Psikohistori Sirah Nabawi: Persaudaraan Muhajirin-Anshar
Published Date: 4 August 2023
Saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hijrah ke Madinah, ada tiga hal fundamental yang beliau lakukan: mendirikan masjid, mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, dan menyusun perjanjian hidup bersama dengan orang-orang Yahudi.
Tulisan ini hendak melakukan semacam analisis psikohistori, yaitu menelaah peristiwa sejarah dari sudut pandang psikologi. Dalam literatur, psikohistori sendiri lebih dimaksudkan sebagai perpaduan sejarah, psikologi (psikoanalisis) ditambah ilmu-ilmu sosial yang lain.
Dalam buku Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri disebutkan bahwa para sahabat yang dipersaudarakan oleh Rasulullah itu jumlahnya ada 90 orang, terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Berarti ada 45 pasang kaum muslim yang dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Sejarah Rasulullah itu sendiri merupakan keajaiban. Dan bila kita telaah secara parsial penggalan-penggalan episode dari tempo 23 tahun masa dakwah Islam siapa pun tentu kagum dan terheran-heran sebab banyaknya peristiwa kemanusiaan yang unik sekaligus luar biasa.
Peristiwa persaudaraan Muhajirin dan Anshar itu sendiri juga merupakan keajaiban yang tidak ada bandingannya dalam sejarah.
Tentang psikologi orang Muhajirin saat berhijrah dari Makkah itu dijelaskan dalam Al-Qur`an:
“Untuk orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur.” (Al-Qur`an Surat Al-Hasyr ayat ke-8)
Ayat ini menerangkan bahwa motivasi kaum Muhajirin yang diusir oleh musyrikin Quraisy di Makkah adalah demi mencari karunia dan keridhaan Allah. Hati mereka tulus murni ingin berjuang di jalan Allah. Untuk itu mereka rela meninggalkan harta benda dan kampung halaman karena perintah Allah dan menjadi fakir karenanya.
Allah sendiri yang menyebut mereka sebagai orang-orang yang jujur (shiddiq).
Sedangkan tentang kaum Anshar -yakni para sahabat Nabi yang tinggal di Madinah dan ‘menolong’ para sahabat yang berhijrah, diterangkan secara rinci dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman, mereka mencintai orang-orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka walau mereka sendiri sangat memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Qur`an Surat Al-Hasyr ayat ke-9)
Ayat ini menerangkan dengan sangat jelas, bahwa kaum Anshar mencintai saudara-saudara mereka yang berhijrah dari Makkah. Mereka tulus ikhlas saat memberi pertolongan, tidak menaruh pamrih apapun juga. Tidak hanya itu, mereka juga mendahulukan kepentingan Muhajirin dari diri mereka, padahal mereka sendiri dalam kondisi yang sangat membutuhkan.
Allah menegaskan sifat mereka sebagai orang-orang yang derma, yang terbebas dari sifat kikir dan bakhil.
Tentu saja hanya keimanan yang kuat, untuk dapat melahirkan motivasi-motivasi ukhrawi dan solidaritas kemanusiaan tingkat tinggi. Motivasi itu mengalahkan sifat bawaan manusia yang pada dasarnya sangat pelit.
Menurut Ustadz Firanda, di dalam bahasa Arab dikenal dua istilah yakni ‘al-bukhl’ dan ‘asy-syuhh’. Makna al-bukhl adalah pelit, sedangkan asy-syuhh adalah pelit disertai tamak terhadap harta sendiri dan harta yang dimiliki oleh orang lain. Jika al-bukhl adalah sifat yang tercela maka asy-syuhh lebih tercela karena asy-syuhh adalah pelit yang disertai dengan ambisi untuk meraih harta, bahkan harta milik orang lain.
Para sahabat Nabi shallallalahu alaihi wasallam adalah orang-orang yang terbebas dari sifat asy-syuhh di atas, sebagaimana dinyatakan dalam ayat. Sebaliknya mereka sangat derma dan mau berkorban untuk suatu persaudaraan yang dilandaskan pada Islam.
Yang menarik pula jika kita baca daftar Muhajirin-Anshar yang dipersaudarakan Nabi, tampak adanya kesamaan tabiat pada keduanya.
