Serial Faedah Ringkas #3: Tetap Beribadah Saat Didera Musibah

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Berikut ini akan disampaikan tiga nasihat dan peringatan terkait dengan pengabdian seorang hamba kepada Rabbnya:

  • Terdapat perbedaan pahala yang sangat mencolok antara melaksanakan kewajiban di kala sakit dan sehat;
  • Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan: ‘Sesungguhnya hamba-Ku yang sebenarnya adalah yang mengingat-Ku saat ia berhadapan dengan musuhnya.’ Allah Ta’ala pun berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَٱثْبُتُوا۟ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung.” (QS. Al-Anfaal: 45)

  • Tidaklah mengagumkan jika orang yang sehat dan memiliki waktu luang senantiasa mengabdi kepada Allah. Akan tetapi, yang mengagumkan adalah orang yang lemah dan sakit, yang terkuras waktunya oleh berbagai kesibukan, atau didera berbagai musibah yang datang silih berganti, namun hatinya tetap konsisten dalam melakukan pengabdian kepada Allah, tidak tercemar oleh takdir apa pun yang ditetapkan untuknya.”

 

Tiga butir nasihat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim tersebut memang tidak mudah untuk diamalkan, tetapi tetap perlu untuk kita pikirkan. Beberapa nasihat memang tidak seindah kelihatannya atau kedengarannya, namun bukan berarti sama sekali tidak bisa diaplikasikan di dunia nyata. Sesungguhnya semua hal bisa diusahakan dan sesungguhnya semua usaha memang mensyaratkan kesungguhan dan pengorbanan.

Dalam urusan ibadah, misalnya melaksanakan salat lima waktu dan bersedekah, pada dasarnya memang bukan urusan ringan dan mudah. Kita cenderung menunda-nunda dan pelit mengeluarkan sesuatu untuk orang lain. Bahkan, dalam keadaan baik-baik saja (kita sehat, punya harta dan waktu luang, serta berada dalam kondisi aman) ibadah tak semudah itu dilakukan. Selalu ada saja alasan, baik yang dibuat-buat maupun yang sungguh ada tapi terlalu dibesar-besarkan.

Ketika waktu salat tiba, kita menganggap waktunya masih panjang sehingga kita pun melakukan hal-hal lain terlebih dahulu yang sebenarnya masih bisa dikerjakan di lain waktu. Kita melakukan pekerjaan kita, kita bermain media sosial, kita melihat video-video acak, kita bersenda gurau dengan kawan, kita bersantai sambil main game, dan seterusnya. Sampai akhirnya tanpa kita sadari waktu salat pun menjelang habis dan kita mengerjakan salat dengan terburu-buru sambil mengeluhkan mengapa ada kewajiban salat.

Ketika memiliki kelebihan harta, kita lebih suka menahannya dengan dalih bahwa suatu saat harta tersebut akan kita perlukan untuk kebutuhan-kebutuhan lain. Padahal kebutuhan-kebutuhan primer sudah terpenuhi dan jatah untuk menyenang-nyenangkan diri sendiri dengan membeli barang kesukaan atau menekuni hobi juga sudah dicanangkan. Tetapi kita tetap menahan kelebihan harta tersebut, merasa sayang jika harta itu diberikan kepada orang lain.

Lambat laun, sedikit demi sedikit, ketika detik-detik mengalir tanpa kita sadari, pelan-pelan harta itu habis untuk hal-hal yang tidak penting. Kita berlaku konsumtif, kita membuang-buang uang tanpa perhitungan matang, dan kita tetap tak menyisihkan uang untuk berbagi. Sulit bagi kita untuk bersedekah, bahkan saat harta kita cukup melimpah ruah.

Itu adalah ilustrasi mengenai beratnya ibadah, bahkan di kala hidup terasa mudah. Kalaulah bukan karena pertolongan dari Allah, lalu kesungguhan kita untuk melawan hawa nafsu yang tiada habisnya, niscaya hidup akan penuh dengan hal sia-sia. Tiba-tiba kita menua dan tidak pernah melakukan apa-apa.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Al-Bukhari)

Di titik ini kita bisa mengerti mengapa Ibnul Qayyim mengungkapkan kekaguman terhadap orang-orang yang tetap beribadah di kala susah, di kala tubuh sedang sakit, di kala diri tertimpa musibah, di kala kehidupan susah. Sebab, ibadah di saat situasi sedang baik-baik saja sulit bukan main, apalagi saat hidup sedang sulit! Tentu membutuhkan keimanan yang kuat dan usaha keras untuk tetap bisa menjaga ibadah pada saat hari-hari berlalu dengan penuh persoalan.

Dan kita pun bisa mengambil hikmah dari kehidupan orang-orang saleh di masa lampau. Kita tentu pernah mendengar kesabaran Nabi Ayyub yang menderita sakit parah, keteguhan Nabi Ibrahim dan Nabi Musa saat menghadapi penguasa-penguasa zalim, juga ketabahan Nabi Muhammad manakala orang-orang yang tidak suka dengan dakwah Islam melakukan percobaan pembunuhan berkali-kali terhadap beliau. Akan tetapi, sulitnya kehidupan tidak membuat keimanan mereka luntur, dan tidak pula membuat mereka berhenti dari beribadah kepada Allah. Itulah mengapa kisah-kisah para nabi terus-menerus diceritakan, tak lain agar kita bisa menjadikan mereka suri tauladan, dalam mengarungi hidup yang tak pernah bebas dari problematika.

Mungkin kita tak memiliki kehidupan yang serupa. Mungkin kita memiliki ujian kehidupan yang berbeda-beda. Namun semoga kita tetap dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk tetap mengabdi kepada-Nya. Wallahul-musta’an.

 

[Diolah dari buku Fawaidul Fawaid karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah hlm. 582 dengan sejumlah tambahan]

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *