Cerita Kampus: Jadi Lebih Baik di UGM, ‘Universitas Gudang Menantu’?
Published Date: 24 May 2023
Menjalani kehidupan universitas dan kampus merupakan jalan yang penulis tapaki. Betapa beruntungnya penulis sebab Allah Ta’ala berikan kesempatan untuk merasakan pembelajaran dan kegiatan menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), universitas yang cukup banyak dikenal masyarakat sebagai Universitas Gudang Menantu. Meskipun dikenal demikian, penulis sendiri belum menjadi menantu ya, sekadar disclaimer. Hehe
Sebagai lulusan dari SMA Future Gate di Bekasi, Jawa Barat, dan tidak jauh dari Depok, pembaca mungkin pernah mendengar candaan bahwa UGM dikenal Universitas Gunadarma Margonda, sebagaimana guyonan teman-teman yang berdomisili di area Jabodetabek. Tapi UGM yang penulis ikuti perkuliahannya kebetulan adalah Universitas Gadjah Mada di Bulaksumur, Yogyakarta.
Pada tulisan kali ini, penulis ingin berbagi bagi para pembaca sekalian sedikit pengalaman saat menjadi mahasiswa, info kampus, dan segala perkara kecil yang mungkin didapati secara umum (berdasarkan pendapat penulis saja sih).
Mengenal UGM, FMIPA, dan Prodi Matematika
Pada tahun 2023, UGM meraih posisi ke-231 menurut QS World Ranking Universities 2023 sebagai universitas terbaik di Indonesia yang umumnya diduduki secara bergantian antara UGM, ITB dan UI di tiap tahunnya, dan pada tahun ini menduduki posisi teratas. UGM juga dikenal sebagai kampus yang tidak hanya mengejar prestasi tingkat dunia saja, namun selalu diingatkan di mana universitas ini dibangun sehingga terkenal juga sebagai kampus kerakyatan. Kampus UGM memiliki motto “Locally Rooted and Globally Respected”, yang bukan hanya motto semata namun menjadi nilai unik dari kampus ini.
Alhamdulillah, sebelumnya penulis berkesempatan diterima di UGM pada tahun 2015, namun karena satu lain hal pada akhirnya masuk belajar pada tahun 2017 di Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam (FMIPA). Fakultas MIPA di UGM yang telah berdiri sejak 1955 memiliki pembagian hirarki secara ringkas sebagai berikut:
Fakultas: Divisi besar yang menyelenggarakan bidang ilmu tertentu.
Departemen: Subdivisi dari fakultas yang menyelenggarakan kegiatan dan berfokus pada pengembangan SDM dan Pengabdian.
Program Studi: Satuan yang menjadi bagian departemen yang fokus menyelenggarakan kegiatan akademik konsentrasi berbagai ilmu yang berada di bawah fakultas. Program studi umum disingkat prodi di UGM.
Oh iya, di UGM juga memiliki program internasional yang dikenal dengan International Undergraduate Programme (IUP). Penulis dengar bahwa IUP merupakan program khusus untuk kelas internasional, dimana pembelajarannya menggunakan pengantar bahasa Inggris dan tidak jarang mempunyai kerjasama dengan universitas di luar negeri sehingga dapat program double degree ataupun pengalaman internasional lainnya. Dari sebagian fakultas-fakultas di UGM yang memiliki program internasional, FMIPA UGM memiliki satu prodi yang merupakan program studi internasional, yaitu Prodi Ilmu Komputer. Meskipun belum pernah mengikuti kelas internasional sendiri, tapi menurut info dari kakak kelas kala itu, mahasiswa yang regular pun bisa juga mengambil kelas dan seat in.
Departemen yang penulis tempat adalah Departemen Matematika yang menaungi tiga program studi, yaitu prodi statistika, prodi matematika dan yang terbaru ini adalah prodi aktuaria. Ketiganya merupakan prodi-prodi berpotensi dan memiliki program kegiatan yang hebat baik nasional maupun internasional. Di antara kegiatan yang sering dilaksanakan adalah SEAMS-UGM (Konferensi tingkat internasional), Pengabdian masyarakat oleh dosen ataupun kolokium-kolokium baik secara internal kampus ataupun dengan kampus-kampus lain. Kegiatan SEAMS dan kolokium merupakan bagian kegiatan yang pernah penulis jajaki, SEAMS sebagai volunteer committee sementara kolokium penulis ikuti sebagai peserta untuk wawasan dan persiapan dalam menulis skripsi.
