Orang Tua Perlu Memahami, Ketika Ada Pengabaian Maka Akan Ada Kekacauan
Published Date: 17 July 2023
Suatu hari saya mencari-cari sebuah buku di rak. Itu satu di antara seribu buku yang mengisi rak-rak buku saya. Tidak terlalu sulit mencarinya, karena saya ingat meletakkannya di rak dengan kategori tertentu. Namun, ketika saya menemukan buku tersebut, saya agak kaget. Bukan. Tidak ada sejenis jin yang muncul dari dalam buku atau seonggok bangkai tikus. Saya kaget karena sampul buku itu begitu berdebu. Tatkala saya usap dengan tisu, tisu putih itu langsung berwarna hitam kecoklatan. Padahal seingat saya terakhir kali saya meletakkan buku itu di tempatnya, buku itu dalam keadaan bersih belaka. Tetapi ketika saya ingat-ingat lagi, memang sudah cukup lama saya tidak menyentuh buku itu, tidak memindah-mindahkannya ataupun membersihkannya. Tidak heran waktu saya temukan kali itu, buku itu berdebu.
Cerita di atas barangkali tidak tampak penting. Hanya cerita biasa tentang seseorang yang mendapati salah satu buku koleksinya berdebu. Namun, mengingat itu sekarang, saya memikirkan hal lain—yang sepertinya penting. Saya memikirkan mengenai dampak pengabaian. Seandainya saya memeriksa keadaan koleksi buku saya sebulan sekali saja, lalu membersihkannya, saya yakin buku penuh debu itu tidak akan seberdebu sebagaimana tempo hari saya menemukannya. Buku itu menjadi sangat berdebu tentu saja gara-gara saya tidak memperhatikannya dalam waktu yang lama. Tidak seperti tumpahan kopi yang bisa mengubah keadaan buku dalam waktu sekejap, debu mengotori buku secara berangsur-angsur. Mulanya setitik, lambat laun menjadi pekat dan tebal. Di situlah letak kesalahan saya. Saya terlambat menyadari betapa lama saya mengabaikan buku itu. Saya memang sudah membersihkannya, tapi saya kira seandainya saya membersihkannya lebih cepat, pasti lebih baik.
Buku berdebu itu mengingatkan saya kepada berita-berita yang beredar belakangan ini. Tepatnya berita-berita tentang kriminalitas remaja. Ada banyak sekali bocah-bocah berusia belasan atau awal dua puluhan yang melakukan tindak kejahatan, entah pembulian, penganiayaan, pencurian, penipuan, maupun pembegalan. Berita-berita semacam itu mudah kita temukan akhir-akhir ini. Kadang-kadang berbagai berita tersebut terlalu mengerikan untuk dipercaya. Sebab, bagaimana bisa, seorang remaja melakukan keberingasan yang hewan paling buas sekalipun belum tentu melakukannya. Ada remaja yang menyepak teman sekolahnya sendiri. Ada remaja yang menusuk orang tak dikenal. Ada remaja yang menginjak kepala orang yang lebih muda dan kecil darinya. Bukankah itu kelihatan terlalu mengerikan sebagai kenyataan? Sayangnya, semua itu memang terjadi dan parahnya, terjadi berulang kali. Bagaimana bisa?
Masalah kriminalitas remaja tentu saja tidak bisa dirumuskan dalam kata-kata sederhana. Kita tidak bisa menyederhanakan tindakan kriminal remaja hanya gara-gara dia berasal dari keluarga kurang mampu atau gara-gara dia kurang beriman—umpamanya. Sebab, kita pun banyak menemukan tindak kriminal remaja terjadi di pesantren dan tak sedikit anak-anak orang kaya raya yang jadi pelaku kejahatan. Kita juga tidak bisa memberikan solusi instan untuk mengatasi kriminalitas remaja dengan menghukum pelaku semaksimal mungkin atau “menjebloskannya” ke dalam suatu lembaga keagamaan. Mungkin solusi semacam itu punya efek positif, tapi ada yang jauh lebih penting ketimbang melakukan tindakan represif. Jika ada seekor tikus menyusup ke dalam rumah, meracuninya atau menjebaknya dengan kawat mungkin bagus, tapi bukankah jauh lebih bagus sekiranya kita bisa menutup lubang tempat tikus itu masuk?
Pentingnya Peran Orang Tua
Saya beberapa kali menemukan anak kecil yang terbiasa melakukan kekerasan. Misalnya ia suka memukul-mukul orang lain. Ketika mendapati bocah-bocah melakukan kekerasan, banyak orang menganggap itu sebagai keisengan belaka, sehingga orang terdekat bocah-bocah itu seringkali tak menganggap serius perbuatan bocah-bocah itu. Namanya saja anak kecil, begitu kilah mereka. Tapi, apakah benar demikian? Apakah karena anak kecil yang melakukannya, suatu tindak kekerasan menjadi sah dan patut dimaklumi?
Yang perlu ditelusuri adalah asal-muasalnya. Ketika anak kecil berbuat tidak baik, penyebabnya bisa dua. Pertama, karena pembawaan tabiat anak itu yang memang agak keras atau sembrono. Kedua, karena ia terbiasa melihat orang-orang terdekatnya melakukan perbuatan tidak baik. Solusi untuk penyebab pertama, tentu saja dengan pendidikan dari orang-orang terdekatnya, terutama orang tua si bocah. Orang tua harus membiasakan anak mereka untuk bersikap patut. Orang tua harus mencegah anak-anak mereka berbuat yang merugikan orang lain dan memberikan pengajaran dengan cara yang mudah dipahami sang anak. Sedangkan soal penyebab kedua, ini lebih rumit daripada yang pertama. Ada banyak sekali anak kecil yang suka memukul orang lain ternyata gara-gara ia juga sering dipukul orang tuanya atau gara-gara ia melihat orangtuanya bertengkar sampai pukul-memukul. Tanpa kesegeraan untuk menyadari kesalahan mereka sebagai orang tua, para orang tua yang abusif adalah benih-benih tumbuhnya remaja-remaja yang abusif. Jika para orang tua yang abusif tidak juga menyadari kekeliruan mereka, pada waktu ini diperlukan peran yang lebih besar dari guru si anak, para tetangga, atau saudara serta teman mereka.
Apabila seorang anak kecil—tak peduli betapa belia umurnya—dibiarkan melakukan hal yang merugikan orang lain, itu bisa menimbulkan dampak mengerikan di waktu yang akan datang. Pengabaian-pengabaian kecil mungkin tidak akan terlihat efeknya seminggu atau sebulan lagi. Efeknya bisa saja muncul beberapa tahun kemudian. Dan ketika efek buruk itu muncul, sudah sulit untuk mengubah segalanya. Remaja-remaja yang suka melakukan kriminal tak jarang berasal dari anak-anak kecil berbuat nakal yang dibiarkan oleh orangtua mereka. Keburukan, sebagaimana juga kebaikan, bisa berevolusi. Orang yang suka memukul orang lain bisa membunuh orang lain pada kemudian hari sebagaimana orang yang suka berderma kepada saudara dekat bisa berderma kepada orang yang tak dikenal pada kemudian hari. Makanya, ketika melihat berita-berita remaja melakukan tindakan kriminal, saya selalu meyakini bahwa mereka tidak begitu saja melakukan perbuatan tindakan kriminal. Sebelum itu biasanya ada proses panjang. Ada kejahatan-kejahatan kecil yang dibiarkan, ada orang tua-orang tua yang mengabaikan anak-anak mereka.
