Peran Sosial Media Influencer dalam Pembentukan Identitas dan Perilaku Remaja (Bag.1)
Published Date: 23 October 2023
Kehadiran sosial media menjadi sarana terbukanya informasi dengan luas serta memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Beragam sosial media hadir dan tutup usia seiring berjalannya waktu. Selain menjadi sarana informasi dan komunikasi bagi khalayak, sosial media rupanya juga memberikan efek dopamine (senyawa kimia di otak yang berperan untuk menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh) tersendiri bagi sebagian masyarakat, khususnya para pemuda. Berdasarkan data survey dari (We Are Social and Hootsuite, 2023) Facebook menjadi platform dengan jumlah pengguna aktif paling banyak mencapai 2,9 miliar per Januari 2023. Disusul oleh platform YouTube dengan jumlah pengguna aktif mencapai 2,2 miliar. Sedangkan, Instagram dan WhatsApp tercatat memiliki jumlah pengguna aktif yang seimbang, yakni mencapai 2 miliar pada Januari 2023.
Sosial media influencer hadir di tengah-tengah para remaja dengan membawakan ciri khasnya masing-masing yang mudah diterima oleh para remaja. Mengambil target pasar yang sesuai dengan konten yang disajikan, para sosial media influencer berhasil membawakan konten mereka dengan sangat bersahabat. Biasanya para remaja meniru dan mengikuti apa yang dilakukan serta dipertontonkan para sosial media influencer. Contohnya, akhir-akhir ini saat konten Ade Rai mengenai intermittent fasting, berolahraga saat puasa dan konten-konten kesehatan lainnya para remaja dan dewasa awal meniru gaya hidup yang ditampilkan oleh Ade Rai sebagai acuan untuk mejalani hidup sehat. Begitu pula yang terjadi saat ramai-ramainya konten terkait Dark Jokes dan juga komedi yang berbau agama dibawakan oleh stand up comedian Coki-Muslim, tak sedikit remaja yang meniru gaya bercanda dan celetukan yang dipertontonkan oleh sosial media influencer tersebut.
Paparan sosial media tentu memberikan dampak terhadap masyarakat, terutama para remaja dan dewasa awal. Menurut Cingel and Krcmar (2014) menyatakan bahwa penelitian telah menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara penggunaan sosial media dengan karakteristik penggunanya (bisa juga termasuk tahap perkembangannya). Dewasa ini, para remaja pada tahap perkembangan menuju dewasa dibersamai oleh sosial media dan para konten kreator di dalamnya. Berdasarkan teori perkembangan Erikson, remaja berada pada fase dimana mereka sedang mencari identitas dirinya, yang dimana mereka semestinya sudah mulai mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara terjun ke tengah masyarakat. Jika tidak, maka mereka akan mengalami kekacauan atau krisis identitas dan tidak dapat sepenuhnya menjadi dewasa.
Memahami Makna Identitas
Kata identitas diambil dari bahasa latin yaitu Idem yang berarti “serupa”. Hal tersebut merupakan dasar dari pengaturan kepribadian. Identitas adalah kesadaran diri, seperti diambil dari pendapat dan pengamatan diri. Identitas merupakan pengumpulan dari semua gambaran diri dalam mengatur keseluruhan, tidak hanya dengan kepandaian bergaul dengan siapapun, objek sifat, dan peran. Identitas berbeda dengan konsep diri, didalamnya terdapat kenyataan terhadap perasaan dari orang lain. Identitas menyatakan kesadaran dari seseorang sebagai seorang individu. (Sakti, 2018).
Identitas, merupakan sebuah hal yang penting di dalam suatu masyarakat yang memiliki banyak anggota. Identitas membuat suatu gambaran mengenai seseorang, melalui; penampilan fisik, ciri ras, warna kulit, bahasa yang digunakan, penilaian diri, dan faktor persepsi yang lain, yang semuanya digunakan dalam mengkonstruksi identitas budaya. Identitas menurut Klap (Berger, 2010) meliputi segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri – statusnya, nama, kepribadian, dan masa lalunya. Fuhrmann (1990), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri yaitu pola asuh, homogenitas lingkungan, model untuk identifikasi, pengalaman masa kanak-kanak, perkembangan kognisi, sifat individu, dan identitas etnik. Model yang diidentifikasi dalam hal ini bisa juga diartikan sebagai sosial media influencer yang hadir dan menjadi percontohan bagi remaja.
Memahami Remaja dan Fase di Masa Remaja
Masa remaja (adolescence) merupakan masa yang sangat penting dalam rentang kehidupan manusia, yang dimana merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju kemasa dewasa. Elizabeth B. Hurlock, Istilah remaja berasal dari kata latin (adolescene), kata bendanya adolescentia yang berarti remaja yang artinya “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa‟. Istilah adolescence yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang sangat luas, yakni mencangkup kematangan mental, sosial, emosional, pandangan ini diungkapkan oleh Piaget dengan mengatakan, Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok.