By the way, selain hirarki yang sudah penulis sebutkan di atas, ada juga di prodi matematika konsentrasi keilmuan, yaitu prodi yang berfokus pada bidang matematika, tentu saja. Untuk rincian pembelajarannya kurang lebih pernah disebut dalam tulisan terdahulu berjudul Matematika di Sekitar Kita.,
Ongkos dan Pengalaman Hidup di Yogyakarta
Meski di Yogyakarta, tempat kos yang penulis tinggali berlokasi di daerah Mlati, Sleman. Jadi Yogyakarta yang dimaksud bukan kota Yogyakarta tapi Provinsi D.I. Yogyakarta. Kehidupannya sangat nyaman dan bersahabat didapat dari budaya orang Yogyakarta, khususnya di daerah Pogung Dalangan dengan budaya guyub dan gotong royongnya. Penulis ingat saat itu menyapa salah satu sesepuh yang tinggal di lingkungan pertama kali dengan gaya anak Jakarta berakhir malu karena seharusnya manggil “Pak” atua “Pakdhe” malah penulis panggil “Mas!”. Namun akhirnya setelah lulus kami malah saling kenal dan berusaha menjaga silaturahmi saat mengunjungi kembali kota Yogya.
Di UGM, karena kebetulan penulis berusaha selalu dekat dengan masjid, hampir hafal jadwal makanan gratis di beberapa masjid sehingga anggaran hidup kala itu sangatlah hemat meski disambi nge-kos. Apalagi kalau masa-masa bulan Ramadan datang, hampir tidak pernah mengeluarkan uang sedikitpun untuk makan. Sebabnya apalagi kalau bukan karena bukaan, takjil dan terkadang sahur didapat secara gratis dari masjid, warga ataupun himpunan rohis di kampus. Harga-harga jajanan makanan tentu masih relatif sangat murah dibandingkan kota-kota besar. Tapi perlu diingat jajanan makanan yang dimaksud bukan seperti gerai-gerai fast food ternama yang sudah punya standar harga jualan, tapi tempat makan lokal mulai dari nasi rames, nasi gudeg, hingga jenis makanan luar negeri yang dikenakan kearifan lokal (alias murahnya kayak makanan lokal).
Dalam hal keuangan dalam sebulan teman-teman setidaknya perlu menyiapkan uang jajan sekitar Rp.1.000.000,- excluding akomodasi kos. Dan itu pun masih bisa tetap menabung sekitar Rp.250.000 di akhir bulan bila hidup hemat. Namun kalau tidak masak dan kadang-kadang dipakai jajan/jalan keluar barang teman, maka tabungannya sekitar Rp.150.000,-. Setidaknya itu yang dapat dirasakan pada rentang waktu 2017-2021, karena tahun setelahnya sudah tidak tinggal di sana lagi.
Sementara untuk tempat tinggal dalam setahun, penulis biasanya dapat kos kosongan berukuran 2,2x3m yang harganya sekitar Rp.4.000.000/tahun, saat itu. Kalau dihitung biaya kos per bulan berarti sekitar Rp300 ribuan. Akan tetapi jika mau mencari yang lebih elit dan mahal tentu perlu menyesuaikan budget serta kemampuan masing-masing. Kalau yang ada AC dan masih dapat barang-barang dulu masih bisa ketemu dengan harga di bawah Rp1 juta juga. Jadi Yogyakarta termasuk kota dengan ongkos hidup yang relatif aman dan budget friendly untuk penulis maupun banyak orang.
Di sisi lain, tempat nongkrong atau makan seperti warung rumahan hingga high-end café juga tersedia. Dibandingkan dengan daerah asal penulis, di Tangerang Selatan, maka masih relatif murah biaya makan di Yogyakarta. Salah satu tempat andalan untuk penulis sendiri ialah Preksu dan juga warung makan gudeg Bu Dewi yang dikenal -khususnya- bagi teman-teman di sekitar daerah Pogung dan Kaliurang. Selain itu tempat kopi dan co-working space juga melimpah ruah.
Keunikan lain dari tinggal di sini, penulis jadi terbiasa menggunakan arah mata angin ketika hendak bepergian. Di Yogyakarta dan beberapa daerah Jawa Tengah lain, memang sudah menjadi kebiasaan kalau memberi petunjuk jalan itu menggunakan arah seperti ketika bertanya arah kemudian dijawab, “Setelah masnya jalan lurus saja terus belok ke barat, nanti lampu merah masnya ambil arah ke utara,” sehingga kepekaan kita terhadap mata angin akan lebih jelas dan terbiasa.
Pengalaman Belajar di Matematika UGM
Ketika menjalani pendidikan selama empat setengah tahun hingga berhasil lulus, penulis memiliki banyak pengalaman yang sangat berharga di UGM. Pengalaman tersebut umumnya didapat dalam pembelajaran ketika mendapati berbagai macam dosen. Tidak heran jika kemudian didapati adanya istilah tentang dosen killer, dosen baik, dosen santai, dosen selebgram, dosen Youtuber, ustadz dosen atau macam-macam dosen lainnya. Maka untuk menghindari ghibah maka baiknya ini bagian ini kembali kepada masing-masing individu dan bagaimana individu menghadapi situasi dengan orang lain.
Tetapi kalau berbicara soal akademik serta pengalaman secara umum, maka dosen di UGM ini, dengan 100% rasa percaya diri, penulis dapat katakan, “Tidak akan menyesal belajar dengan beliau-beliau!”.
Pertama, untuk di Matematika UGM, tidak akan asing dengan dosen-dosen yang merupakan pelatih Olimpiade serta menjajaki konferensi serta simposium nasional maupun internasional. Termasuk dosen yang juga guru besar aktif turut menyiarkan integritas dan kualitas akademik melalui karya-karya ilmiah maupun perlombaan. Meski demikian, walau didapati prestasi mentereng dari para dosen maupun mahasiswa di UGM, namun penulis mendapati mereka tetap memiliki sikap down-to earth dan supportif di lingkungan civitas akademikanya. Jika nantinya ada yang merasakan hal berbeda, penulis kembali memberi disclaimer, bahwa inilah yang penulis rasakan semasa berkuliah dulu. Hehe.
Penulis sendiri kurang tahu apakah karena bagian budaya kehidupan orang Yogyakarta atau memang budaya di Matematika UGM, namun penulis selalu merasa terdukung dalam berbagai hal yang penulis jalani dalam pembelajaran di UGM. Hampir semua hal-hal baru yang penulis coba lakukan setelah belajar di Matematika UGM, seperti mengikuti seleksi olimpiade nasional tingkat universitas, menjadi kepanitiaan lomba matematika, mengikuti kolokium aljabar. Padahal sebelumnya penulis sering tidak kuat nahan mata menyimak kuliah ketika di kelas. Sederhananya, lingkungan belajar di UGM dirasakan dapat membangun percaya diri dan rasa kompetisi yang sehat dalam diri penulis.
Nilai-nilai dalam menjalani hidup baik sebagai pembelajar di kampus atau lifelong learner yang dibagikan di kelas, serta mungkin terkadang terasa pukulan bagi penulis, namun menjadi bahan renungan yang sangat baik dan pada akhirnya itu menjadi bagian yang membentuk karakter penulis saat ini.
Sementara itu, jika bicara soal ujian, penulis kurang ingat karena biasanya setelah ujian, penulis segera move on. Dan kalau tidak berhubungan dengan kuliah berikutnya maka akan segera dilupakan. Mungkin itu juga yang menjadikan penulis lulus agak terlambat, karena memang seharusnya yang diingat-ingat malah tidak sengaja terlupakan.
By the way, ada hal paling akhir yang perlu diketahui soal belajar matematika di tingkat kuliah. Perlu diingat baik-baik bahwa matematika di tingkat ini bukan soal hitungan dan hafalan seperti masa SMA. Teman-teman akan merasakan nikmatnya mengenal definisi, aksioma, teorema serta yang paling mantap adalah belajar bagaimana seharusnya membuktikan suatu hal secara sistematis dan benar. Tidak boleh kenal lagi dengan menggunakan bahasa ambigu, semua perlu pernyataan deklaratif sehingga pastinya teman-teman akan merasakan, baik secara sadar maupun tidak sadar bagaimana membangun argumen dan kalimat penulisan yang baik dan benar dalam bahasa Indonesia yang logis. Oh disclaimer lagi, penulis sampai sekarang juga masih terus belajar jadi harap maklum jika dalam tulisan ini artikel terkesan santai, tidak serius seperti jurnal matematika.
Kegiatan di Lingkungan Kampus
Selain kegiatan akademik, tentu ada kegiatan non-akademik di kampus kerakyatan ini. Penting bagi seorang pembelajar untuk tidak hanya meningkatkan kemampuan akademik namun juga pengalaman dan jejaringnya. Hal ini bisa kita dapatkan dalam kehidupan di luar jam akademik di kampus. Setiap orang memiliki pilihannya masing-masing, baik untuk menjadi anggota BEM, himpunan, komunitas, ataupun aktif di masyarakat. Dan pilihan yang penulis ambil saat menjadi mahasiswa, adalah dengan aktif di lingkungan masjid dan bahasa Inggris.
Lingkungan bahasa Inggris yang penulis maksud di sini ialah apa saja yang berurusan dengan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris secara langsung atau tidak. Di antara kegiatan yang bisa teman-teman lakukan di antaranya dengan menjadi volunteer konferensi internasional atau menjadi pendamping mahasiswa luar negeri. Sayangnya penulis baru tahu di tahun-tahun terakhir saat mulai mengerjakan skripsi. Sebagai tambahan informasi, UGM memiliki komunitas yang dikenal sebagai buddy program di mana mahasiswa dengan kemampuan bahasa Inggris cukup baik akan menjadi pendamping mahasiswa luar negeri yang melakukan pertukaran pelajar. Penulis pernah menjadi buddy yang dijalani kurang lebih hampir satu tahun. Sebagai buddy, kita dapat berjejaring dan bertukar pikiran dengan mahasiswa luar negeri serta tidak sedikit yang menjadi teman baik.
Dahulu penulis menjalani program buddy ini di dua tempat, UGM Buddy Club –dikelola mahasiswa- dan ACICIS -dikelola oleh badan profesional non-profit Indonesia & Australia-. Di Buddy Club, penulis sempat mendapat amanah 4-5 orang mahasiswa dari berbagai negara seperti Myanmar, Belanda, Pakistan, dan Australia. Kegiatan pendampingan ini unik untuk setiap orangnya. Seperti menemani antar-jemput di bandara, hingga dapat kos-kosan serta surat-surat pengantar dari RT untuk KITAS (kartu izin tinggal terbatas untuk orang luar negeri tinggal di Indonesia). Sebagai seorang muslim dinamikanya begitu terasa, seperti ketika di ajak ke tempat minum-minuman keras, menjelaskan waktu azan dan salat, bahkan penulis pernah diajak ngobrol dari malam hingga subuh seputar Islam, pandangan politik, sampai obrolan paling random yang tidak terpikirkan sebelumnya. Boleh dikatakan pengalaman tersebut sebagai proses deep talk. Tidak jauh berbeda dengan Buddy Club, ACICIS sebagai buddy dari teman-teman mahasiswa Australia yang ternyata, penulis baru tahu bahwa, tidak sedikit yang sudah bisa bahasa Indonesia dengan baik.
Perlu digarisbawahi bahwa kita perlu memiliki kemampuan bahasa Inggris cukup, meski tidak perlu sampai tes TOEFL,IELTS atau tes profisiensi lainnya, namun dapat berbahasa Inggris dalam obrolan serta bisa dipahami oleh orang yang mendengarkan. Kenyataan unik yang penulis dapati saat bertemu mahasiswa didampingi, ternyata ada yang bisa mengobrol dengan baik dalam bahasa Indonesia. Padahal satu jam sebelum ketemuan penulis berpikir keras tentang bagaimana bisa ngobrol dalam bahasa inggris dengan asyik. Pada akhirnya kita seringkali mengobrol dalam dua bahasa, sampai terkadang didapati ada yang wibu sehingga agak jejepangan ala kadarnya.
Mungkin hal itu juga terasa di saat teman-teman mencoba hal baru, banyak pikiran dan kegelisahan yang menghampiri, namun setelah menjalani peran sebagai buddy maka dapat dikatakan bahwa ini merupakan pengalaman yang sangat direkomendasikan untuk dicoba.
Karena mungkin itu awal mula perjalanan relasi baik dan membangun jejaring koneksi kita dengan dunia internasional. Tentu seperti halnya memilih teman baik untuk lingkungan dekat kita, maka perlu juga terus memilah untuk dijadikan teman baik juga meski bukan dari lingkungan lokal.
Apakah Menyenangkan Kuliah di UGM?
Akhirnya, jika ditanya apakah kuliah di UGM menyenangkan? Dengan percaya diri penulis sampaikan bahwa, jika kamu ingin merasakan pengalaman lokal hingga internasional, maka UGM merupakan pilihan excellent! Lingkungan keagamaan pun relatif banyak, dan mayoritas, insyaallah baik. Khusus bagi penulis, Pogung Kampung Hijrah yang dekat dengan tempat tinggal penulis selama berkuliah memberikan kesan tersendiri. Di sana ada Masjid Jogokariyan yang jaraknya relatif dekat dari tempat tinggal penulis, sehingga dapat banyak menghabiskan waktu di sana.
Penting juga diingat bahwa kita merupakan pendatang (bagi dari yang luar Yogyakarta) maka berusahalah mengikuti budaya baik di daerah yang kita tinggali. Budaya menyapa dan ketika melewati orang lebih sepuh untuk seperti mematikan mesin motor juga perlu dibiasakan. Sebagai perantau penting mengingat juga ucapan “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung” serta kaedah sederhana jika ingin diberikan respect pada diri kita, maka jangan lupa untuk respect terhadap orang lain. Kaedah yang bermanfaat di kehidupan kita selama tidak melampaui batas-batas syari dan aturan maka insyaallah baik diimplementasikan menjadikan kita manusia lebih baik.
Raihan Dwianto
[Alumni Universitas Gadjah Mada Program Studi Matematika | Pengajar Matematika di SMA FG]