Di titik ini, peran orangtua menjadi sangat vital. Mereka harus memberikan perhatian yang besar terhadap tindak-tanduk anak-anak mereka. Jika ada kebaikan kecil yang dilakukan anak-anak mereka, mereka harus mendukungnya sehingga anak-anak mereka makin bersemangat melakukan perbuatan baik. Jika ada kesalahan kecil yang dilakukan anak-anak mereka, mereka harus memperingatkannya dan memberikan pengajaran yang baik, bukan malah mengabaikannya sehingga mengakibatkan kesalahan kecil itu membesar dari hari ke hari. Sesungguhnya ketika orang tua sudah memberikan pengajaran dan perhatian yang maksimal saja belum tentu menjamin anak-anak mereka akan menjadi orang baik (sebab ada banyak variabel lagi yang menentukan kepribadian seorang manusia), apalagi saat orangtua mengabaikan anak-anak mereka. Kekacauan besar, anda tahu, kerapkali berasal dari pengabaian-pengabaian kecil.
Pengaruh Lingkungan dan Situasi Sosial-Politik
Ada pepatah terkenal dalam bahasa Arab yang berbunyi: al-jaar qoblad-daar. Pilihlah tetangga sebelum memilih rumah. Jika anda hendak pindah rumah, perhatikan dulu bagaimana orang-orang di daerah tempat anda akan tinggal. Memang tidak gampang mengetahui seluk-beluk para calon tetangga kita, tapi setidaknya ada informasi umum yang bisa kita cari. Dengan pengetahuan perihal situasi lingkungan tempat kita akan tinggal, kita bisa menimbang-nimbang apakah lingkungan itu cocok untuk kita atau tidak. Apalagi kalau kita berencana tinggal lama di tempat tersebut, pengetahuan mengenai lingkungan tempat tinggal menjadi lebih penting. Sebab, kadang-kadang lingkungan berpengaruh lebih besar ketimbang yang kita bayangkan.
Dalam konteks kriminalitas remaja, selain orang tua, lingkungan juga punya peran besar. Tidak sedikit anak baik-baik menjadi bejat gara-gara lingkungan mereka, gara-gara teman yang buruk dan para tetangga yang belangsak. Meskipun peran orang tua tetap merupakan yang terpenting, kita juga perlu mencurahkan perhatian terhadap lingkungan tempat kita tinggal dan bergaul. Jika lingkungan itu tidak suportif, tidak membuat kita berkembang, atau malah membuat keluarga kita bobrok, ada baiknya memikirkan opsi untuk mencari lingkungan yang baru (walau soal ini memang bukan urusan gampang).
Selain lingkungan, situasi sosial-politik suatu negara juga berpengaruh terhadap kecenderungan remaja berbuat kriminal. Dalam negara yang tidak baik-baik saja, potensi seseorang (remaja maupun bukan) untuk berbuat jahat menjadi lebih besar. Ketika televisi dipenuhi kabar pejabat yang korupsi, keadilan sosial yang tidak merata, perkelahian antar anggota partai politik, secara tidak langsung dapat memberikan efek buruk kepada kejiwaan rakyat di negara tersebut. Oleh karena itu, tak mengherankan ketika pada 2022 ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia (meningkat 8,63% dari 533 kasus pada 2021), pada tahun yang sama tingkat kriminalitas juga naik 7,3% (ada 276.507 kasus kejahatan di Indonesia pada 2022, sedangkan pada 2021 “hanya” 257.743 kasus).
Dengan segambreng kenyataan itu, pada akhirnya dalam menyikapi kriminalitas remaja yang marak belakangan ini, perlu peran aktif dari semua pihak. Orang tua, tetangga, hingga pemerintah perlu membenahi sikap mereka, perlu memberi perhatian lebih terhadap apa-apa yang menjadi tanggungjawab mereka. Jika mereka mudah mengabaikan atau malah mencontohkan kejahatan kepada anak-anak kecil maupun para remaja yang ada di sekitar mereka, tentu hukuman apa pun yang kita berikan kepada para remaja pelaku kriminal tidak akan banyak gunanya. Hukuman memang perlu, tapi mencegah orang-orang melakukan suatu tindakan yang dapat mengakibatkan hukuman jauh lebih perlu. (*)