AI dan Matinya Kepakaran
Published Date: 14 October 2025
Kehadiran Artificial Intelligence atau akrab disapa dengan akronim AI, membuat kehidupan masyarakat global mengalami fenomena revolusi budaya dalam tempo yang cukup cepat. Sebenarnya jika kita menilik sejarah, AI telah menampakkan dirinya sejak sekitar 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1956; ketika seorang ilmuwan komputer dan kognitif asal Amerika Serikat bernama John McCarthy (1927–2011) menciptakan kecerdasan buatan untuk pertama kalinya dalam sebuah program bertajuk “Darthmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence (disingkat DSRPAI)”.1 Akan tetapi, popularitas AI baru mengalami peledakan yang signifikan sejak memasuki awal abad ke-21.
Namun di tahun 2000-an awal itu, AI hanya populer di kalangan negara-negara maju. Pengaruh AI baru mulai tersebar secara merata adalah sejak beberapa tahun terakhir, yang dilatarbelakangi oleh dua faktor; yang pertama adalah inklusivitas peran internet, dan kedua adalah kehadiran tools-tools AI spesifik yang memang bertujuan untuk memudahkan hidup manusia—sebut saja Chat GPT, Gemini, dan sebagainya. Hal ini semakin memperkuat transformasi status AI menjadi sebuah entitas yang berpengaruh besar dalam revolusi budaya berskala global.
Artificial Intelligence Mencengkeram Kehidupan Kita
Tak dapat dimungkiri, kampanye pada awal-awal kemunculan AI-AI itu—yang menyebutkan bahwa kehadiran mereka akan memberikan dampak yang berpengaruh besar bagi keseharian manusia, bukanlah isapan jempol belaka. Pasalnya signifikansi efek samping yang ditimbulkan memang benar-benar masif. Mau mengerjakan tugas sekolah tapi masih belum mengerti apa yang harus dikerjakan? AI bisa dengan senang hati membantu. Tiba-tiba terpikirkan sesuatu yang mind blowing di kepala namun tidak ada partner yang bisa diajak untuk diskusi kritis? Tenang saja, AI merupakan solusi yang tidak mengecewakan. Atau ingin rasanya bercerita dan didengar oleh ‘seseorang’ tanpa takut dijustifikasi dan dihakimi? Ya, AI adalah jalan tengah yang menarik.
AI, AI, AI.
Kehadirannya yang sangat menonjolkan nilai inovatif di tengah era yang super sibuk seperti sekarang, ibarat seseorang yang tengah berolahraga lari tanpa alas, kemudian di pertengahan jalan sepasang sepatu lari dikenakan pada kakinya; membuat form larinya menjadi lebih nyaman, cepat, dan efisien.
Tapi sebenarnya, rasa ketergantungan kita terhadap AI yang kian lama kian menjadi-jadi ini, justru lambat laun akan mendistorsi peran beberapa fragmen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Jika dulu ketika masa revolusi industri pada awal abad ke-20 ialah para pekerja pabrik yang menjadi korban penemuan mesin-mesin yang merenggut pekerjaan mereka; maka saat ini, secara halus AI mulai mendistorsi beberapa macam profesi, sebut saja kasir, akuntan, dan desainer grafis.2
Artificial Intelligence dan Distorsi Pengetahuan
Namun jika ingin menelisik sedikit lebih dalam, selain mengancam eksistensi beberapa pekerjaan, kehadiran AI ini juga mengusik dunia intelektual; yakni wilayah yang selama ini dianggap paling eksklusif dan sakral dari kemungkinan terjamah oleh otomasi modern: yakni para pakar.
