Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dan Lahirnya Kesadaran Persatuan [Bag.2]

Secara geografis Weltevreden berada di pinggir Batavia lama yang berjarak 10 kilometer ke arah selatan, daerah ini dulunya menjadi tempat tinggal utama orang-orang Eropa. Berdasarkan laman resmi Pemprov DKI Jakarta, Kota baru tersebut menjadi pusat pemerintahan masa Gubernur Jendral Daendels, letaknya saat ini berada di wilayah RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah, Jakarta Pusat. Di masa pendudukan Jepang, wilayahnya melingkupi seluruh daerah di Jakarta Pusat.

Pendirian pendidikan kedokteran bermula dengan munculnya berbagai penyakit di Karesidenan Banyumas, kondisi tersebut menjadi wabah yang membuat Pemerintah Hindia Belanda kesulitan menangani serta kekurangan tenaga medis. Hal ini yang mendorong dr. W. Bosch selaku Kepala Dinas Kesehatan saat itu membentuk kelompok dokter yang berasal dari penduduk pribumi sehingga mampu mengobati dan memenuhi kebutuhan kesehatan di Hindia Belanda. 

Tahun 1851 pendidikan kedokteran di Weltevreden dimulai dengan nama Sekolah Dokter Djawa, tujuannya untuk mendidik para pemuda Jawa yang mampu membaca dan menulis huruf Jawa dan Melayu serta memiliki bakat dan minat menjadi tenaga medis praktis di rumah sakit militer di Jawa. Sekolahnya berada di kompleks Rumah Sakit Militer. Bahasa pengantar perkuliahan adalah bahasa Melayu, dengan masa studi 2 tahun untuk mempelajari prinsip-prinsip berhitung Belanda, ilmu ukur, geografi (Eropa dan Hindia Belanda), astrologi, ilmu kimia non-organis, ilmu alam, ilmu perkakas, geologi, ilmu tanaman, ilmu hewan, kebidanan, dan ilmu bedah. Di tahun 1853, terdapat 11 lulusan pertama yang memulai karirnya sebagai petugas vaksin dan dokter bagi masyarakat di daerah-daerah. Mahasiswa yang telah lulus diberi gelar Dokter Djawa dan mendapat honor sebesar f 10 kemudian f 15 perbulan, sampai saat itu hanya pemuda Jawa yang diterima di sekolah tersebut.

Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan terus dilakukan dengan melakukan reorganisasi sekolah di tahun 1864. Jumlah mata pelajaran diterapkan sebanyak 27 dengan jumlah murid maksimal 50 siswa dan masa pendidikan selama 3 tahun. Ada pula kenaikan honor sebesar ƒ30/bulan serta wewenangnya pun diperluas. Dokter Djawa ditugaskan di bawah perintah langsung para kepala pemerintah wilayah dan dibekali kotak penuh obat. Kurikulum sekolah pun diperbaiki dengan memasukan mata pelajaran seperti kosmografi, geologi, mineralogi, bedah mayat, kedokteran kehamilan, dan kedokteran kepolisian.

Di sekolah, terbukti bahwa Bahasa Melayu tidak cocok sebagai pengantar pendidikan, karena bagi kebanyakan orang tidak mempunyai istilah ilmiah yang sepadan. Selain itu, keterbatasan pengajar di Dinas Kesehatan Militer menjadi kendala bagi peningkatan pendidikan. Dilakukan lagi reorganisasi di tahun 1875 yang membagi sekolah dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan selama 2 tahun yang mempelajari Bahasa Belanda dan tahap kedokteran selama 5 tahun yang mempelajari mata pelajaran kedokteran umum (anatomi, fisiologi, patologi umum dan terapi, prasarana kedokteran, pengetahuan farmasi, kesehatan, dan ilmu bedah), ilmu alam, ilmu kimia, ilmu tanaman, serta serta ilmu hewan, selanjutnya sejak saat itu bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Belanda.

Pada tahun 1896 terdapat pergantian Direktur Sekolah Dokter Djawa yang baru yaitu dr. H.F. Roll yang berjuang untuk memperbaiki kualitas maupun kuantitas Dokter Djawa dengan rencananya ingin melakukan reorganisasi. Perbaikan penting dilakukan pada 1900-1902, tidak ada lagi dokter Djawa melainkan diganti menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dengan gelar dokter bumiputera. Para calon murid dapat mengikuti ujian tertulis di seluruh wilayah Hindia, tidak datang ke Batavia dan kurikulum yang digunakan setara dengan kurikulum sekolah kedokteran di Utrecht. Gedung sekolah baru di bangun, dengan berbagai macam fasilitas penunjang seperti asrama siswa, ruang kelas, ruang rekreasi, gymnastic, dan ruang laboratorium. Kemudian dibuka kesempatan untuk siswa dari seluruh daerah di luar Jawa untuk mendaftar ke STOVIA.

Di tahun 1901 dibuat peraturan mengenai ikatan dinas, isi peraturannya adalah lulusan wajib secara moral melaksanakan tugas-tugas sebagai pengganti biaya pendidikan yang telah dinikmatinya. Peraturan baru ini memuat ketentuan bahwa murid yang telah memperoleh ijazah dokter bumiputera mengabdi kepada pemerintah setidaknya selama 10 tahun. Gaji awal mereka ditetapkan sebesar ƒ150/bulan dengan kenaikan tiga tahun dari ƒ25 menjadi ƒ250/bulan. 

Kegiatan pembelajaran dilakukan di gedung sekolah baru yang sekarang dinamakan gedung kebangkitan nasional yang dijadikan sebagai museum. Pada 1907, bangunan sekolah diperluas dengan sebuah bangunan terpisah yang digunakan untuk pendidikan praktis dalam ilmu kimia, mikroskop, dan ilmu persiapan dokter. Pada tahun 1910, lembaga pendidikan ini menerima penghargaan medali emas dan ijazah kehormatan atas perkembangan pendidikan yang baik dengan fasilitas yang memadai bangunan, asrama, dan laboratorium.

Pada tahun 1913, pemerintah membuka sekolah persiapan di Surabaya (NIAS) dan merancang sekolah kedokteran selama 7 tahun. Selain itu sekolah dibuka bagi para murid dari semua etnis, baik pria maupun wanita dengan tunjangan belajar dari dinas pemerintah atau atas biaya sendiri bagi swasta. Sehubung dengan itu, gelar yang diberikan diubah dari Dokter Bumiputera menjadi Dokter Hindia.

Pada tahun 1914, pengaruh perang dunia berdampak pada kondisi kedokteran di Hindia Belanda, awalnya muncul gangguan penyaluran pasokan peralatan dari Eropa yang sangat menghambat praktikum. Selanjutnya awal masuk sekolah ditunda beberapa minggu karena beberapa tenaga pengajar yang ditunggu kehadirannya dari Eropa tidak bisa datang tepat waktu, untuk sementara dalam hal ini banyak pengajar yang tersedia di Hindia Belanda mengambil alih mata pelajaran. Kondisi seperti ini berakhir di tahun 1915. Di rentan waktu 1913 dilakukan pembangunan gedung baru di daerah Salemba, tujuannya untuk menyediakan fasilitas yang lengkap dalam proses pembelajaran dan memperluas wilayah sekolah dengan pindah ke daerah Salemba. Pada 1919 ruang gambar di gedung Salemba mulai digunakan untuk para pemula, demikian pula apotek pendidikan untuk bagian kedokteran mulai dibuka. Pada 5 Juli 1920, seluruh kegiatan pendidikan dipindahkan ke Salemba dan gedung lama digunakan sebagai asrama. Di tahun 1922 STOVIA meluluskan dokter wanita pertama di Hindia Belanda yaitu Marie Thomas, kemudian pada tahun 1924 lulus pula Anna Warouw sebagai Dokter Hindia. Suatu kehormatan bagi dua wanita yang lulus sebagai Dokter Hindia, bantuan kesehatannya pun sangat dihargai terutama terhadap wanita muslim.

Di tahun 1926 seluruh kegiatan termasuk asrama siswa sudah dipindahkan ke Salemba dan kegiatan di gedung lama sudah dihentikan. Sekolah tinggi kedokteran dalam waktu singkat berkembang di Salemba, berbagai persoalan muncul yang juga diusahakan diselesaikan oleh STOVIA. Sekolah kedokteran berubah menjadi pendidikan tinggi dan memberikan kebebasan bagi murid untuk melakukan kajian seluas-luasnya dalam bidang medis dan kedokteran.

