemukan passion yang baru didapatkannya karena mendapat stimulus yang tepat kala itu. Atau motivasi tersebut datang sendiri tanpa stimulus internal tapi karena faktor eksternal karena ingin membahagiakan orang tua/suami/istri/anak yang memaksanya harus belajar hal baru tersebut. Sekali lagi tidak ada kata terlambat untuk belajar hal baru yang bermanfaat, apalagi untuk dunia dan akhiratnya.
1 thought on “Menumbuhkan Motivasi Belajar Jadi Proses Belajar Paling Utama”