Tom Nichols, seorang profesor sekaligus penulis asal Amerika yang kerap berkontribusi dan membagikan tulisannya untuk majalah The Atlantic3, pada tahun 2017 membuat sebuah buku ilmiah yang cukup fenomenal pada masanya dengan judul The Death of Expertise, atau Matinya Kepakaran. Inti yang ingin Tom sampaikan dalam buku ini adalah: para pakar atau orang-orang ahli di zaman sekarang ini, semakin mengalami degradasi kesakralan, alias secara berangsur-angsur kian dianggap sebagai hal yang biasa.
Ada beberapa faktor kritis yang menopang pernyataan Tom ini. Di antaranya adalah; karena sekarang ini kehidupan masyarakat global secara keseluruhan sudah semakin demokratis, semua orang jadi semakin menuntut “kesetaraan” yang notabenenya merupakan asas dari demokrasi itu sendiri—sehingga bobot suara antara para intelektual dan orang awam itu satu banding satu. Dan karena aksesibilitas internet yang semakin luas dan rentan, hari ini banyak sekali orang-orang awam (terkhusus untuk para selebritas dan influencer) yang kadang bersuara di luar kapabilitasnya, sehingga menimbulkan kerancuan dan bias anomali yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, peran algoritma media sosial yang hanya menyuguhkan konten-konten yang kita sukai saja membuat kita kerap kali terjebak dalam eco-chamber yang pada akhirnya membangun pola pikir denial di dalam pikiran kita terhadap kebenaran yang ada di luar eco-chamber itu—meskipun yang mengatakannya adalah seorang pakar.
Dan sayangnya semua ini belum berujung pada titik, melainkan masih ada koma-koma selanjutnya yang membuat situasi ini semakin pelik. Tak ayal, kehadiran AI membuat fenomena ironis yang telah terkembang selama beberapa puluh tahun terakhir ini, seperti tengah memulai season baru dalam sebuah judul serial petaka besar yang masih sukar rasanya untuk berkesudahan.
Eliezer Yudkowsky, seorang peneliti kecerdasan buatan asal Amerika pernah berkata: “Sejauh ini, bahaya terbesar dari kehadiran Kecerdasan Buatan adalah orang-orang yang menyimpulkan banyak hal terlalu dini, dan mengatakan bahwa mereka telah memahaminya.”4
Ibarat pepatah lama yang berbunyi, “sudah jatuh, tertimpa tangga”: bukannya memecahkan masalah, kehadiran AI yang semakin masif dan inklusif di tengah-tengah masyarakat sekarang ini, justru kian mengeruhkan eksistensi seorang pakar yang memang sudah mulai memburam sejak beberapa dekade silam.
Dalam salah satu film klasik Amerika berjudul “Good Will Hunting” yang dirilis tahun 1997, sang sutradara menyentil secara sarkastik fenomena “Matinya Kepakaran” melalui salah satu dialog yang diutarakan oleh sang tokoh utama, ketika terlibat sebuah adu mulut dengan orang asing di suatu bar gemerlap; “Kau menghabiskan 150 ribu dolar untuk harga pendidikan (tinggi) yang bisa kau dapatkan dengan 1,5 dolar untuk denda di perpustakaan umum!”5 Dialog sindiran ini bermakna bahwa pada era 90-an, garis batas yang tidak jelas antara orang awam dan ahli itu disebabkan oleh kehadiran ratusan buku perpustakaan yang juga memiliki kesamaan kualitas wawasan dengan orang-orang berpendidikan formal yang tervalidasi oleh gelar yang mereka sandang.
Semakin pelik, di era sekarang justru wawasan-wawasan tinggi seperti itu tidak perlu susah payah kita peroleh dengan membaca buku tebal beribu-ribu halaman yang berjejer di rak-rak perpustakaan, karena AI mampu merangkum itu semua. Jika membaca ratusan buku itu membutuhkan beberapa bulan bahkan tahunan untuk menghabiskannya, maka dengan AI kita bisa memiliki pengetahuan-pengetahuan tinggi itu hanya dalam satu kali klik saja. Apakah itu tandanya semua ini menjadi semakin pelik seiring berjalannya waktu? Tentu saja.
Per hari ini, kita akan dengan sangat mudah menjumpai orang-orang yang memiliki wawasan luas mengenai berbagai macam hal. Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, pengetahuan itu tidak mereka peroleh melalui proses belajar yang panjang, diskusi demi diskusi yang kritis, ataupun serangkaian tahap berpikir yang memerlukan waktu tak sebentar untuk memahaminya. Mereka hanya mengetahuinya setelah membaca sekelumit rangkuman yang dipaparkan oleh AI di laman internet. Orang-orang ini merasa bahwa mereka telah mengetahui secara mendalam, padahal mereka hanya mengetahui garis luarnya saja tanpa benar-benar memahami secara konkrit; alias terjebak dalam bias kognitif Dunning-Kruger Effect.6
Tidak hanya berdampak dalam lingkup individu, orang-orang yang telah terpapar kecenderungan bias kognitif seperti ini—yang salah satu faktor utamanya disebabkan oleh keberadaan AI, juga turut merugikan pihak-pihak di sekitarnya: dalam konteks ini ialah para pakar. Alih-alih melegitimasi kepakaran, orang-orang yang mengaku berpengetahuan luas hanya karena telah membaca serangkaian rangkuman dari AI ini, justru secara tidak langsung seolah-olah semakin mendiskreditkan keberadaan para intelektual. Padahal dalam situasi yang sama, orang-orang ini pun sejatinya adalah bentuk implementasi dari pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” saja.
Perlu diperhatikan kembali bahwa aksesibilitas AI kian hari kian mudah dan merata untuk dikonsumsi seluruh masyarakat secara global. Dari pernyataan itu saja kita sebenarnya sudah bisa memprediksi seberapa destruktif dampak yang akan terjadi di masa depan; baik bagi para pakar, maupun orang-orang awam; jika kita tidak mulai mencari solusi untuk menanggulangi fenomena yang sudah kian keruh ini secara bersama-sama.
Semua ada tempatnya, semua ada kadarnya. Kehadiran AI ini tentu saja memiliki pengaruh yang besar bagi keberlanjutan eksistensi umat manusia. Tapi selain memiliki banyak dampak positif yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, AI juga membawa sederet paparan negatif yang jelas tidak sehat. Salah satunya adalah kerancuan batas yang timbul antara kepakaran dan orang-orang awam. Coba kita bayangkan. Jika semakin hari orang-orang awam yang berpengetahuan luas (padahal aslinya dangkal) semakin menjamur, maka akan terbentuk sebuah perubahan sosial yang akan berujung pada kesejajaran batas imajiner seorang intelektualis dan orang awam. Suara-suara mereka menjadi berbobot sama kuat. Para “tong kosong nyaring bunyinya” itu akan memperoleh legitimasi dan dicampuradukkan dengan orang-orang yang memang sudah benar-benar banyak makan “asam garam”. Maka dari situasi ini, perspektif akan semakin banyak yang tercipta, karena ketiadaan batas intelektual yang jelas antar sesama manusia. Dan dari situ, kita hanya tinggal menunggu detik-detik peristiwa degradasi intelektualitas global secara signifikan yang bukan tidak mungkin akan meluluhlantakkan peradaban manusia. Ingatlah, penyebab dari semua itu adalah sesederhana kecacatan dan kerancuan berpikir umat manusia yang terus-menerus dipelihara; dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Penulis: Azka Alhasni (siswa SMA Future Gate)
CATATAN KAKI:
1https://algorit.ma/blog/data-science/sejarah-artificial-intelligence-ai/
3https://alumni.extension.harvard.edu/tom-nichols/
4https://www.brainyquote.com/quotes/eliezer_yudkowsky_596818
5Nichols, Tom. 2017. The Death of Expertise. Page 46.
6sites.lsa.umich.edu/sasi/wp-content/uploads/sites/275/2015/11/krugerdunning99.pdf?