Mudik dan Segala Maslahatnya
Published Date: 11 April 2023
Pada Maret 2020, dua bulan sebelum Hari Raya Idul Fitri, wabah Covid menjamah Indonesia. Wabah itu mengubah banyak hal, membuat yang terang menjadi muram, yang ramai jadi sepi. Pada waktu itu orang-orang dilarang berkerumun (termasuk untuk menjalani shalat tarawih, shalat id, maupun mudik lebaran). Pemerintah secara resmi mengeluarkan larangan mudik pada 2020 dan 2021. Dua tahun itu pun menjadi sejarah kelam bagi masyarakat Indonesia. Sebab, bukan hanya banyak orang jadi tak bisa menjumpai orang-orang yang mereka cintai di kampung halaman, tapi juga banyak orang yang mengalami kehilangan demi kehilangan—sepanjang dua tahun itu wabah memburuk dari waktu ke waktu seolah tak akan pernah usai.
Memasuki tahun 2022, wabah pelan-pelan surut. Kehidupan pun perlahan-lahan kembali normal. Memang di tempat-tempat umum orang-orang masih harus mengenakan masker, sebisa mungkin menjaga jarak, dan harus memperhatikan kesehatan lebih saksama dibanding waktu biasa. Tapi secara umum keadaan jauh lebih baik daripada dua tahun sebelumnya. Ketika Hari Raya Idul Fitri 2022 tiba, pemerintah tak lagi mengeluarkan larangan mudik. Orang-orang sudah boleh mudik dengan syarat harus tetap menjaga protokol kesehatan.
Momen mudik 2022 pun disambut meriah dan penuh kerinduan oleh banyak orang. Berdasarkan data survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pemudik 2022 berjumlah 85 juta orang dengan 14 juta di antaranya berasal dari Jabodetabek. Menilik laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 275,77 juta jiwa pada 2022, artinya sekitar 30% penduduk Indonesia melakukan mudik pada 2022—dan itu adalah jumlah yang sangat besar. Sementara menurut survei yang diadakan Kemenhub melalui Badan Kebijakan Transportasi (BKT) pemudik masa Lebaran 2023 diperkirakan akan menyentuh angka 123 juta orang! Hampir separuh populasi Indonesia diprediksi mengadakan mudik pada 2023. Dengan jumlah sebanyak itu, mudik tidak bisa dianggap perjalanan biasa. Itu memang perjalanan menuju tanah asal, mencurahkan kerinduan, dan mempererat ikatan dengan sejarah yang membentuk kita.
Sebagian besar penduduk perkotaan, terutama Jabodetabek—setidaknya menengok data di lingkungan tempat tinggal saya, di sebuah kecamatan di Kabupaten Bekasi—adalah para pendatang. Mereka datang dari berbagai daerah, entah dari Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, maupun Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Di permukiman di mana saya tinggal, misalnya. Tidak ada penduduk asli “Bekasi” yang menjadi tetangga saya. Tetangga samping saya adalah orang Pacitan, tetangga seberang saya berkampung di Palembang, dan orangtua saya sendiri berasal dari Kebumen dan Bumiayu. Dan saya yakin ini adalah fenomena lazim di banyak wilayah di Jabodetabek, wabilkhusus di daerah-daerah perumahan. Dengan kenyataan itu, Lebaran adalah momentum yang dirayakan banyak orang untuk kembali ke tanah asal, menghidu udara kampung yang belum tercemar, berjalan-jalan di pematang sawah yang masih hijau, atau membasahi kaki di sungai-sungai yang jernih. Meskipun para pemudik yang sedang kembali ke tanah asal itu hanya sementara berada di kampung halaman, setidaknya itu dapat meredakan hasrat kerinduan mereka kepada tanah asal sekaligus menjaga ingatan perihal masa-masa yang dulu pernah mereka lalui di kampung halaman.