Abdurrahman bin Auf (Muhajirin) dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’ (Anshar) seorang yang paling kaya di Madinah. Abdurrahman bin Auf sendiri saat di Makkah adalah seorang pedagang yang kaya raya dan sangat terampil dalam berbisnis.
Sa’ad bin Rabi’ berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Sungguh aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuhnya. Aku juga mempunyai dua istri. Lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, kawinilah ia!”
Sambungan kisahnya kita tahu: Abdurrahman bin Auf menolak pemberian itu dan hanya minta ditunjukkan letak pasar. Di sana ia merintis usaha dan berhasil kaya raya pula dalam waktu yang singkat.
Adapun Abu Darda Al-Anshari dipersaudarakan dengan Salman Al-Farisi. Abu Darda adalah seorang sahabat Nabi yang sangat kuat beribadah, terutama puasa dan salat malam. Istri beliau Ummu Darda kerap mengeluh merasa diabaikan karena Abu Darda selalu berpaling ke akhirat.
Sedangkan Salman sendiri sebenarnya bukanlah orang Muhajirin ataupun Anshar. Beliau adalah muallaf asal Persia. Kisah pencariannya akan Islam sudah sangat masyhur. Salman adalah orang yang lama dididik oleh para rahib dan pendeta saat masih menganut agama majusi dan nasrani, sebelum berjumpa dengan Nabi shallallahu alahi wasallam. Jadi kehidupan penuh ritual ibadah adalah sesuatu yang sangat diakrabinya. Singkat kata, Salman ‘mirip’ dengan Abu Darda.
Adapun daftar nama para sahabat yang dipersaudarakan Nabi itu antara lain:
- Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dengan Zaid bin Haritsah.
- Abu Bakar Ash- Shiddiq dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid bin Abu Zuhair
- Umar bin Khaththab dipersaudarakan dengan ‘Itban bin Malik
- Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al-Jarrah dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Muadz bin Nu’man
- Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’
- Zubair bin Awwam dipersaudarakan dengan Salamah bin Salamah
- Utsman bin Affan dipersaudarakan dengan Aus bin Tsabit bin Al-Mundzir
- Thalhah bin Ubaidillah dipersaudarakan dengan Ka’ab bin Malik
- Sa’id bin Zaid bin Amir bin Nufail dipersaudarakan dengan Ubay bin Ka’ab.
- Mush’ab bin Umair bin Hasyim dipersaudarakan dengan Abu Ayyub Khalid bin Zaid
- Abu Huzhaifah bin Utbah bin Rabi’ah dipersaudarakan dengan Abbad bin Bisyr bin Waqsy
- Ammar bin Yasir dipersaudarakan dengan Hudzaifah bin Al-Yaman atau Tsabit bin Qais bin Asy-Syammas
- Abu Dzar AI-Ghifari dipersaudarakan dengan Al-Mundzir bin Amr
- Hathib bin Abu Balta’ah dipersaudarakan dengan Uwaimir bin Saidah
- Salman Al-Farisi dipersaudarakan dengan Abu Darda’ Uwaimir bin Tsa’labah
- Bilal bin Rabah dipersaudarakan dengan Abu Ruwaihah Abdullah bin Abdurrahman Al-Khats’ami, radhiyallahu ‘anhum.
Sebagian riwayat di atas masih diperselisihkan para sejarawan, karena kabar-kabar sejarah biasanya menggunakan kriteria-kriteria yang tidak seketat ilmu hadis. Diperlukan studi yang lebih mendalam untuk menggali informasi lebih lanjut tentang kemiripan watak pada diri para sahabat yang dipersaudarakan di atas.
Wallahu a’lam.
Referensi
- Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, 1414. Sirah Nabawiyah (terjemahan Rahiqul Makhtum). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
- https://bekalislam.firanda.com/6422-peringatan-terhadap-sikap-pelit-hadis-4.html
- https://www.islampos.com/persaudaraan-sahabat-yang-ditetapkan-rasulullah-171888/
- https://almanhaj.or.id/3746-terjalinnya-persaudaraan-antara-kaum-muhajirin-dengan-kaum-anshar.html
- http://hadithtransmitters.hawramani.com/ المنذر-بن-عمرو/
1 thought on “Psikohistori Sirah Nabawi: Persaudaraan Muhajirin-Anshar”