Seri Saham: Melihat Kriteria Saham Syariah di Bursa Efek Indonesia (Bag. 2)
Published Date: 18 August 2022
Pada edisi kali ini, penulis akan membahasa beberapa dalil mengenai saham syariah. Apalgi pernah mendapati penjelasan mengenai rincian saham dari Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait saham syariah. Berikut adalah kutipan yang diambil dari website BEI tentang kriteria Daftar Efek Syariah (DES).
1. Emiten tidak melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:
a. Perjudian dan permainan yang tergolong judi;
b. Perdagangan yang dilarang menurut syariah, antara lain:
– perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa;
– perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu;
c. Jasa keuangan ribawi, antara lain: bank berbasis bunga, perusahaan pembiayaan berbasis bunga.
d. Jual-beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir), seperti asuransi konvensional;
e. Memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain:
– barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi);
– barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram lighairihi) yang ditetapkan oleh DSN MUI;
– barang atau jasa yang merusak moral dan/atau bersifat mudarat;
f. Melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah); dan
2. Emiten memenuhi rasio-rasio keuangan sebagai berikut:
a. total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat puluh lima per seratus); atau
b. total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus).
Mari kita bahas dari poin no. 1 di atas. Di dalamnya jelas bahwa sebagai seorang muslim untuk mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, sehingga dalam pemilihan saham perusahaan dapat mengetahui mana perusahaan yang produknya halal dan mana perusahaan yang produknya haram. Jika belum paham maka perlu belajar fikih muamalah terlebih dahulu. Sebab tidak mungkin kita berinvestasi pada perusahaan bir, bank ribawi, rokok, dan sebagainya.
Bagaimana jika ada perusahaan yang tercampur antara yang halal dan yang haram? Maka perkara tersebut masuk ke poin no. 2. Apabila komposisinya sesuai dengan ketentuan poin a dan b maka masih termasuk dalam saham (berkategori) syariah. Lalu muncul pertanyaan, “Kenapa bisa begitu?” dan “Apa dalilnya ?”. Ada beberapa sumber soal dalil yang penulis ketahui, di antaranya:
- Pendapat Ibnu Rajab Al Hambali (rahimahullah) saat menghukumi kondisi tercampurnya antara harta yang halal dan yang haram dengan komposisi lebih banyak harta halal daripada harta haramnya maka beliau berpendapat boleh digunakan dan boleh dimakan dari harta semacam itu.
- Qiyas yang diambil dari hadis yang menceritakan tentang Sahabat Utsman bin Affan (radhiallahuanhu) saat membeli sumur milik seorang yahudi Bani Nadhir di Madinah saat kota tersebut dilanda kekeringan panjang. Sumur tersebut dibeli seharga 12.000 dirham pada awalnya dengan kepemilikan setengah-setengah, 1 hari milik Utsman dan 1 hari milik yahudi secara berselang seling. Walaupun pada akhirnya sumur tersebut jatuh 100% ketangan Utsman bin Affan (radhiallahuanhu) dengan harga total 20.000 dirham. Hadist tersebut menggambarkan bolehnya bermuamalah (berserikat dalam kepemilikan sumur) dengan orang kafir yang tentu saja dalam hartanya tidak jelas mana yang halal dan mana yang haram.
- Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang muamalah dari orang-orang yang mayoritas hartanya haram: para pemakan harta riba, pemungut cukai, dan pungli, maka beliau berpendapat, “Jika dalam hartanya ada yang halal dan ada yang haram, maka dalam bermuamalah dengan mereka terdapat syubhat (kerancuan), tidak dihukumi haram kecuali jika diketahui dia memberikan sesuatu yang haram untuk diberikan, dan tidak dihukum halal kecuali jika diketahui bahwa yang diberikan adalah halal. Jika sesuatu yang halal lebih dominan maka muamalah tersebut tidak bisa dihukumi haram dan jika haram lebih dominan, maka ada dua pendapat pertama berpendapat bahwa muamalah tersebut halal dan kelompok kedua berpendapat bahwa muamalah tersebut haram.” Dalam kesempatan lain, beliau juga berpendapat bahwa, “Dan jika dalam hartanya bercampur antara yang halal dan yang haram, maka harta yang haram tidak membuat harta yang halal tersebut menjadi haram, tetapi boleh baginya untuk mengambil sebesar harta yang halal. begitu juga orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan yang haram, maka yang dia keluarkan adalah sebesar harta yang haram, sedang sisanya adalah halal baginya.”
Demikianlah penjelasan poin no.2 tentang kriteria Daftar Efek Syariah dalam Bursa Efek Indonesia (IHSG). Adapun angka 45% dari total aset dan 10% dari total pendapatan adalah pengejawantahan angka berdasarkan kriteria “harta yang halal lebih besar daripada harta yang haram” di atas. Dan angka tersebut berlaku di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemungkinan akan ada acuan angka yang berbeda diantara Bursa Efek negara-negara muslim seperti Bursa Efek Saudi Arabia (Tadawul) dan Bursa Efek Malaysia (KLSE).
BEI-pun telah mengeluarkan indeks khusus yang berisi saham syariah untuk memudahkan investor dalam memilih dan membedakan mana saham konvensional, mana saham yang masuk kriteria syariah. Indeks tersebut adalah ISSI (Indeks Saham Syariah Indonesia) dan JII (Jakarta Islamic Indeks). Kedua indeks tersebut di-update secara berkala untuk mengevaluasi mana saham yang masih masuk kriteria syariah dan mana yang sudah keluar dari kriteria syariah. Tapi lebih baik kita saring dan dalami lebih lanjut saham yang akan kita beli, karena bisa jadi update ISSI lebih lambat daripada perubahan kondisi perusahaan saat ini.
Selain saham tersebut sudah masuk kriteria syariah, tentu tatacara pembeliannya juga harus mengikuti kaidah syariat, karena ada beberapa mekanisme jual-beli saham yang ada di IHSG tidak sesuai kaidah tersebut. Beberapa diantaranya adalah:
1. Transaksi Margin
Ketika Anda membuka akun standar di suatu sekuritas adakalanya “total saldo” anda bisa melebihi total dana yang anda setorkan di RDN (Rekening Dana Nasabah). Dana tersebut biasanya diberi nama “Buying power”, “Trading limit” dan lain sebagainya berbeda di setiap sekuritas. Dana tersebut merupakan dana pinjaman yang diberikan oleh sekuritas yang jika Anda pakai untuk membeli saham maka akan dikenakan bunga sekian persen perhari selama maksimal sekian hari. Lebih baik beli saham dengan dana berapapun yang kita punya, tidak perlu memanfaatkan pinjaman dana dari sekuritas.
2. Short Selling
Short selling adalah mekanisme dimana kita bisa meminjam saham dari pihak ketiga untuk kemudian kita jual dengan harga saat ini, kemudian kita beli lagi saham yang sama sejumlah yang kita pinjam di harga bawah, lalu saham tersebut dikembalikan ke pihak ketiga tersebut. Keuntungan didapat dari selisih antara harga saat kita meminjam dan saat kita mengembalikan. Transaksi tersebut jelas melanggar salah satu kaidah ‘menjual barang yang bukan merupakan miliknya’ dan juga saat meminjam tersebut biasanya juga dikenakan bunga, maka wajib dihindari.
Salah satu cara menghindari saham yang tidak masuk DES dan juga mekanisme tidak syar’i tadi maka ada beberapa sekuritas yang khusus menyediakan akun syariah. Dengan akun tersebut otomatis tidak bisa membeli saham yang tidak masuk DES dan tidak pula mendapat fasilitas margin. Namun menurut penulis, akun standar pun tidak masalah asalkan tahu saham apa yang dibeli dan tidak neko-neko pakai dana margin pula. Sesederhana itu.
Investasi saham dengan segala kekurangannya, menurut penulis adalah bentuk investasi yang paling adil di antara jenis investasi lain. Dengan sebab sebagai berikut :
- Sesuai dengan kaidah ‘siapa yang berani menanggung resiko kerugian, maka dialah yang berhak mendapatkan keuntungan’. Hal ini berbeda jika berinvestasi pada surat hutang/ deposito/ obligasi dlsb karena kreditur tidak mau tahu jika perusahaan/ perorangan gagal bayar/ bangkrut yang penting dia menerima kupon/ bunga sesuai perjanjian dan dana pokoknya tetap utuh. Dalam investasi saham apabila resiko perusahaan bangkrut maka pemodal juga ikut menanggung sebatas modal yang ia setorkan.
- Dalam investasi saham bagi hasil diambil dari laba bersih dan atau akumulasi laba ditahan sebelumnya dan disalurkan kepada pemodal dalam bentuk deviden. Besarannya tentu variatif tergantung laba yang berhasil dibukukan perusahaan dalam periode tertentu. Jika berhasil membukukan laba yang besar dan diimbangi payout ratio yang besar tentu bagi hasil yang didapat investor akan besar pula. Demikian jika perusahaan masih rugi ataupun untung tapi sangat tipis yang hanya cukup untuk operasional perusahaan maka jangan harap investor akan mendapat bagi hasil.
- Di balik lembar saham ada perusahaan sebagai underlying-nya. Didalam perusahaan ada aset berupa tanah, bangunan, mesin, kendaraan dan lain-lain. Ada pula orang-orang yang mengais rejeki disana. Memproduksi barang/jasa yang dibutuhkan orang-orang. Dengan demikian perekonomian suatu negara terus berjalan. Hal ini berbeda dengan investasi lain seperti crypto, NFT dan sejenisnya. Dimana tidak ada underlying asset dan tidak pula memberikan sumbangsih secara langsung untuk masyarakat. Naik turun harga hanya berdasar supply dan demand semata. Berharap ada orang yang akan membeli diharga lebih tinggi dari saat ini (greater fools theory)
Lalu, bagaimana cara berinvestasi saham di IHSG? Insyaallah akan dibahas pada artikel mendatang.
Sumber:
- https://www.idx.co.id/idx-syariah/produk-syariah/ diakses pada tgl 05/07/2022
- https://rumaysho.com/9630-harta-yang-bercampur-halal-dan-haram.html diakses pada tgl 05/07/2022
- Arina Aridhotun Nasa. 2019. Analisis Hukum Islam Dan Fatwa DSN-MUI No.40/DSN-MUI/X/2003 Terhadap Penetapan OJK atas Saham KPAS dan SKRN Sebagai Efek Syariah. Hal 34. Skripsi. Tidak Diterbitkan.
1 thought on “Seri Saham: Melihat Kriteria Saham Syariah di Bursa Efek Indonesia (Bag. 2)”