Berhati-hati dengan Jejak Digital
Published Date: 2 August 2023
Dalam petualangan menjelajah media sosial sehari-hari, saya menemukan banyak hal menarik. Atau tepatnya, lucu. Misalnya saja dua orang yang sedang bertikai. Si A berpendapat X, Si B membantah pendapat A dan memaparkan Y yang memang lebih kuat secara argumentasi. Karena tak mau kalah padahal tidak punya lagi senjata tambahan, Si A pun menyerang Si B dengan cara mengungkit-ungkit status media sosial Si B. Si B pun tertunduk malu, bukan karena argumentasinya keliru, tapi karena dia memang bukan manusia sempurna.
Tentu bisa kita katakan dengan tegas apa yang dilakukan Si A adalah sebentuk ad hominem—sebuah sesat pikir di mana seseorang menyerang pribadi orang lain ketika sedang beradu argumentasi. Biasanya teknik semacam itu dilakukan oleh orang yang sudah tak punya data dan argumentasi lebih kuat untuk membantah pendapat orang lain yang tak ia setujui. Jelas apa yang Si A dan orang-orang semacamnya lakukan salah. Membongkar-bongkar aib atau keburukan masa lalu orang lain tidak menjadikan pendapat kita yang lemah menjadi kuat, atau pendapat kita yang keliru menjadi benar.
Namun, dari sini kita bisa mengambil pelajaran, terkait pentingnya mengamati “jejak digital”. Bagaimanapun, di masa ketika perjalanan hidup dan pemikiran seseorang dapat “dipahami” hanya dengan cara memperhatikan postingan-postingan media sosial orang tersebut, jejak digital bukan sekadar jejak biasa. Bagi orang yang bersangkutan, jejak digital boleh jadi ia anggap sebagai kenang-kenangan yang musti dijaga atau perjalanan hidup yang penuh kelucuan sekaligus tragedi sehingga ia tidak repot-repot menghapusnya. Tetapi bagi orang-orang lain, jejak digital seseorang bisa punya beragam arti. Tidak sesederhana potongan keping masa lalu yang bisa dengan mudah dienyahkan dan dianggap tak berarti apa-apa.
Pada suatu hari seorang publik figur mengungkapkan pendapatnya soal childfree (kebebasan untuk tidak memiliki anak). Tak lama kemudian ada warganet yang mengungkit-ungkit tulisan lama si publik figur (yang mengindikasikan si publik figur dulu sempat ingin punya anak) dan membenturkan tulisan lama tersebut dengan pendapat terbaru publik figur. Jejak digital tiba-tiba menjadi penting. Ketetapan seseorang jadi dipertanyakan gara-gara jejak digital.
Dalam konteks lain, beredar cerita dari kalangan para HRD perusahaan yang menyebutkan bahwa mereka sangat memperhatikan konten media sosial seorang pelamar kerja apabila pelamar itu mengirim lamaran pekerjaan ke perusahaan mereka. Tak jarang postingan media sosial menjadi lebih menentukan “baik atau tidak baiknya” seseorang ketimbang SKCK atau rekomendasi orang-orang. Belum lama ini malah ada seorang HRD yang mewanti-wanti bahwa ia tidak akan menerima Si C (dia adalah orang yang mengeluarkan pendapat kontroversial di media sosial) seandainya Si C kelak melamar pekerjaan di tempatnya bekerja.
Dua kasus di atas menjadi ilustrasi sederhana betapa besar pengaruh jejak digital di masa sekarang. Dalam kasus si publik figur, kita memang bisa dengan segera menyergah pendapat si warganet yang mengungkit-ungkit tulisan lama si publik figur. Kita bisa bilang bahwa pendapat seseorang bisa dan sah-sah saja berubah seiring waktu berjalan. Orang boleh berkembang. Orang boleh berubah. Dan meskipun perkembangan atau perubahan pemikiran orang itu tidak kita setujui, itu tak lantas membuat kita jadi boleh bertindak tidak adil terhadap mereka. Sementara dalam kasus para HRD yang memperhatikan jejak digital calon pekerja, kita bisa juga mengatakan balik bahwa postingan media sosial tak serta merta menentukan jati diri sesungguhnya dari seseorang. Tapi apa pun itu, kita tak dapat menampik bahwa jejak digital, bagaimanapun, menentukan penilaian orang lain (terutama orang-orang yang tidak mengenal dan tidak pernah berjumpa dengan kita) terhadap diri kita. Di titik inilah kita perlu memperhatikan lebih lanjut citra diri kita di media sosial.
Dalam terma agama, ada istilah riya yang berarti suatu tindakan memperbagus diri sendiri dengan tujuan supaya dipuji orang lain. Riya bahkan disebutkan sebagai salah bentuk kesyirikan. Sebuah dosa besar. Kendati demikian, bukan berarti kita jadi bersikap tanpa tedeng aling-aling ketika menampilkan citra diri di media sosial. Bagaimanapun, media sosial adalah bagian dari realitas, bagian dari dunia, bagian dari kehidupan. Dan dalam menjalani kehidupan, penting bagi kita untuk mengendalikan diri. Bahkan dalam konteks menjaga jejak digital, pengendalian diri ini jauh lebih dibutuhkan lagi. Sebab, tak seperti tindak-tutur kita di kehidupan nyata, yang bisa dilupakan dengan mudah dan tak mungkin terekam seluruhnya, jejak digital nyaris abadi. Jadi, jika kita tak mengendalikan dengan baik jejak digital kita, bukan tidak mungkin kita akan dibikin repot karenanya suatu hari. Dan kita tahu belaka bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati, bukan?
Beberapa hari lalu saya membuka media sosial lama saya, citra diri saya pada tahun-tahun lampau. Ketika saya menggulirkan jari di atas layar hape, melihat postingan-postingan lama, saya cuma bisa cekikikan dan menggeleng-gelengkan kepala. Betapa lucu, norak, dan konyolnya saya dulu. Padahal “dulu” itu belum ada sepuluh tahun! Ketika melihat postingan-postingan norak itu, kadang saya menyesal karena telah menulis postingan-postingan semacam itu. Tapi di sisi lain postingan-postingan itu bikin saya sadar bahwa orang boleh, bisa, dan sangat mungkin berubah. Saya tahu pasti banyak orang lain di luar sana yang juga memiliki pengalaman seperti di atas, bagaimana ia membenci sekaligus merindukan “dirinya yang lama”, jejak-jejak digitalnya. Tapi, kalau bisa sih, sebaiknya hapus saja jejak-jejak digital yang berpotensi merepotkanmu. Dan itulah yang saya lakukan. Bahkan kalau saya merasa satu jam lalu saya melakukan hal yang seharusnya tidak saya lakukan di media sosial, sekadar satu buah komentar pun, saya akan langsung menghapusnya. Sebab kini saya sadar menyesal karena tidak mengatakan apa-apa sering kali lebih menenangkan jiwa ketimbang menyesal karena telah mengatakan sesuatu.