Seri Valuasi: Price to Book Value (PBV), Seberapa Murah Perusahaanmu?
Published Date: 4 August 2023
Book Value atau nilai buku adalah salah satu pendekatan cara untuk mengukur nilai perusahaan yang dijual/akan diakuisisi apabila kita (investor)/venture capital hendak membeli sahamnya alias ikut andil sebagai pemilik perusahaan. Nilai buku merupakan gambaran total aset bersih suatu perusahaan setelah dikurangi kewajiban yang ada seperti hutang, beban operasional dan lain-lain. Istilah lainnya ialah ekuitas atau modal, dan pastinya yakni total ekuitas bersih setelah dikurangi faktor dari kepentingan non pengendali jika ada. Ekuitas sendiri dalam persamaan akuntansi dituliskan dalam rumus sebagai berikut:
Agar mudah dipahami kita buat ilustrasi sederhana sebagai berikut.
Ada sebuah warung bakso bernama “Bakso Semua Suka atau BSS” yang mempunyai aset berupa kios di pinggir jalan yang nilainya Rp300.000.000.-, serta peralatan masak lengkap senilai Rp100.000.000.-. Total aset saat ini adalah Rp400.000.000.- yang ditanggung secara bersama-sama oleh Anton, Budi, Cecep dan Deni secara prorata masing-masing Rp100.000.000,- atau 25% setiap orang.
Kios sudah siap, peralatan sudah lengkap, ternyata warung BSS belum bisa berjualan, sehingga harus mengadakakan dulu bahan baku bakso senilai Rp50.000.000.-. Pembayaran gaji karyawan dan juga beban operasional lain seperti air, listrik dan gas. Akhirnya Warung BSS meminjam uang dari seseorang sejumlah Rp200.000.000.- lagi untuk operasional tersebut. Hutang disini akan menambah total aset BSS sehingga aset sekarang menjadi Rp600.000.000.-. Di sisi lain hutang tersebut adalah liabilitas atau beban yang harus dibayarkan ke pihak ketiga.
Total Aset | Total Liabilitas | ||
Aset tetap | 400.000.000 | Hutang | 200.000.000 |
Persediaan | 50.000.000 | ||
Kas dan setara kas | 150.000.000 | Total Ekuitas | |
Modal saham | 400.000.000 | ||
Laba ditahan | 0 | ||
TOTAL | 600.000.000 | TOTAL | 600.000.000 |
Setelah berjalan 1 tahun Warung BSS membukukan laba bersih (net profit) sebesar Rp180.000.000.- yang akhirnya menambah ekuitas sebagai saldo laba ditahan. Saldo persediaan juga bertambah menjadi 80.000.000 untuk mengamankan stok. Total hutang juga sudah dicicil setengahnya menjadi tersisa Rp100.000.000.- saja. Dengan asumsi tidak ada belanja aset tetap lagi maka neraca BSS pada periode akhir tahun adalah sebagai berikut:
Total Aset | Total Liabilitas | ||
Aset tetap | 400.000.000 | Hutang | 100.000.000 |
Persediaan | 80.000.000 | ||
Kas dan setara kas | 200.000.000 | Total Ekuitas | |
Modal saham | 400.000.000 | ||
Laba ditahan | 180.000.000 | ||
TOTAL | 680.000.000 | TOTAL | 680.000.000 |
Jika modal awal Anton, Budi, Cecep dan Deni dituliskan dalam lembar saham dengan nilai perlembar saham adalah Rp1000.-. Maka jumlah saham beredar adalah 400.000 lembar saham (Rp1000.-x 400.000 lembar = Rp400.000.000.-). Selanjutnya kita lihat perbandingan nilai buku berdasarkan ekuitas saat tahun pertama mulai sampai dengan 1 tahun terakhir pada laporan neraca di atas.
Tahun pertama didapatkan nilai buku (book value = BV) perlembar saham sebagai berikut:
BV = 400.000.000 / 400.000
= Rp 1.000.- /lembar saham
PBV = Rp 1.000.- / Rp 1.000.-
= 1 x
Dengan kata lain harga saham dibandingkan dengan nilai bukunya saat memulai bisnis warung BSS bernilai 1 x.
Kemudian nilai buku (book value) pada 1 tahun kemudian adalah sebagai berikut:
BV = 580.000.000 / 400.000
= Rp 1.450.- per-lembar saham
PBV = Rp 1.000.- / Rp 1.450.-
= 0,67 x
Sekarang harga berbanding nilai buku (PBV) terakhir malah turun menjadi 0,67 x dibandingkan dengan saat awal memulai dulu yang dinilai 1 x jika harga saham nilainya tetap Rp1.000.-. Cara membaca jika kita membeli bisnis dengan PBV 1x adalah kita membayar senilai modal bersih bisnis tersebut, jika kita membayar senilai 0,67 kali alias dibawah nilai buku 1 x maka kita menyetorkan modal dibawah modal bersih suatu bisnis.
Kesimpulannya makin rendah angka PBV maka semakin murah perusahaan tersebut dijual. Kecuali jika PBV malah bernilai negatif atau minus. Mengapa? Karena PBV minus berarti aset perusahaan tersebut lebih banyak dibiayai dari hutang daripada modal bersih, resikonya jika suatu hari perusahaan tersebut bangkrut dan dilikuidasi, semua asetnya masih belum cukup untuk menutup hutangnya, dengan kata lain investor tidak kebagian sepeserpun dari dana likuidasi tersebut.
Kenapa yang dipakai acuan adalah ekuitas, bukan total aset? Mungkin seperti itulah pertanyaan yang muncul pada orang awam yang belum familiar dengan prinsip akuntansi (termasuk penulis dulu). Bagi kebanyakan orang, kata “aset” diafiliasikan dengan sesuatu benda berharga yang nilainya dapat diukur dengan uang seperti harga tanah, properti, mesin produksi, peralatan, mobil dan lain sebagainya dengan kata lain aset adalah sesuatu yang berharga. Namun yang perlu diperhatikan adalah aset bisa didapat dari hutang, seperti contoh diatas warung BSS punya hutang 200juta untuk pembelian bahan baku, peralatan dll yang dimasukkan kedalam aset.
Bagaimana jika aset tersebut seluruhnya dari hutang? Alias seluruh tanah, bangunan, mesin semua dibiayai dari hutang (PBV bernilai negatif). Memang tidak salah jika perusahaan tersebut dapat menghasilkan cashflow positif dan mampu mengakumulasi laba sehingga pelan tapi pasti hutang tersebut akan dilunasi. Namun jika skenario buruk terjadi, seperti bangkrut/pailit maka seluruh aset yang berharga tadi akan dijual untuk membayar seluruh hutang-hutangnya. Jika setelah dilelang seluruh aset habis tak bersisa maka untuk apa kita menghitung nilai buku dari aset tersebut? Sehingga pendekatan nilai buku yang paling tepat adalah berdasarkan ekuitas atau aset bersih atau modal bersih suatu perusahaan. Sekali lagi perhatikan rumus dari total aset diatas.
Sekarang jika warung BSS dapat mengembangkan ekuitasnya melalui akumulasi laba ditahan tentu nilai buku semakin naik. Perhatikan salah satu komponen ekuitas adalah laba ditahan, komponen ini didapat dari akumulasi laba dari waktu ke waktu. Laba ditahan bisa dialokasikan untuk pembayaran deviden/bagi hasil, dibelikan aset lain yang produktif atau bisa juga digunakan untuk membiayai ekspansi membuka cabang di tempat lain.
Kita umpamakan setelah 5 tahun berlalu dan warung BSS berhasil membukukan laba Rp 317.000.000.- (pertumbuhan CAGR 12% pertahun selama 5 tahun). Maka berapakah nilai buku warung BSS sekarang?. Asumsi hutang sudah lunas dan tidak ada beban liabilitas lain-lain lagi. Maka nilai buku sekarang adalah:
BV = (modal saham + laba ditahan) / jumlah saham beredar
= 717.000.000 rupiah / 400.000 lembar
= Rp 1.793,-
Jika harga saham masih tetap di 1.000 rupiah perlembar saham maka price to book value (PBV) adalah:
PBV = 1.000 / 1.793
= 0,56 x
Nilai PBV malah semakin kecil dari nilai sebelumnya seiring dengan kenaikan ekuitas warung BSS. Misalkan seseorang ingin membeli saham warung BSS karena ingin investasi juga maka pada harga berapakah owner perusahaan akan menjual sahamnya?. Secara logika tidak mungkin owner sebelumnya menjual lagi diharga dia dulu memulai usaha alias di Rp1.000,-. Modal bersih yang dulu mereka tanam sebesar 400 juta rupiah sudah berkembang menjadi 717 juta rupiah belum termasuk aset lain.
Jika misalkan ada Pak Edi ingin membeli seluruh saham Pak Deni di harga PBV 1 maka pak Edi harus mengeluarjkan uang sejumlah: 1.793 rupiah X 100.000 lembar saham = Rp179.300.000.-. Pak Deni mendapatkan untung sebesar: 179.300.000 – 100.000.000 = 79.300.000 atau mendapat capital gain sebesar 79,3 % dari modal awal 5 tahun yang lalu.
Tapi Pak Deni tidak mau menjual sahamnya di harga PBV 1x, dia beralasan sudah 5 tahun jatuh bangun merintis warung BSS yang bisa menghasilkan laba 12% pertahun dan terus bertumbuh, ia mau menjual sahamnya ke Pak Edi minimal diharga 1,75 x nilai buku. Jadi Pak Edi harus membayar sejumlah (1.793 rupiah x 1,75) X 100.000 lembar = Rp313.775.000.-. Dengan demikian Pak Deni mendapatkan capital gain sebesar 213,78 % dari modal awal dahulu.
Demikianlah cara menilai suatu bisnis dengan pendekatan Price to Book Value (PBV). Pendekatan ini juga banyak dipakai investor di pasar saham maupun dunia bisnis pada umumnya. Kelemahan dari pendekatan ini adalah kita harus benar-benar mengerti dan syukur-syukur dapat mengaudit apakah ekuitas tersebut benar-benar ekuitas yang berkualitas dan layak dihargai sesuai penawaran market.
Jadi PBV kurang dari 1 bisa berarti 2 hal: perusahaan tersebut dijual murah karena salah harga atau memang perusahaan murahan yang layak dijual murah?