Serial Hadis Adab #6: Ghibah dan Bahaya-Bahayanya
Published Date: 10 November 2025
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
“أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟” قَالُوا: “اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.” قَالَ: “ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ.” قِيلَ: “أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟” قَالَ: “إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.”
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu sesuatu yang ia tidak suka.” Ada yang bertanya, “Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Jika benar ada padanya, maka engkau telah mengghibahnya. Dan jika tidak ada padanya, maka engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, dan Darimi)
Ghibah dan Bahayanya
Dalam arus kehidupan yang penuh dengan dinamika seperti saat ini, kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa. Kata-kata bisa menjadi sebuah jembatan kebaikan, tapi bisa juga menjadi belati yang menciptakan luka. Salah satu di antara perbuatan yang dapat menyebabkan luka bagi orang lain dan membawa keburukan bagi pelakunya adalah ghibah.
Secara definisi ghibah merupakan perbuatan membicarakan orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut. Dalam hadis di atas makna ghibah kembali diperjelas dengan penekanan pada apabila yang kita katakan terkait orang lain itu benar, maka itu masuk dalam kategori ghibah. Sedangkan jika apa yang kita bicarakan itu salah, maka perkataan kita masuk dalam kategori fitnah. Melihat hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa ketika kita membicarakan orang lain tentang hal yang tidak ia sukai, baik itu benar atau salah, maka tidak ada kebaikan sama sekali yang kita dapat. Malah kita terancam jatuh ke dalam perbuatan dosa.
Allahﷻ telah memberikan kita peringatan,
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجْتَنِبُواْ كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ۬ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيۡتً۬ا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ۬ رَّحِيمٌ۬
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kalian menggunjing satu sama lain. Adakah seseorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentu kalian jijik kepadanya. Maka bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Allahﷻ mengibaratkan orang-orang yang mengghibah satu sama lain seperti orang-orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Tentu itu perumpamaan hiperbolis yang menunjukkan betapa besar nilai keburukan dari ghibah. Cukuplah bagi kita perumpamaan tersebut untuk membuat kita mewaspadai dan mewanti-wanti diri untuk terhindar dari bahaya ghibah. Lagi pula, ghibah tidak membawa manfaat nyata sama sekali. Dalam Islam, untuk memverifikasi kebenaran suatu kabar yang tidak jelas, kita dianjurkan untuk tabayyun bukan ghibah. Tabayyun akan membuat status sebuah kabar menjadi lebih terang, sedangkan ghibah kerapkali kian memperkeruh suatu persoalan.
Bentuk-Bentuk Ghibah: Dulu dan Kini
Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar menjelaskan bahwa ghibah mencakup berbagai hal, antara lain: fisik (bentuk tubuh, suara, warna kulit), pakaian (bajunya murahan, tidak pantas), nasab dan keluarga (anaknya bodoh, ayahnya pengemis), akhlak (pemarah, sombong), ibadah (salatnya tidak khusyuk, suka meninggalkan puasa), pekerjaan dan status sosial (hanya tukang sapu, pengangguran). Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin pun sependapat. Bahkan ia menambahkan bahwa ghibah bisa terjadi melalui tulisan, isyarat, gerakan tubuh, menirukan suara, bahkan mimik wajah.
Pendapat Imam Al-Ghazali di atas sejalan dengan perkembangan zaman. Di era modern seperti saat ini, ghibah tak lagi hanya dari mulut ke mulut. Ia menjelma dalam bentuk acara televisi, tulisan di media sosial, siaran radio, obrolan grup WhatsApp, hingga komentar netizen. Semua itu menjadi ladang dosa bila mengandung olok-olok terhadap aib seseorang.
Ghibah bukanlah sekadar dosa kecil yang remeh di mata Allahﷻ. Ketika perbuatan ghibah sudah pernah dilakukan seseorang, maka ia akan menjadi penyakit yang mengakar dan menyebar ke dalam hati orang tersebut. Pelaku ghibah akan merasa haus terhadap aib-aib orang lain. Mereka akan terus mencari aib orang lain dan menyebarkannya.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ.”
“Wahai orang-orang yang hanya beriman dengan lisannya namun imannya belum masuk ke dalam hati, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin dan jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa mencari-cari aib mereka, maka Allah akan membongkar aibnya, dan barang siapa yang Allah bongkar aibnya, maka Dia akan mempermalukannya di dalam rumahnya.” (HR. Ahmad, No. 18940)
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ membuka peringatan ini dengan kalimat “Wahai orang-orang yang hanya beriman dengan lisannya namun imannya belum masuk ke dalam hati”. Ini menunjukkan bahwa adanya sekelompok orang-orang yang mereka mengaku dirinya beriman, namun iman tersebut cuma ada dalam lisannya tanpa meresap ke dalam hatinya, sehingga Nabi memberikan ciri dari kelompok tersebut yaitu sukanya mereka mencari dan mengumbar aib saudaranya. Padahal ancaman nyata bagi siapapun yang suka mengumbar aib saudaranya, yaitu Allahﷻ akan membongkar aibnya dan mempermalukan dirinya bahkan sampai di dalam rumahnya.
Wahai teman-temanku sekalian, Allahﷻ menjanjikan pembebasan dari neraka bagi mereka yang menjaga lisannya dari ghibah.
Rasulullah ﷺ bersabda,
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ ذَبَّ عَنْ لَحْمِ أَخِيهِ بِالْغَيْبَةِ، كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ.”
“Barangsiapa menahan diri dari memakan daging saudaranya dalam ghibah, maka menjadi hak Allah untuk membebaskannya dari neraka.” (HR. Ahmad, No. 26327)
Dalam hadis lain Nabi ﷺ bersabda,
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ، رَدَّ اللَّهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.”
“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya dari ghibah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, No. 1854)
Wahai sahabatku yang dimuliakan Allahﷻ, ghibah bukan sekadar dosa lisan, ia adalah bentuk kezaliman yang bisa membunuh karakter seseorang. Dalam dunia yang serba cepat ini, informasi menyebar seperti api. Maka, siapa yang tidak menjaga lisannya, akan terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Di zaman sekarang ini bukan hanya lewat lisan kita dapat terjerumus ke dalam ghibah. Akan tetapi bisa juga lewat media sosial, melalui ketikan jari-jemari, atau hanya sekedar mengikuti berita gosip dari layar kaca atau smartphone. Zaman yang penuh dengan fitnah seperti saat ini mengharuskan kita untuk pandai menjaga diri kita dan keluarga kita dari bahaya ghibah. Tanpa penjagaan diri yang ketat dan doa terus-menerus kepada Allah, kita tidak bisa menjamin diri bisa terbebas dari pelaku ghibah. Semoga Allah melindungi kita dari ghibah dan perilaku-perilaku yang dapat menjerumuskan kita kepadanya.
Wallahu musta’an.