Tokoh-tokoh Pergerakan yang Lahir dari STOVIA

Wah, menarik ya pembahasan mengenai perkembangan pendidikan kedokteran di Weltevreden! Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia menjelaskan bahwa pendidikan adalah cara memanusiakan manusia. Garis besarnya pendidikan menjadi senjata paling ampuh untuk melawan kolonialisme, ternyata perjuangan menggunakan senjata tidak cukup karena persenjataannya pun lemah. Hal ini lah yang disadari tokoh-tokoh pemuda masa itu, kemudian muncul organisasi-organisasi pergerakan yang tujuannya sama yaitu kemerdekaan berbangsa. 

Nah, sebenarnya siapa saja sih tokoh-tokoh dibalik pergerakan nasional Indonesia? Check this out!

Masa akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 menjadi periode penting dalam sejarah Indonesia. Weltevreden sebagai pusat kota Batavia, menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Letak STOVIA di pusat kegiatan tersebut membuat para pelajar yang berasal dari berbagai daerah kecil di Hindia saling berinteraksi dan bertukar pikiran, sehingga membawa pada pintu gerbang dunia luar dan melahirkan tokoh intelektual.

Teman-teman tentu kenal dengan Bapak Pendidikan Indonesia, kan? Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, beliau pernah belajar di STOVIA loh, namun tidak sampai lulus bergelar dokter. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara memilih berkarir sebagai wartawan dan banyak mengkritik pemerintah kolonial melalui tulisannya yang tajam. Salah satu tulisannya yang berkesan berjudul Als Ik Eens Nederlander-Seandainya Aku Seorang Belanda. Tulisan dimuat di surat kabar De Express, isinya adalah kritikan terhadap Kerajaan Belanda yang membuat pesta perayaan dengan dana dari negeri jajahan. 

Tokoh pergerakan yang menggagas pendirian Budi Utomo yaitu Sutomo, kemudian menjadi ketua dari organisasi pergerakan tersebut. Pelajar STOVIA lainnya yang terlibat dalam pendirian Budi Utomo yaitu Mohammad Soelaiman, Soeradji Tirtonegoro, Mohammad Saleh, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, RM Goembrek, M. Soewarno, dan Angka Prodjosoedirdjo.

Ohiya, pasti teman-teman juga familiar dengan rumah sakit Tjipto Mangoenkoesoemo yang ada di Salemba, kan? Tjipto Mangoenkoesoemo adalah lulusan dokter dari STOVIA yang namanya diabadikan sebagai rumah sakit. Goenawan Mangoenkoesoemo, Soerjopranoto, serta Tjokrodirdjo, selain sebagai pelajar di STOVIA mereka dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi di Bataviaasch Nieuwsblad. 

Baca juga: Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dan Lahirnya Kesadaran Persatuan [Bag.1]

Lahirnya Kesadaran Persatuan

Kaum terdidik pada penduduk pribumi Indonesia tidak seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pengajaran di sekolah-sekolah, menumbuhkan gagasan maju akan bangsa yang merdeka. Lembaga pendidikan yang berperan penting dalam pergerakan nasional adalah Sekolah Dokter Bumiputera atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

Minatnya terhadap pengembangan pendidikan bumiputera membawa dr. Wahidin Soedirohoesodo melakukan perjalanan keliling Jawa untuk mengkampanyekan gagasan membuat studie fond atau dana belajar. dr. Wahidin adalah alumni dari Sekolah Dokter Djawa, dalam perjalanannya beliau singgah ke STOVIA. Gagasan dr. Wahidin disambut antusias oleh para pelajar STOVIA, terutama Soetomo. Hasil pembicaraannya, mereka sepakat untuk mendirikan organisasi Budi Utomo, peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Mei 1908 di ruang anatomi gedung STOVIA, Weltevreden. Awal keanggotaannya Budi Utomo terbatas pada penduduk Jawa dan Madura, namun pertumbuhan keanggotaannya meluas menjadi seluruh Hindia. Budi Utomo melakukan kegiatan dalam kemajuan bidang pendidikan dan kebudayaan, serta tidak akan terlibat dalam kegiatan politik. Dengan berdirinya Budi Utomo, dimulailah perjalanan baru perjuangan bangsa Indonesia dan menginspirasi perjuangan pemuda lain untuk membentuk gerakan pemuda melalui organisasi. Berdirinya Budi Utomo membawa dampak secara berturut-turun berdirinya Perhimpunan Indonesia di Belanda, Sarekat Islam di Solo, Muhammadiyah, dan Indische Partij. 

