Ngopi dan Bergantinya Budaya Obrolan Kita Hari Ini
Published Date: 29 May 2023
Seperti waktu yang pernah terlewat, ketika kita menghadapi musim politik. Semua hal ikut berubah. Dari sisi sudut pandang hingga model komunikasi dalam pergaulan. Segalanya ditarik ke ruang lingkup politik dan langkah strategis menuju kuasa. Memang, uang dan kekayaan tak ada artinya tanpa kuasa jabatan. Seseorang yang hanya memiliki segalanya dari ragam harta. Namun bila tidak memiliki kekuasaan, ia takkan pernah dikenal selamanya. Payahnya lagi, itu takkan memberi pengaruh apapun secara luas atas kehidupannya. Oleh karena itu mengapa jabatan serta kuasa bagi orang kaya masih diperlukan. Selain untuk menunjukkan eksistensi. Seperti minimal menjadi penguasa atas paguyuban, asosiasi, komunitas, hingga klub hobi. Jabatan juga kuasa perlu untuk melebarkan sayap usahanya menjadi tak terhingga. Lobi-lobi tak perlu berkepanjangan, karena dirinyalah yang menjadi pusat lobi dan tawar-menawar selanjutnya.
Di tahun politik, perputaran kekuasaan akan terjadi. Upaya untuk menjadi sesuatu sangat perlu didapatkan. Berbagai cara ditempuh dan dibuatkan model personifikasinya sendiri. Tak terkecuali dengan satu hal yang menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia yakni ngopi.
Di atas meja yang terhidang kopi, bentuk komunikasi akan cair. Ia bisa ditarik ke arah serius, sekadar gurauan, atau manipulasi berbagai pihak bahwa itu soal pembicaraan di antara dua, tiga, empat kawan lama. Tak ayal, dalam waktu dekat, ngopi yang sebelumnya suatu hal biasa. Akan menuju perubahan makna besar-besaran.
Ngopi Naik Kelas
Masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan ngopi. Mulai dari menyeduh sendiri di rumah, meluangkan waktu ke kedai kopi dari murah hingga mewah, atau sekadar menghabiskan waktu menanti penumpang bagi para pengemudi ojek online di tepian jalan. Tak heran bila di zaman Tanam Paksa, Belanda menjadikan kopi sebagai salah satu komoditas di antara 7 varietas tumbuhan lainnya. Ritual ngopi terlaksana sejak pagi hari, ia memberi suntikan energi bagi penyesapnya. Terserah, apakah itu kopi gunting ataukah kopi giling. Setiap orang hidup dalam selera masa lalu yang telah terbentuk dalam dirinya.
Budaya ngopi tumbuh di berbagai tempat. Di Sumatera kedai kopi menjadi tempat bertukar informasi hingga hari ini, sekali pun teknologi informasi telah tumbuh progresif. Di Jakarta, pada setiap nasi uduk atau ketan kelapa yang tersedia. Kopi tak tertinggal untuk disandingkan. Gorengan seperti pisang atau mendoan di wilayah Jawa Tengah menjadi mitra untuk menjalin kalimat keakraban satu orang dengan lainnya. Pun halnya di Jawa Barat, kacang rebus, jagung rebus, atau ubi rebus takkan terasa nikmat tanpa adanya kopi.
Inilah yang membuat Seno Gumira Ajidarma dalam Tiada Ojek di Paris menyatakan bahwa ngopi itu kebudayaan, karena disana bukan cuma ada perkara selera, melainkan juga soal pilihan dan citra diri. Masalah repotnya orang bercitra diri ria dengan pilihan tempat ngopi mungkin urusan dirinya sendiri. Tetapi, tetap saja menarik apa pun yang terhubungkan dengan kehendak bisa dibaca secara ideologis.
Itulah mengapa, kita harus bersiap bahwa budaya ngopi akan menuju kelas yang lebih tinggi. Kelas-kelas dengan nilai ideologi tertentu. Ia akan menjadi bagian dari komunikasi politik dalam menciptakan persepsi atau melakukan klarifikasi. Di tengah biasnya penyebaran informasi melalui media, maka bertemu di antara dua pihak atau kubu berkepentingan melalui kopi akan bisa meluruskan informasi yang beredar secara serampangan.
Tak peduli, mungkin industri kedai kopi berada dalam kondisi pasang surut. Membuka kedai kopi harus mengambil pertimbangan panjang di tengah maraknya para pemilik kedai kopi yang merasakan gulung tikar. Hanya merek besar saja yang mampu bertahan. Termasuk di antaranya merek dagang dari Barat dengan segala kuasa pasarnya. Ngopi akan menjadi bagian dari demokrasi. Ia menjadi media aktualisasi politik selain sosial media. Maka, nanti bila tiba-tiba ada ajakan untuk ngopi. Padahal itu dari teman yang tak asing bagi diri kita. Siap-siap saja, obrolan politik takkan terlepas dalam segala tikungan kata yang mungkin menyalahkan dan membenarkan. Menyalahkan rival politik pilihannya, serta membenarkan kandidat yang didukungnya. Seseorang harus pandai menempatkan diri, agar obrolan kopi tak menjadi ajang saling benci. Bila itu terjadi, tak ada bedanya dengan debat sosial media yang tak pernah diketahui siapa hakikat lawan bicaranya.
Komunikopi …