Baca juga: Apa yang Kita Bicarakan ketika Kita Berbicara tentang Hobi
Mudik juga dapat menjadi momen untuk menjalin silaturahmi dengan handai taulan di kampung halaman. Dengan mudik kita bisa menyapa saudara-saudara jauh yang jarang kita temui, berbagi senyum dengan kawan-kawan masa kecil yang memutuskan menetap di kampung, atau sekadar memandangi wajah keriput para tetua yang menjadi saksi berbagai perubahan zaman di kampung halaman. Meskipun kini kita bisa bertegur sapa dengan orang-orang yang jauh dari kita melalui pesan singkat di media sosial atau video call, tetap ada hal yang hanya bisa dirasakan dengan perjumpaan langsung. Ada tatapan mata, suara, gerak-gerik, embus napas, dan kedekatan emosional yang bisa dirasakan dengan optimal hanya melalui perjumpaan secara langsung. Ada banyak konteks suasana dan peristiwa yang absen ketika kita bertegur sapa cuma melalui gawai. Misalnya, kita tidak bisa merasakan segarnya udara, derik jangkrik di kejauhan, dan kedamaian khas kampung—tanpa hiruk-pikuk kendaraan yang tiada hentinya. Lagi pula, pertemuan maya (pertemuan melalui media sosial) hanyalah tiruan kenyataan, bukan “kenyataan yang sesungguhnya”. Dan jika kita bisa mengalami “kenyataan yang sesungguhnya”, kenapa kita memilih “kenyataan yang semu”?
Mudik juga bisa dijadikan sebagai siasat mengambil jeda dari kehidupan kota yang bergerak cepat, gaduh, dan sesak. Selagi di kota kita mungkin mengalami rutinitas yang monoton. Berangkat kerja pagi-pagi, pulang ketika hari beranjak gelap, dan sehari-hari musti saling berdesakan di kendaraan umum atau berimpitan di tengah macet dengan kendaraan-kendaraan lain. Ketika kita tiba di rumah, kita pun belum tentu bisa lepas sepenuhnya dari pekerjaan. Ada tugas yang belum selesai, ada tenggat yang menunggu. Bahkan ketika hari libur tiba, kebanyakan dari kita tak bisa sepenuhnya menjalani hari libur itu dengan bebas lepas. Tetap ada belenggu tuntutan pekerjaan yang membuat pikiran ruwet dan punggung terbebani. Dengan mudik, pergi ke kampung halaman, membebaskan diri dari rutinitas selama beberapa hari di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, kita bisa mengambil jeda. Kita bisa menyadari bahwa hidup toh tak harus lari-lari melulu, tak harus berkutat dengan dokumen yang menunggu diselesaikan, rapat-rapat kerja, atau grup-grup media sosial berisi program kantor. Di kampung halaman, meskipun sebentar, kita bisa merayakan hidup, menarik-embuskan napas dengan lega, bercakap-cakap santai dengan orang-orang sekitar, tanpa harus repot-repot memikirkan tenggat dan dunia kerja yang keparat.
Memang beberapa orang mungkin tidak bisa melakukan mudik karena sejumlah alasan. Mungkin ada pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan, kondisi kesehatan yang tidak prima, atau sesederhana tidak memiliki biaya cukup untuk melakukan mudik. Dilihat dari sisi ini, mudik jadi sejenis kemewahan. Hanya orang-orang yang memiliki kemampuan khusus (secara finansial, kebugaran, maupun waktu luang) yang bisa melakukannya. Kendati begitu, orang-orang yang ingin mudik tapi tak bisa karena suatu alasan, bukan berarti tak punya apa-apa untuk dirayakan pada Hari Raya kelak. Mereka bisa tetap saling menyapa dan berbagi senyum dengan orang-orang di tempat mereka tinggal. Mereka bisa tetap melakukan video call dengan orang-orang di kampung. Mereka bisa tetap mengenang hal-hal menyenangkan yang pernah mereka alami di kampung halaman. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memang tidak mau mudik dan tidak punya kampung halaman? Itu pun tak jadi soal. Orang-orang bisa meramaikan Hari Raya dengan cara apa pun yang membuat mereka nyaman. Sebuah perjalanan—mudik ataupun bukan—bisa mengantarkan kita kepada berbagai pengalaman menarik dan menyenangkan. Tapi tidak pergi ke mana-mana pun bisa juga mengantarkan kita kepada berbagai pengalaman menarik dan menyenangkan. Tiap orang punya cara masing-masing untuk menyemarakkan Hari Raya. (*)