Budi Utomo yang keanggotaannya makin meluas hingga para bupati dan priyai, kurang memberikan ruang gerak bagi pemuda. Hal ini ditangkap oleh Satiman Wiriosandjojo untuk mendirikan organisasi khusus pemuda, tanggal 7 Maret 1915 berdiri organisasi Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia), di gedung STOVIA. Perkembangan organisasi Tri Koro Dharmo cukup bagus, tidak lama berdirinya di Jakarta, pemuda di luar Jawa menginginkan organisasi diantara mereka untuk mempererat persaudaraan dan cinta kebudayaan sendiri. Pemuda Sumatra membuat Jong Sumatranen Bond, pelajar Minahasa membuat Studerenden Vereeniging Minahasa (Perhimpunan Pelajar Minahasa), kedua organisasi ini didirikan di STOVIA. Pelajar Jawa Barat mendirikan Sekar Roekoen, untuk memajukan kebudayaan Sunda. Pada akhirnya Tri Koro Dharmo bergabung dengan Jong Java dan menyuarakan persatuan di kalangan organisasi pemuda. 

Tahun 1926 dilakukan kongres pemuda pertama yang dihadiri oleh banyak organisasi pemuda yaitu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond dengan tujuan menggugah semangat kerja sama antar berbagai organisasi pemuda di Indonesia, dalam kongres dibahas kemungkinan perkembangan bahasa-bahasa dan kesusasteraan Indonesia di masa mendatang dan tugas agama dalam pergerakan nasional. Namun kongres pemuda pertama belum menghasilkan kesepakatan membentuk difusi.

Pada Oktober 1928 kembali dilakukan kongres pemuda kedua, tujuannya yaitu mencapai difusi seluruh organisasi pemuda. Organisasi yang ikut dalam kongres lebih banyak yaitu Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Timoresch Verboncl, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Sekar Roekoen, dan Pemoeda Kaoem Betawi yang terdiri dari banyak mahasiswa STOVIA. Ada juga di luar organisasi kedaerahan yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Sarekat Islam, Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), utusan Pemerintah Hindia Belanda, Patih Batavia, Polisi, Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasehat Urusan Bumiputera), dan PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Informasi Politik). Keputusan kongres pemuda kedua menghasilkan Sumpah Pemuda.

Sejak diadakannya kongres pemuda kedua yang menghasilkan Sumpah Pemudah, bangsa Indonesia lebih menyadari arti pentingnya persatuan dan pergerakan yang memiliki tujuan terarah. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, dimanfaatkan Belanda untuk menjalankan strategi pecah belah. Kontak antar suku bangsa yang diwakili oleh pemuda, dinaungi oleh wadah instansi pendidikan STOVIA.

Pendidikan mampu mengeluarkan seseorang dari kegelapan kepada cahaya yang terang. Untuk menghindari kebodohan dan menyampaikan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan agar Nabi Muhammad belajar membaca dengan dibantu oleh Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِيْ يُنَزِّلُ عَلٰى عَبْدِهٖۤ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍ لِّيُخْرِجَكُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ۗ وَاِ نَّ اللّٰهَ بِكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Dialah yang menurunkan ayat-ayat yang terang (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad) untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sungguh, terhadap kamu Allah Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid 57: Ayat 9)

Pendidikan diawali dengan kemampuan membaca, dari membaca akan membuka cakrawala ilmu. Semangat terus dalam mengejar ilmu, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan niat baik menuntut ilmu. Aamiin.

PS: Penulis mau bilang kalau momen bulan kebangkitan nasional dapat menjadi pengingat bahwa pondasi persatuan bangsa Indonesia sudah dibangun jauh sebelum kemerdekaan. Tugas penerus adalah membangun bangsa yang maju di atas pondasi tersebut. JASMERAH!

Ismi Novianti
[Pengajar Sejarah di SMA FG Putri Full Day School]

Referensi:

  • A.De Waart. (1926). Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden. Waltevreden: G. Kolff & Co
  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2019). Sejarah Nasional Indonesia V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
  • Rahman, Momon Abdul, dkk. (2008). Sumpah Pemuda Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda
  • Maziyah, Siti. (2009). Peran STOVIA dalam Pergerakan Nasional di Indonesia. URL: http://eprints.undip.ac.id/25984/1/PERANAN_STOVIA_DALAM_PERGERAKAN_NASIONAL_DI_INDONESIA-Siti_Maziah.pdf

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *