Belum Jakarta, Belum ‘Kota’
Published Date: 4 August 2023
Karya sastra bisa jadi ‘saksi sejarah’ urbanisasi. Misalnya novel ‘Ali Topan Anak Jalanan’ (1977) karya Teguh Esha menyebut Depok yang masih ‘udik’ sebagai salah satu latar perkisahan. Citra ‘udik’ adalah rumah-rumah penduduk yang jaraknya berjauhan, masih banyak pohon-pohon besar, kebun singkong, jagung dan kentang, diselingi sungai kecil yang banyak kepitingnya, serta logat Betawi pinggir yang khas. ‘Udik’ sama dengan ‘desa’.
Sekarang, kalau kita berkendara di Jalan Margonda Raya, citraan itu pasti telah hilang. Begitu juga, bila kita masuk ke salah satu jalan lingkungan di kanan-kirinya: view dan struktur fisiknya sudah mirip dengan permukiman di ‘tengah’ Jakarta. Rumah-rumah besar dan kecil berhimpitan menghasilkan banyak gang yang hanya bisa dilalui satu dua orang atau satu kendaraan roda dua. Sungai-sungai kecil sudah berubah jadi got dan selokan berwarna hitam.
Depok (juga Citayam dan Bojonggede) menerima limpahan migran dari Jakarta, yaitu sejak Orde Baru menerapkan ideologi ‘menggusur untuk membangun’ yang berarti menciptakan kampung-kampung perkotaan yang baru di Greater Jakarta. Di Citayam orang bisa mendengar logat Jakarta ‘tengah’ yang asalnya dari para pendatang dan logat Betawi pinggir dari para pemukim asli.
Depok, Citayam dan Bojonggede sudah masuk ‘luar Jakarta’, jalur kereta commuter-lah yang membuat segmen populasi di sana mobile seakan menyatu dengan kota induknya. Ditambah dengan harga tanah dan perumahan yang masih murah, makin sahih ketiga lokasi itu dipilih sebagai tempat pindah. Depok, Citayam dan Bojonggede mengalami ‘kampungisasi’ lewat saturasi transportasi kereta api dan penggusuran.
Jauh-jauh hari G.H. Krausse (1976) sudah bilang bahwa kampung perkotaan merupakan reinterpretasi urban atas pola hidup pedesaan (an urban reinterpretation of rural life patterns), meski untuk sebagian, katanya. Kata ‘kampung’ (juga ‘kampungan’) itu berkonotasi negatif hingga lewat satu keputusan di tahun 1966 Gubernur Ali Sadikin merasa perlu menggantinya dengan ‘rukun tetangga’ dan ‘rukun warga’. Pergantian istilah itu mencerminkan pergeseran simbolik dari satuan komunitas etnik (atau multi-etnik) yang sumir ke satuan administratif yang lebih jelas.
Lembaga rukun tetangga dan rukun warga sendiri berasal dari pengaturan ‘tonarigumi’ di zaman Jepang tahun 1944. Satu tonarigumi terdiri dari 10 sampai 20 kepala keluarga yang dikepalai seorang kumicho. Tujuan Jepang waktu itu ialah menguatkan kendali dan komunikasi penguasa hingga ke level yang paling bawah.
Aziz Dahlan dalam Jurnal Widyapura (No.3 Tahun VI, 1989) memberi deskripsi kampung yang cukup representatif: kepadatan penduduk yang tinggi, dihuni mayoritas populasi berpendapatan rendah dan menengah, kontak sosialnya tinggi, ikatan sosialnya kuat, gotong royong, gaya hidup dualistis desa-kota, konstruksi rumah permanen, semi permanen hingga temporer, dan mobilisasi penduduk berlangsung dengan berjalan kaki.
Kalau Krausse mendefinisikan kampung sebagai ‘reinterpretasi urban atas pola kehidupan desa’ pengertian itu juga bisa dibalik: budaya kampung adalah semacam penafsiran kelas menengah bawah dalam upayanya menggapai identitas urban. Citayam Fashion Week yang digagas pemuda Citayam 2022 lalu menegaskan hal itu (disertai pertanyaan mengapa pula event itu harus diadakan di Jalan Sudirman yang merupakan ‘pusat’ Jakarta).
Situs kampung kota yang bertahan di himpitan kawasan segitiga emas misalnya area Gang Edi di sisi Jalan Halimun Raya, Kelurahan Guntur, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan. Oligarki Orde Baru sudah punah dan warga punya posisi tawar yang lebih kuat berkat kohesi sosial, media sosial, dan supremasi hukum yang lebih pasti.
Karena rawan kriminalitas dan masalah sosial, reculturing budaya kampung mestinya diarahkan ke kesadaran beragama. Kalaupun ada keragaman pemahaman, sepertinya sulit dihindarkan. Orang kampung harus guyub dan harmonis, dan religius di saat yang bersamaan. Psikolog Daniel G. Amen (2022) menyebut ‘guyub’ itu sebagai budaya Indonesia yang mendukung tumbuhnya kebahagiaan.
Selain ‘empowerment’ yang dilakukan pemerintah kota, masyarakat kampung perkotaan (RT-RW) biasanya mempunyai potensi memberdayakan diri mereka sendiri (swadaya). Pemanfaatan ulang sampah, pengajian, arisan (dulu ‘sinoman’), kerja bakti dan ronda malam adalah sejumlah kegiatan masyarakat di bawah koordinasi rukun tetangga.
Memperbanyak sentra-sentra pendidikan juga bisa menjadi strategi kebudayaan berbasis RT-RW. Selama ini grup-grup Whatsapp RT-RW biasa memantau keamanan sekaligus kasus-kasus kenakalan remaja di lingkungannya. Fungsi itu bisa dioptimalkan misalnya dengan mengadakan forum-forum diskusi pembinaan pendidikan rumah tangga (home education) dan pendidikan oleh lingkungan. Mengingat pendidikan merupakan main concern rumah tangga dan lingkungan, bukan cuma sekolah atau pesantren. Pendidikan oleh lingkungan itu tergolong wacana yang jarang disentuh.
Masih dalam kerangka yang sama, pengurus RT-RW bisa mengkoordinasi taman-taman bacaan masyarakat, mengkoordinasi donasi dan distribusi Al-Qur`an terjemahan (karena banyak masyarakat muslim belum mengerti makna ayat-ayat Al-Qur`an), dan mungkin bekerja sama dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk pendidikan kaum dhuafa.
Reculturing yang berporos pada isu-isu pendidikan bisa mengangkat kampung perkotaan ke arah budaya yang lebih urban dan civilized. Dengan demikian sekaligus menjaga stabilitas kota secara sosial, politik dan budaya.
Wallahu a’lam.