Pemimpin dalam Islam
Published Date: 1 February 2024
Tahun 2024 menjadi tahun penting di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Tahun ini berlangsung pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih pemimpin di Indonesia, yaitu presiden dan anggota legislatif secara langsung oleh penduduk Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk serta terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Pemilihan umum menjadi kegiatan rutin setiap lima tahun sekali untuk menentukan siapa orang yang pantas dalam memimpin negara selama lima tahun masa kepemimpinan, dengan batas maksimal memimpin selama dua periode atau sepuluh tahun lamanya. Proses ini memang mafhum dilakukan dalam negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia.
Beriringan dengan proses pelaksanaan pemilihan umum ini pula, kita selaku umat muslim sering diingatkan oleh para ulama serta asatiz tentang bagaimana sebaiknya bersikap. Selayaknya seorang muslim yang salah satu perannya ialah memberikan nasihat kepada saudaranya yang lain maka kita akan mendapati ada banyak nasihat muncul dalam bentuk poster, video, kajian audio, hingga komentar-komentar agar kita senantiasa memerhatikan panduan syariat ketika berhadapan dengan prosesi pemilihan umum untuk memilih pemimpin seperti seperti tahun ini. Terlebih peran pemimpin dianggap sangat penting dalam agama ini, bahkan seorang ulama Fudhail bin Iyadh berucap, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab maka tidaklah aku jadikan kecuali pada penguasa.” Maksudnya digunakan utuk mendoakan kebaikan kepada penguasa atau pemimpin.
Terlepas dari pandangan fikih mengenai boleh tidaknya terlibat dalam sistem demokrasi seperti pemilihan umum itu sendiri, sebagai umat muslim semestinya mengetahui tentang bagaimana kriteria pemimpin dalam agama Islam. Sebagai agama rahmat bagi semesta alam, Allah Azza wa Jalla telah memberikan panduan di dalamnya tentang pemimpin dan kepemimpinan. Hal itu semata-mata agar kaum muslimin tetap berada dalam kebaikan di dunia dan akhirat.
Pemimpin dalam Islam
Allah telah memberikan panduan nyata mengenai siapa yang dapat menjadi pemimpin bagi umat Islam. Seperti dalam surat Al Maidah ayat 51, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa umat Islam tidak boleh mengambil pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, seorang pakar tafsir abad 14H mengatakan bahwa Allah membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman manakala Dia menjelaskan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta sifat buruk mereka agar kaum muslimin tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin. Karena mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain dan saling tolong menolong, maka kita dilarang untuk menjadikan mereka sebagai penolong karena sejatinya mereka tidak peduli pada penderitaan kita bahkan dapat menyesatkan.
Allah juga memberi petunjuk bahwa pemimpin harus berasal dari golongan laki-laki. Hal tersebut tertulis dalam An-Nisaa ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Tafsir mengenai ayat ini disampaikan dalam Tafsir Muyassar dari Kementerian Agama Arab Saudi, yakni Allah telah mengkhususkan dan mengistimewakan kaum laki-laki dibanding perempuan berupa kepemimpinan juga keunggulan, dan berdasarkan apa yang telah diberikan kaum laki-laki kepada mereka berupa mahar-mahar dan nafkah.
Maka apabila dalam perkara rumah tangga saja, laki-laki memang sudah digariskan untuk menjadi seorang pemimpin. Apalagi dalam perkara yang jauh lebih besar seperti untuk mengurus sebuah wilayah di daerah atau bahkan sebuah negara. Tentunya diperlukan keunggulan dari seorang laki-laki dibandingkan perempuan, terutama dalam perkara pemikiran yang dimana laki-laki cenderung lebih logis dan tidak banyak terpengaruh perasaannya ketika hendak memutuskan suatu permasalahan.
Perkara paling utama ketika memilih seseorang sebagai pemimpin atau ketika kita dipercaya menjadi seorang pemimpin ialah selalu menjadikan syariat Islam menjadi pedoman utama. Seorang pemimpin harus takut akan hari pembalasan kelak ketika dirinya dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia pimpin. Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Dengan demikian hendaknya pemimpin merupakan orang yang paham akan arti tanggung jawab. Sebab seluruh keputusannya ketika memimpin akan berdampak pada orang yang dipimpinnya serta akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Seandainya hal tersebut luput di mata manusia ketika di dunia, maka pastilah dirinya tidak akan lolos dari pengadilan akhirat yang terperinci. Maka berpegang teguh pada syariat serta berusaha bersikap adil merupakan jalan satu-satunya yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Seperti firman Allah Ta’ala dalam surat Shad ayata 26:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ
Artinya: “(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”
Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seorang muslim haruslah memberi perhatian khusus dalam perkara kepemimpinan. Ketika dirinya harus memilih pemimpin maka pilihannya harus dari kalangan umat muslim. Kemudian pemimpin yang dipilih pun harus dari kaum laki-laki karena memang telah digariskan bahwa laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan kaum wanita. Sementara yang terakhir pemimpin haruslah orang yang berpegang teguh dengan syariat agama Islam. Apabila seorang pemimpin menjalankan perannya dengan rambu-rambu agama, maka pastilah dirinya akan menjadi pemimpin yang setidaknya berusaha untuk terus amanah juga berperilaku adil terhadap orang yang dipimpinnya. Sebab pemimpin seperti ini akan sadar bahwa setiap hal yang dilakukannya kala memimpin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Begitu banyak kriteria lainnya jika hendak diperinci mengenai pemimpin dalam Islam. Dan seandainya kita mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan kriteria sesuai syariat melalui proses demokrasi maka sudah selayaknya kita bersyukur kepada Allah. Sambil terus mendoakan pemimpin agar dapat menjalankan perannya dengan amanah terhadap apa yang dipimpinnya. Selain itu, jangan lupa bahwa kita adalah pemimpin bagi diri kita masing-masing, maka kita pun harus tetap berusaha untuk berpegang pada syariat agar kita tetap dapat fokus memberikan yang terbaik sesuai dengan petunjuk dari Allah dan contoh dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sebagai teladan terbaik.
Referensi:
- Tafsirweb.com
- M.Saifudin Hakin. Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga. https://muslim.or.id/52693-pemimpin-rumah-tangga-4.html.
- M. Faizin. 7 Ayat Al-Qur’an tentang Pemimpin dan Kepemimpinan. https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/7-ayat-al-qur-an-tentang-pemimpin-dan-kepemimpinan-Yu8Yt.
Editor: Muhammad Maulana Ridwan