Semuanya Demi Konten!

Jika kita bertanya kepada orang-orang berusia di bawah 20 tahun secara acak soal cita-cita mereka, tak jarang kita tidak memperoleh jawaban sama seperti apa yang mungkin kita dengar bertahun-tahun lampau sebelum kejayaan internet dimulai. Pada masa itu, jika seorang kanak-kanak atau remaja ditanya mengenai cita-cita, barangkali mereka akan menyebut “dokter”, “pilot”, “guru”, atau “presiden”. Tapi jika kita tanyakan soal itu sekarang, tak usah terkejut jika sebagian—atau malah kebanyakan—dari mereka menjawab “influencer”, “youtuber”, atau “content creator” sebagai cita-cita. Bagaimanapun, daftar profesi yang sepuluh tahun lalu masih terdengar absurd itu sudah menjadi perkara wajar di masa ini, ketika semua orang—tak peduli semuda atau setua apa pun—sukar menghindar dari paparan konten-konten internet.

Dunia bergerak. Hal-hal yang tidak ada dan tak terbayangkan pada masa lampau muncul menjadi perkara lumrah pada hari ini. Hal-hal itu bisa berupa perangkat teknologi seperti ponsel layar sentuh, drone, jam tangan pintar; bisa pula berupa media internet semacam YouTube, Twitter, TikTok; dan bisa juga berwujud profesi semacam influencer, youtuber, dan content creator.

Sebagaimana semua entitas, pada mulanya tidak ada yang baik ataupun buruk. Seperti wadah kosong, semua tergantung apa yang kelak mengisinya. Begitu pun internet, begitu pun profesi-profesi yang berkaitan erat dengan kehidupan di internet. Kita tak bisa tergesa-gesa mengecap para youtuber sebagai gerombolan produsen perkara sia-sia, influencer sebagai utusan setan, atau content creator sebagai penyembah klik. Memang ada youtuber yang tidak memproduksi apa-apa selain kesia-siaan dan kemudaratan, influencer yang membawa pengaruh buruk, dan content creator yang menggadaikan semua etika cuma demi klik. Tapi, perlu kita ingat bahwa ada pula youtuber, influencer, dan content creator yang memberikan manfaat nyata bagi orang-orang. Dengan kata lain, tidak ada cap mutlak yang bisa kita sematkan pada mereka. Meskipun mereka—“para pekerja internet” itu—punya satu kesamaan: berkarier di dunia maya, di dunia yang rawan dengan tipu daya, manipulasi, dan berorientasi pada klik.

Tepat di titik inilah kita perlu bicara.

Orientasi pada klik—yang jangka panjangnya adalah orientasi pada uang dan popularitas—rawan membuat “idealisme” para pekerja internet goyah. Pada awalnya mereka mungkin sekadar bersenang-senang, berbagi, dan coba-coba menampilkan aneka konten di kanal masing-masing. Namun semuanya bisa berubah begitu orang-orang berduyun-duyun mendatangi konten mereka, mengklik like, membagikan konten, dan berkomentar. Para pembuat konten itu jelas senang dengan antusiasme orang-orang yang meramaikan konten mereka. Dan karena melihat orang-orang menyukai konten mereka, mereka pun bersemangat untuk membuat konten-konten baru. Sebagian pembuat konten tak terlalu menghiraukan sisi keuntungan material, menganggapnya sebagai efek samping semata, sehingga mereka tetap mempertahankan “idealisme” mereka untuk membuat konten-konten bermutu. Sementara sebagian pembuat konten yang lain mengamati bahwa beberapa jenis konten lebih disukai orang sehingga mereka pun memfokuskan diri membuat konten-konten semacam itu, sampai-sampai mereka mengorbankan “idealisme” mereka dan melakukan semuanya demi konten. Di sinilah orientasi pada klik dimulai dan di sinilah biasanya petaka dimulai.

Etika dan profesionalisme adalah sepaket alat yang mesti digenggam oleh siapa pun dalam jenis pekerjaan apa pun, tak terkecuali bagi seorang content creator—pembuat konten. Mengesampingkan etika dan profesionalisme hanya demi mengejar keuntungan finansial bukanlah langkah yang membanggakan. Apalagi sampai mengorbankan harga diri cuma untuk mengejar klik. Tentu itu sangat menyedihkan, terlebih kalau ternyata ujung-ujungnya hanya mendapat sedikit klik. Menyedihkan kuadrat.

Belakangan ini saya melihat banyak gejala orientasi pada klik sehingga menyebabkan pengabaian terhadap etika serta profesionalisme dalam kerja-kerja pembuatan konten. Tentu kita tidak asing dengan fenomena orang-orang rela merekam dirinya mengguyur badan sendiri demi sumbangan para penonton, berendam di lumpur, memamerkan keseksian tubuh, hingga menjadikan anak-anak yatim piatu sebagai penyedot belas kasihan. Ada pula yang tega menyebarkan hoax, ujaran kebencian, hingga berita-berita provokatif yang tak jelas kebenarannya hanya gara-gara sudah mendapat “amplop” dari kubu tertentu. Fenomena-fenomena semacam itu bisa kita saksikan dengan mudah di internet. Saking banyaknya hal-hal semacam itu, kita mungkin pernah “tergocek” dibuatnya, dan itu jelas satu dari sekian sisi buruk internet.

Para pembuat konten yang melakukan segalanya demi konten, mengabaikan etika dan profesionalisme, mempersetankan semuanya kecuali cuan, cuan, cuan barangkali mengira apa yang mereka perbuat adalah hal ringan. Mereka pikir tindakan mereka tidak akan mengakibatkan kerusakan di muka bumi. Mereka pikir dunia akan sama saja baik mereka melakukannya ataupun tidak melakukannya. Sayangnya, apa yang terjadi tidaklah demikian. Kerap kali konten internet menimbulkan akibat yang lebih besar daripada yang siapa pun kira. Satu postingan hoax yang menyebar bisa membuat ribuan orang terperosok dalam kepalsuan sejarah. Satu postingan ujaran kebencian yang diposting figur populer bisa membuat ribuan orang mengidap kebencian terhadap entitas yang sebenarnya sama sekali tak patut dibenci. Dan satu konten berupa potongan video tak lengkap bisa mengobarkan api fitnah.

Pada Januari 2023, dua orang remaja di Bogor berusaha membuat konten. Konten itu berupa video mengadang truk yang sedang melintas di jalanan. Nahasnya, salah satu remaja yang hendak menghentikan truk itu tertabrak truk yang tak sempat mengerem. Ia tewas seketika. Satu nyawa pun melayang dengan alasan konyol: demi konten.

Konten yang berbahaya bukan cuma berbentuk konten mengadang truk. Kadang-kadang sekadar mengetik kata tertentu atau memposting gambar tertentu bisa lebih berbahaya daripada mengadang truk. Dan kadang-kadang bahaya itu tak tampak dengan jelas atau tak tampak efeknya pada hari itu juga. Bahaya itu baru terlihat ketika kita menyaksikannya dari jauh atau berhari-hari kemudian. Tapi, kabar baiknya, mara bahaya macam apa pun bisa kita minimalkan di internet, asalkan kita tidak melakukan “semuanya demi konten”, melainkan dengan tetap menjunjung tinggi etika, profesionalisme, dan sisi kemanusiaan dalam membuat konten—konten apa pun itu. (*)

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *