Seri Valuasi: Price Earning Ratio (PER), Seberapa Cepat Balik Modal?
Published Date: 4 August 2023
Seri valuasi kali ini akan membahas dari sisi profitabilitas atau kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba dalam 1 periode tertentu. Acuannya adalah Laporan keuangan bagian laba-rugi atau profit and lost statement. Tujuan utama suatu bisnis adalah menghasilkan cuan alias laba atau profit, berangkat dari hal tersebut, pendekatan profitabilitas mutlak diperhatikan oleh seorang investor yang ingin menanamkan modalnya pada suatu perusahaan. Tak peduli seberapa murah PBV dan menterengnya suatu perusahaan, jika selalu konsisten rugi terus maka lebih baik ditutup atau jadi lembaga amal saja. Atau malah PER-nya sangat tinggi sehingga kita membeli perusahaan tersebut saat valuasinya terhitung mahal.
Price earning ratio (PER) adalah rasio yang membandingkan seberapa cepat balik modal dari keuntungan perusahaan jika membeli perusahaan tersebut pada harga sekian. PER memakai satuan “kali”. Nah sebelum kita bisa menghitung PER maka kita harus mencari earning per share atau EPS-nya terlebih dahulu. EPS didapat dari jumlah laba bersih dibagi dengan jumlah saham beredar. Sehingga kita bisa tahu berapa sih laba bersih yang didapatkan oleh setiap lembar saham? Rumusnya adalah:
Seperti biasa, agar rumus diatas tidak “mengawang-awang” di kepala kita, langsung kita praktikan saja dengan analogi sederhana dibawah ini.
Sebut saja Warung Bakso Semua Suka atau Warung BSS yang tempo hari kita bahas. Dalam Laporan Keuangan 1 tahun setelah berjalan warung BSS berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp180.000.000.-. Jika jumlah saham beredar adalah 400.000 lembar maka setiap lembar saham dapat menghasilkan:
EPS = 180.000.000 / 400.000
= Rp 450.- per lembar saham
Jika diketahui harga 1 lembar saham warung BSS adalah Rp1.000,-, berarti dari Rp1.000,- yang kita setorkan sebagai modal akan menghasilkan Rp450,- keuntungan. Dari sini kita bisa menghitung PER dengan hasil sebagai berikut :
PER = 1.000 / 450
= 2,22 kali
PER 2,22 kali di atas dapat dibaca sebagai berikut: Jika kita membeli saham Warung BSS diharga Rp1.000,- maka estimasi kita untuk balik modal adalah dalam waktu 2,2 tahun atau 2 tahun lebih 3 bulan dengan asumsi laba atau EPS perusahaan tidak naik dalam periode tersebut.
Dari sini kita bisa ketahui bahwa “semakin kecil PER maka semakin cepat balik modal, semakin cepat balik modal maka semakin murah dan bagus perusahaan tersebut”. Jika ada perusahaan dengan per mencapai 3 digit, katakanlah PER 300, maka dibutuhkan waktu sekitar 300 tahun untuk kita balik modal investasi di perusahaan tersebut, dengan asumsi perusahaan tidak ada growth sama sekali juga. Dan jangan salah, tahun 2021 yang lalu ada perusahaan di BEI yang dijual dengan valuasi PER >300 saat berada dipuncak harganya. Dengan mengetahui fungsi dari metriks PER ini kita bisa menilai wajar tidaknya/masuk akal kah investasi di perusahaan seperti ini?
Bagaimana jika ada perusahaan dengan PER negatif (minus)? Yups, memang ada beberapa perusahaan dengan PER bernilai negatif karena saat itu perusahaan tengah membukukan kerugian. Rugi berarti komponen laba bernilai minus, jika laba minus otomatis EPS juga minus dan imbasnya PER juga minus. Apakah berarti perusahaan tersebut jelek? Belum tentu juga. Harus dianalisis lebih lanjut kenapa perusahaan tersebut rugi. Jangan salah, perusahaan yang rugi lalu suatu saat ia kembali untung biasanya menawarkan upside gain yang tinggi, istilahnya klasifikasi perusahaan turn around.
Sebelum kita bisa memutuskan apakah warung BSS sebagus dan semenarik itu maka harus ada pembandingnya, siapa tahu ada warung bakso lain yang dijual dengan valuasi PER < 1. Jadi melihat PER sebagai salah satu metriks valuasi disini tidak bisa berdiri sendiri, minimal kita harus mengetahui PER rata-rata industri yang sejenis dengan perusahaan tersebut. Beda industri beda pula rata-rata PER yang wajar dalam industri tersebut. Katakanlah warung bakso dengan apotik tentu beda segmen pasarnya, jangan sampai kita bias dengan PER yang rendah dalam industri tertentu yang berbeda. Kaidah secara umum-nya adalah PER dianggap tinggi jika >15 dan wajar jika berada antara 10 – 15, dan dianggap murah jika < 10. Dengan catatan, harus dianalisa lebih lanjut dan bandingkan juga dengan PER rata-rata industrinya.
Perhatikan tabel dibawah ini untuk contoh penggunaan PER secara umum apabila kita dihadapkan dengan beberapa perusahaan yang sejenis yaitu industri properti.
- BSDE: Bumi Serpong Damai, CTRA: Ciputra, ASRI: Alam Sutra dan APLN: Agung Podomoro Land.
- Annualised artinya yang disetahunkan secara linear untuk acuan 1 tahun kinerja.
- Menghitung PER harus menggunakan acuan 1 tahun kinerja.
Ada 2 metode untuk menyetahunkan laporan keuangan jika LK tersebut adalah LK kuartalan.
- Pertama, metode annualised yaitu dihitung 1 tahun dengan cara digenapkan, misal LK kuartal 1 memperoleh laba 100 miliar, maka hitungan 1 tahun = 100 miliar X 4 kuartal = 400 miliar per tahun.
- Kedua, metode TTM atau Trailing Twelve Month yaitu dengan menjumlahkan kuartal saat ini dengan kuartal tahun sebelumnya sehingga genap 4 kuartal, misalkan saat ini baru ada LK kuartal 2 tahun 2023 maka harus dijumlahkan dengan LK kuartal 3 dan 4 tahun sebelumnya (LK kuartal 3 dan 4 tahun 2022 + LK kuartal 1 dan 2 tahun 2023).
Jika mengacu pada tabel perusahaan properti diatas jika diurutkan mulai dari PER yang paling kecil ke yang paling besar (metode annualised) adalah: BSDE – APLN – CTRA – ASRI. Ingat, jika semakin kecil PER maka akan semakin cepat balik modal maka BSDE lah yang paling murah. Tapi sebaiknya jangan serta merta berasumsi bahwa setiap perusahaan yang PER-nya rendah berbanding dengan perusahaan sejenis maupun sektornya adalah perusahaan yang murah, karena masih banyak faktor dan metriks lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan.
Dalam kasus ini kita perlu mencari tahu PER rata-rata industri dan PER perusahaan sejenis yang dipasarkan agar tahu mana perusahaan yang lebih menguntungkan dan wajarkah PER demikian. Berdasarkan data yang diambil dari https://idx.co.id/ pada tanggal 22 Juli 2023 didapatkan data sebagai berikut:
Dalam 11 sektor di atas nantinya akan dibagi lagi menjadi beberapa sub-sektor. Jadi kita harus jeli dan fair dalam membandingkan PER dari 1 perusahaan dengan perusahaan sejenis yang lain. Jika tidak maka akan terjadi bias membeli perusahaan tambang saat PER rendah yang dikira murah ternyata malah dibawa turun terus karena khusus PER dalam sektor energi dan sub sektor pertambangan batubara, harga rendah berarti laba perusahaan sedang besar-besarnya karena perusahaan berhasil menjual batubara di saat siklus harganya ada dipuncak, alhasil EPS tinggi menyebabkan PER rendah. Perlu diingat, setelah siklus batubara berakhir (harga acuan batubara turun drastis) maka laba juga akan mengecil sehingga EPS yang kecil berarti PER juga tinggi. Saat terbaik untuk membeli perusahaan siklikal adalah ketika siklus komoditas yang dijual perusahaan berada pada titik terendahnya, biasanya PER-nya akan cenderung tinggi. Dan saat PERnya menjadi rendah maka itulah tanda siklus perusahaan berada di puncaknya alias saat yang tepat untuk menjual sahamnya.
Perhatikan data berikut (diambil dari data Fundachart Stockbit pada tanggal 22 Juli 2023):
Salah satu yang dijadikan contoh adalah perusahaan Indo Tambang Raya Megah Tbk (ITMG), lalu bandingkan dengan index harga batu bara Newcastle di bawah ini.
Pada gambar chart ITMG diatas (garis biru) berbanding dengan PER relatif secara TTM (garis merah muda) menunjukan suatu anomali dimana Saat PER dari ITMG > 10 harga saham ITMG masih berada dikisaran < Rp16.000,- per lembar, namun disaat PER ITMG < 5 harga saham ITMG sudah berada di harga > Rp32.000,- bahkan sempat tembus Rp45.000,- di puncaknya. Dan setelah PER-nya makin kecil harga saham ITMG malah cenderung turun.
Pada kasus ITMG diatas, PER yang kecil terjadi karena EPS yang sangat tinggi mengikuti besarnya keuntungan perusahaan batubara saat siklus batubara berada dipuncak yang berdasarkan gambar harga acuan batubara Newcastle diatas berada pada range US$200–US$400 per ton pada periode awal 2022 – awal 2023. Sentimen penurunan harga acuan batubara di atas menyebabkan pesimisme dikalangan pelaku market dan harga saham-saham perusahaan tambang batubara mengikuti penurunan harga acuan komoditasnya walaupun secara PER masih relatif rendah alias masih murah. Belajar dari kasus di atas maka sangat dibutuhkan kejelian analisa dan sudut pandang yang tepat untuk membaca PER sesuai dengan sektor dan subsektornya.
Nah, ada satu lagi yang perlu diperhatikan terkait Earning per Share (EPS) yang membentuk metriks PER ini, yaitu kualitas dari laba perusahaan itu sendiri. Sebab ada kalanya laba yang didapat perusahaan bukan berasal dari aktivitas operasionalnya, melainkan berasal dari operasi lain-lain yang sifatnya one time atau hanya terjadi 1 kali saja seumur perusahaan. Laba dari aktivitas operasi lain ini biasanya muncul jika ada penjualan aset perusahaan, selisih kurs mata uang, maupun laba dari aktivitas keuangan seperti obligasi, sukuk, MTN dan lain sebagainya. Biasanya jika ada komponen tersebut maka harus dikeluarkan dari hitungan laba bersih agar PER yang didapat lebih konservatif. Namun jika laba tersebut dari aktifitas financial enginering yang konotasinya adalah negatif maka hitungan PER kita bisa ambyar sama sekali alias tidak valid.
Gimana maksudnya? Misalnya, perusahaan roti berhasil menjual roti dengan omzet Rp100.000.000,- per tahun dan membukukan laba bersih sebesar Rp20.000.000,- (NPM 20%) dalam laporan laba-rugi. Namun setelah dicek di laporan arus kas dari aktivitas operasi ternyata malah minus sebesar Rp70.000.000,- , dan ternyata, eh ternyata, di laporan neraca perusahaan piutangnya makin bengkak alias omzet yang Rp100juta tadi lebih dari setengahnya masih belum dibayar, alias setengah dari pelanggan pada ngutang semua. Jika itu terjadi dalam jangka panjang dan akhirnya piutangnya tidak bisa tertagih maka kualitas dari laba tersebut sama sekali tidak valid alias zonk.
Jangan lupa dengan adagium “Revenue is Vanity, Profit is Sanity, but Cash is King” atau “Pendapatan adalah Kesombongan, Keuntungan adalah Kewarasan, tetapi Cash adalah Raja”.
Yaps, kita harus cek validasi laba dari laporan arus kas.