Menurut World Health Organization (WHO 1974), remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksualitas sampai saat ini mencapai kematangan seksualitasnya, individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadi peralihan dari ketergantungan sosial yang penuh, kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Para pakar psikologi, membagi fase remaja menjadi tiga bagian, yaitu fase remaja awal (12 – 14thn), remaja tengah (15 – 17thn), dan Remaja akhir (18 – 21thn) yang dimana pada tiap fase ini memiliki tanda-tanda perubahan serta perkembangan yang berbeda sesuai dengan fase-fase prosesnya (Batubara, 2010).
Periode remaja awal (early adolescent), ditandai oleh terjadinya perubahan-perubahan psikologis seperti: krisis identitas, jiwa yang labil, meningkatnya kemampuan verbal untuk ekspresi diri, pentingnya teman dekat/sahabat, berkurangnya rasa hormat terhadap orangtua, kadang-kadang berlaku kasar, menunjukkan kesalahan orangtua, mencari orang lain yang disayangi selain orangtua, kecenderungan untuk berlaku kekanak-kanakan, dan terdapatnya pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan cara berpakaian.
Periode remaja tengah (middle adolescent), ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan seperti, mengeluhkan orangtua yang terlalu ikut campur dalam kehidupannya, sangat memperhatikan penampilan, berusaha untuk mendapat teman baru, tidak atau kurang menghargai pendapat orangtua, sering merasa sedih, mulai menulis buku harian, sangat memperhatikan kelompok main secara selektif dan kompetitif, dan mulai mengalami periode sedih karena ingin lepas dari orangtua.
Akhir fase remaja adalah periode remaja akhir (late adolescent), idealnya ditandai oleh tercapainya kedewasaan fisik secara sempurna antara lain, identitas diri menjadi lebih kuat, mampu memikirkan ide, mampu mengekspresikan perasaan dengan kata-kata, lebih menghargai orang lain, lebih konsisten terhadap minatnya, bangga dengan hasil yang dicapai, selera humor lebih berkembang, dan emosi lebih stabil.
Pada fase remaja, mereka sedang dalam proses transformasi fisik dan juga biologis, dengan keadaan ini ditambah hadirnya sosok sosial media influencer, para remaja akan bingung dan terpengaruh oleh kehadiran sosial media influencer ini. Para ahli mengatakan bahwa banyak kemungkinan remaja mengalami permasalahan emosional dibandingkan dengan era sebelumnya yang menghadirkan artis-artis cilik dan artis ternama di televisi karena kehadiran sosial media influencer ini selalu menampilkan dan menyiarkan kehidupan serta aktivitas harian mereka yang ditonton oleh jutaan mata di seluruh dunia (Jumana, 2019). Dengan kehadiran influencer yang selalu hadir di genggaman para remaja, influencer ini akan menjadi model yang diidentifikasi untuk dijadikan pedoman atau percontohan bagi remaja. ini sejalan dengan teori pembentukan identitas yang disampaikan oleh Fuhrmann (1990), bahwa salah satu faktor pembentuk identitas adalah model untuk identifikasi.
Memahami Influencer dan Jenis-jenisnya
Dalam sosial media, tak luput dari kehadiran para konten creator dan juga influencer. Influencer sosial media, atau juga dikenal dengan mikro-selebritas, terkenal karena menciptakan citra yang menonjol mengenai diri mereka dan menggunakan citra yang mereka bangun untuk menarik perhatian serta memengaruhi pengguna sosial media (Chae, 2017). Menjadi sosial media influencer saat ini telah menjadi suatu profesi yang menjanjikan. Bahkan bisa dikatakan lebih dari sekedar profesi, bagi Sebagian orang menjadi sosial media influencer merupakan “jalan hidup” mereka. Para influencer menggunakan sosial media setiap harinya untuk mengungkapkan sekadar menghibur diri mereka, mengungkapkan opini mereka, bahkan mereka juga menggunakannya untuk menyampaikan kritik-kritik terkait permasalahan umum (misal: merek dagang, pelayanan, produk). Kegiatan yang dilakukan oleh sosial media influencer juga menjadikan mereka sebagai Key Opinion Leader (KOL) yang dimana tiap opini yang disampaikan akan memengaruhi masyarakat luas.
Para sosial media influencer ini menjadi salah satu kunci penting dari strategi marketing yang biasa disebut influencer marketing (Audrezet et al., 2020; Boerman, 2020; Lou & Yuan, 2019). Sosial media influencer juga memainkan peran penting dalam mengubah perilaku para remaja yang sedang dalam fase mencari identitas. Identitas diri dalam Teori Erikson adalah identitas yang menyangkut kualitas “eksistensi” dari subyek, yang berarti bahwa subjek memiliki suatu gaya pribadi yang khas. Oleh karena itu, identitas diri berarti mempertahankan “suatu gaya” individualitas diri sendiri. Para psikolog telah mengingatkan akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh sosial media terhadap para remaja, terutama terkait ketenaran yang didapatkan secara instan dan pengaruh-pengaruh buruk lainnya (Frontiers in Psychology, 2020). Dengan adanya sosial media dan “keuntungan” serta ketenaran yang didapatkan secara instan, banyak remaja yang terobsesi akan citra diri mereka dan mengikuti bagaimana cara para sosial media influencer menarik perhatian.
Casalo (2020) mengartikan influencer sebagai pengguna sosial media terkemuka yang mengumpulkan pengikut dengan membuat persona online yang otentik. Ki & Kim (2019) mendefinisikan Influencer dianggap sebagai pemimpin opini digital, karena reputasi mereka sering kali berasal dari pengetahuan tentang topik tertentu, seperti kecantikan atau mode. Berdasarkan definisi influencer diatas, dapat disimpulkan bahwa influencer merupakan pengguna sosial media yang memiliki pengikut dan dapat memengaruhi opini khalayak mengenai topik-topik yang diangkat. Influencer secara aktif menyiarkan kehidupan mereka dan berinteraksi erat dengan pengikut mereka untuk mempertahankan status sosial serta identitas merek mereka (Marwick, 2013).
Secara teoretis, influencer terbagi dalam kategori-kategori yang ditentukan berdasarkan jumlah followersnya. Pembagiannya berupa; 1) Mega-influencer telah mencapai satu juta follower atau lebih, 2) Macro-influencer antara 100.000 dan satu juta follower, 3) Micro-influencer antara 10.000 dan 100.000, dan nano-influencer dengan jumlah follower lebih kecil dari 10.000 (Campbell & Farrell, 2020). Dalam praktiknya, biasanya para sosial media influencer memiliki tujuan yang berbeda-beda dengan target penonton yang juga berbeda. Peran para sosial media influencer kurang lebih adalah sebagai influencer edukasi, influencer gaming, influencer lifestyle, influencer kesehatan, influencer sosial serta influencer marketing. Dalam pembahasan pada artikel ini, penulis akan memfokuskan pada influencer secara umum namun tidak membahas mengenai influencer marketing.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Castro (2021), mendapatkan bahwa Influencer sosial media dapat memengaruhi perilaku, sikap, dan keputusan remaja. Hal ini terjadi karena remaja mencari model yang dapat diikuti selama masa remaja mereka, dan influencer sosial media memiliki kemampuan yang besar untuk mempengaruhi remaja. Kemampuan influencer untuk mempengaruhi remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengalaman, kepercayaan, dan orisinalitas konten yang mereka buat. Oleh karena itu, influencer sosial media dapat memainkan peran penting dalam membentuk identitas remaja dan dapat memengaruhi keputusan mereka dalam berbagai hal.
Pada akhirnya, kemampuan untuk mengidentifikasi diri dengan sosial media influencer dianggap sebagai salah satu alasan paling penting bagi para penggemarnya dan pengikutnya untuk mempercayai saran-saran yang diberikan oleh YouTubers (Giles, 2018). Opini dan kritik yang disampaikan oleh sosial media influencer di sosial media cukup beragam, hal ini menyebabkan para remaja yang mengikutinya secara sadar atau tidak sadar akan menuruti pendapat yang disampaikan oleh para sosial media influencer karena mereka memiliki kepercayaan akan apa yang disampaikan oleh para sosial media influencer.
Editor: Fajrin Dzul Fadhlil
Referensi:
- Bandura, A. (2001). Social cognitive theory of mass communications. Media Effects: Advances in Theory and Research, 121–153.
- Casaló, L. V., Flavián, C., & IbáñezSánchez, S. (2020). Influencers on Instagram: Antecedents and consequences of opinion leadership. Journal of Business Research, 117, 510-519.
- Chae, J. (2018). Explaining females’ envy toward social media influencers. Media Psychology, 21(2), 246-262.
- Frontiers in Psychology, W. (2020). https://www.frontiersin.org/. https://www.frontiersin.org/researchtopics/9295/the-role-of-social-media-influencers-in-the-lives-of-children-and-adolescents#articles
- Sakti, B. C., & Yulianto, M. (2018). Penggunaan sosial media instagram dalam pembentukan identitas diri remaja. Interaksi Online, 6(4), 490-501.
- Social, W. A. (2023). Hootsuite.(2021). Digital 2021 Global Overview Report. We are Social.