Rambu-rambu Komunikasi Sosial dalam Surat Al-Hujurat

Dalam Al-Qur’an pada awal surat Al-Hujurat, Allah menyinggung perihal adab untuk tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya, yakni: tidak berhukum melainkan dengan ketentuan Al-Qur`an dan As-Sunnah. 

Ayat tersebut juga menyebut adanya keharusan bersikap santun dengan tidak meninggikan dan mengeraskan suara saat berbicara di hadapan Rasul shallallahu alaihi wasallam. Bersikap tidak adab kepada Rasul bisa menyebabkan gugurnya pahala amal kebaikan seorang mukmin, tanpa ia sadari (ayat ke-2). Sedangkan merendahkan suara di sisi Rasul merupakan pertanda ketakwaan, orangnya dapat ampunan dan pahala yang mulia (ayat ke-3).

Islam telah mengatur agar volume suara umat Nabi Muhammad tidak lebih lantang dari volume suara Sang Rasul, seakan menyiratkan bahwa sunnah Nabi punya kedudukan yang lebih tinggi dibanding ra’yu (pendapat dan pikiran) kita pribadi. Sabda Rasul pasti benar, karena berasal dari wahyu, sedangkan ra’yu kita mesti berada di belakang firman Allah dan sabda Rasul tersebut: mengekor dan tidak mendahului Al-Qur`an serta As-Sunnah.

Perihal adab dalam hal pengaturan volume suara ini dirasakan pula oleh guru atau pendidik yang sedang berbicara di hadapan para siswa atau audiens. Sang pembicara akan kesulitan menyampaikan materi jika audiens terlalu berisik, berbicara ataupun bercanda sendiri. Sikap yang dilakukan oleh audiens tersebut, akan nampak bahwa si pembicara kurang dihormati karena omongannya tidak didengarkan. Audiens dalam hal ini telah bersikap tidak santun di hadapan orang yang sedang menyampaikan ilmu.

Surat Al-Hujurat memuat rambu-rambu komunikasi sosial antar manusia serta mengurai sejumlah tindakan sosial yang bisa memicu konflik serta perilaku-perilaku negatif di antara sesama mukmin sendiri yang dapat memicu perpecahan dan perselisihan.

Salah satu pemicu konflik dan bencana adalah ketiadaan tabayyun (cek dan ricek) berita dari orang fasik. Berawal dari berita bohong atau kabar yang validitasnya diragukan (ayat ke-6) yang disebar oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, maka terjadilah kehebohan. Adanya saling tuduh atau bahkan saling serang yang terjadi karena tersebarnya isu-isu bohong di tengah masyarakat. Ketiadaan cek dan ricek itu sangat mungkin melahirkan penyesalan di kemudian hari.

Di dalam surat ini juga dinyatakan bahwa suatu kelompok orang beriman mungkin berbuat ‘baghy’ atau zalim kepada kelompok beriman yang lain. Artinya, sikap zalim itu mungkin saja muncul dari kalangan orang beriman. Simpulan sebaliknya adalah kezaliman tidaklah mengeluarkan pelakunya dari keimanan, namun sebatas kezaliman yang merupakan tindakan sosial, bukan kezaliman besar dalam arti syirik kepada Allah.

Kedua kelompok yang berseteru haruslah didamaikan oleh kelompok beriman ketiga yang tidak terlibat pertikaian. Kelompok yang netral ini harus mengambil tindakan yang tepat dalam rangka resolusi konflik. Kelompok mukmin penengah ini diizinkan untuk memerangi kelompok beriman yang berbuat zalim sampai mereka kembali taat kepada aturan Allah. Bila kedua kelompok yang berkonflik sudah sepakat untuk tunduk dan rujuk pada syariat Allah, maka keduanya harus dihakimi dengan keadilan.

“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu hingga ia kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (pada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat ayat ke-9)

Konflik antar individu dan konflik sosial bisa pula bermula dari kebiasaan mengolok-ngolok (sukhriyyah), kemudian mencela dengan perkataan (al-lamz) serta memberi julukan buruk (tanabazu bil-alqaab). Dalam konteks pergaulan, sukhriyyah yang tujuannya bercanda bisa menyebabkan pihak lain tersinggung atau tidak terima. Ketiga hal ini memang sebaiknya dihindari saat bercanda: sukhriyyah (roasting), mencela dengan kata-kata buruk dan memberi julukan buruk (bullying masuk kategori ini).

Tindakan-tindakan sosial negatif yang memicu konflik mungkin diawali perselisihan kecil yang lama kelamaan meruncing dan semakin gawat. Awal mulanya bisa jadi sekadar buruk sangka, lalu berkembang dengan memata-matai (tajassus), mencari-cari kesalahan, kemudian setelah dapat kesalahannya disambung pula dengan menggunjing (ghibah). Akibatnya, api kebencian pun membesar. Kebencian ini dapat menggerakkan aksi berupa tindakan kolektif yang akan mengarah pada konflik. 

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang bergunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat ayat ke-12)

Pihak yang terjatuh pada kesalahan seperti berburuk sangka, mencari-cari kesalahan serta bergunjing sepatutnya bertaubat dan menyadari bahwa dirinya telah melakukan kezaliman. Bergunjing bahkan diibaratkan oleh Allah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri, sesuatu yang sangat menjijikkan.

Di ayat ke-13 Allah berfirman:

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat ayat ke-13)

Dalam hal ketakwaan, gender tidak menjadi faktor yang diperhitungkan, demikian pula asal muasal ras, suku, nasionalisme, Arab atau non-Arab –primordialisme. Semuanya tergantung iman dan amal ketakwaan. Lelaki dan perempuan hanya berbeda dalam hal peran serta tanggung jawab pada level rumah tangga dan satuan sosial masyarakat, namun dalam hal ketakwaan, wanita bisa jadi mengungguli lelaki dan sebaliknya.

Ayat ke-13 dari Surat Al-Hujurat ini juga menunjukkan bahwa ta’aruf (pengenalan) menjadi kunci bagi interaksi antar kelompok. Dalam hal ini bangsa-bangsa (nations) dan suku-suku (tribes). Dalam ilmu sosiologi, kadar dan kedalaman interaksi juga perkenalan antar kelompok menentukan kuat tidaknya kohesi sosial antar kelompok.

Solusi-solusi yang disebut dalam surat Al-Hujurat guna menyelesaikan konflik antara lain:

  1. Tunduk pada Al-Qur`an dan As-Sunnah (hukum Islam)
  2. Tabayyun (cek dan ricek berita)
  3. Arbitrase oleh kelompok mukmin yang netral
  4. Ta’aruf (saling mengenal) antar individu dan antar kelompok
  5. Menghindari perilaku-perilaku pemicu konflik mulai dari yang paling kecil semisal berburuk sangka, mengintai dan bergunjing.

Solusi lain yang disebutkan dalam surat Al-Hujurat adalah bertakwa kepada Allah:

“Bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Ayat ke-10)

“Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (Ayat ke-12)

Dengan bertakwa kepada Allah, orang tidak akan berani untuk melanggar rambu-rambu komunikasi sosial, konflik pun bisa diredam. Di lain sisi, ketakwaan itu kelak mengundang rahmat Allah dan memuliakan seseorang di mata Allah.

Di akhir surat Al-Hujurat dibahas tentang perkataan orang Badui yang dimana mereka menyatakan bahwa mereka sudah beriman. Akan tetapi, Allah menafikan keimanan mereka. Mereka baru sekadar berislam secara lahiriah. Adapun esensi keimanan berupa keyakinan yang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya,  tiadanya keraguan, penghayatan serta kemauan untuk berjihad dengan harta dan nyawa di jalan Allah itulah esensi keimanan yang sebenarnya dan merupakan alamat kejujuran iman si mukmin. Standar ini tergolong sangat tinggi dan selayaknya dikejar serta diupayakan oleh setiap pribadi muslim.

Wallahu a’lam bis shawab.

Editor: M. Maulana Ridwan

Author

1 thought on “Rambu-rambu Komunikasi Sosial dalam Surat Al-Hujurat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *