Between-Class Ability Grouping: Apakah Pengelompokkan Kelas Berdasarkan IQ Efektif?

Sistem pendidikan atau kurikulum selalu berkembang dari tahun ke tahun guna meningkatkan kualitas hasil pembelajaran para peserta didik. Perkembangan tersebut dapat terjadi pada skala nasional, seperti kurikulum nasional yang terus berubah, sampai ke skala yang lebih kecil, yaitu unit sekolah yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan kurikulum nasional dengan menyesuaikan kebutuhan peserta didiknya.

Salah satu bentuk penerapan kurikulum adalah pengelompokan kelas. Standar pengelompokan yang diterapkan secara luas di Indonesia adalah pengelompokan berdasarkan usia peserta didik. Jika hendak masuk ke kelas 1 SD, calon peserta didik setidaknya harus berusia 7 tahun. Semakin bertambah umur peserta didik, semakin tinggi pula kelas mereka. Selain berdasarkan usia, terdapat pula kategori lain yang dijadikan tambahan kriteria pengelompokan kelas. Beberapa di antaranya adalah IQ, performa akademik, dan minat.

Pengelompokan peserta didik berdasarkan bakat atau kemampuan akademik dapat disebut sebagai ability grouping. Secara umum, terdapat dua jenis ability grouping, yaitu pengelompokan antar kelas (between-class ability grouping) dan pengelompokan dalam kelas (within-class ability grouping). Pada pengelompokkan antar-kelas, peserta didik akan masuk ke kelas yang berbeda berdasarkan IQ, atau kemampuan belajar, atau bakat di bidang tertentu. Contoh, 1 angkatan kelas X diurutkan berdasarkan IQ mereka. Kelas X-1 berisi peserta didik dengan IQ tertinggi nomor 1 – 25, kelas X-2 berisi peserta didik dengan IQ tertinggi nomor 25 – 50, dan seterusnya.

Berbeda dengan between-class ability grouping, pada pengelompokan dalam kelas (within-class ability grouping), siswa dipisahkan berdasarkan kemampuan mereka hanya pada aktivitas belajar tertentu. Misal, di pelajaran matematika kelas XII, peserta didik dikelompokkan berdasarkan nilai try out. Grup dengan skor try out di bawah 400 dan di atas 400. Peserta didik dapat berganti grup kalau di try out berikutnya nilai mereka meningkat atau menurun.

Apapun jenis pengelompokannya, tindakan mengklasifikasikan peserta didik berdasarkan kemampuan mereka memiliki dampak positif dan negatif. Beberapa kelebihan ability grouping adalah:

  1. Guru bisa memberikan pengajaran sesuai dengan kemampuan peserta didik. Levy (2008) menemukan bahwa dalam ability grouping, konten pembelajaran lebih penting daripada kurikulum. Setiap peserta didik sudah pasti mendapatkan kurikulum yang sama, namun konten materinya bisa bervariasi berdasarkan tingkat kemampuan mereka. Jika dalam pelajaran Matematika peserta didik dibagi menjadi kelompok yang memiliki skor di bawah 50 dan di atas 50, peserta didik kelas bawah dapat menerima pelajaran ulang agar memahami dasar materi sedangkan peserta didik kelas atas dapat berpindah ke materi selanjutnya. Hal ini bermanfaat agar peserta didik yang berada di kelas bawah tidak semakin ketinggalan pelajaran dan yang di kelas atas tidak terhalangi untuk mendapat pelajaran selanjutnya.
  2. Peserta didik dengan kemampuan rata-rata dan di atas rata-rata memiliki kesempatan lebih untuk mempelajari lebih banyak pengetahuan lanjutan (Rogers, 1998). Mereka pun cenderung lebih percaya diri.

Agar manfaat dari ability grouping dapat dirasakan, ada berbagai komponen yang perlu diperhatikan. Beberapanya adalah kesiapan metode, instruksi, serta bahan ajar yang akan disampaikan ke masing-masing kelompok, asesmen yang dijadikan acuan pengelompokan, dan kesempatan untuk berpindah kelompok sesuai dengan perkembangan belajar peserta didik. Jika peserta didik hanya memiliki kesempatan kecil untuk pindah kelompok, akan muncul berbagai masalah. Pada kelompok kelas bawah, mereka akan merasa tidak percaya diri dan tidak punya harapan untuk berkembang (Johsnton & Taylor, 2023). Mereka juga tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar dan berinteraksi dengan teman-teman mereka yang lebih pintar (Webb-Williams, 2021). Selain itu, peserta didik kelas bawah rentan menerima stigma atau label negatif dari orang-orang di sekitarnya termasuk guru dan teman sebayanya (Johsnton & Taylor, 2023). Sedangkan pada kelompok kelas atas, peserta didik dapat merasakan tekanan karena alur penyampaian materi yang lebih cepat dan stres karena khawatir akan dipindahkan ke kelas bawah jika nilai mereka turun.

Pengelompokan Berdasarkan IQ

Pada paragraf di atas telah disebutkan bahwa hilangnya kesempatan untuk pindah kelompok akan menimbulkan beragam efek negatif bagi peserta didik (walaupun setting perpindahan kelompok juga dapat menjadi masalah). Agar peserta didik dapat berpindah kelompok, harus ada sistem asesmen yang mampu menunjukkan perkembangan mereka dari satu poin pembelajaran ke poin berikutnya. Contoh asesmen yang bisa dilakukan adalah ujian naik level, try out, post-test, dan sejenisnya.

Pertanyaannya, apakah IQ memungkinkan peserta didik untuk berpindah grup? Hardly so. Mackintosh (1998) mengatakan bahwa IQ sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dengan persentase heritabilitas sekitar 80%. Oleh karena itu, kemungkinan seseorang mengalami perubahan skor IQ yang signifikan itu kecil. Jika pun ada perubahan, rentang kategori mereka biasanya tidak berubah. Misalnya, ada peningkatan skor IQ saat SD 90 lalu saat SMA menjadi 109. Keduanya masih dalam kategori rata-rata (90 – 109).

IQ

Atau ada pula kasus peningkatan rentang kategori skor IQ, awalnya skor 92 dan saat dites kembali beberapa tahun kemudian menjadi 113. Memang terjadi perubahan level dari rata-rata (90 – 109) menjadi di atas rata-rata (110 – 119). Namun, dalam beberapa penelitian, peserta didik dengan skor IQ rata-rata dan di atas rata-rata cenderung memiliki hasil belajar yang mirip. Selama peserta didik memiliki rentang IQ rata-rata (low average – average – high average), hasil belajar mereka tidak memiliki perbedaan yang signifikan (He et al., 2021; Iqbal et al., 2021; Mursaleen & Munaf, 2020). Selain itu, saat penerimaan peserta didik baru kebanyakan sekolah mengadakan tes yang menyaring siswa berdasarkan kemampuan belajar dan/atau IQ sehingga peserta didik dengan IQ rata-rata ke atas saja lah yang akan diterima. Hal tersebut membuat sekolah memiliki komposisi IQ peserta didik yang cenderung homogen (Charlton, 2009).

Lagipula, IQ bukan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Duckworth dan Seligman (2005) ditemukan bahwa kedisiplinan diri saat belajar menjadi faktor yang lebih mendukung performa akademik dibandingkan IQ. Penelitian yang lebih terkini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan performa akademik yang signifikan pada mahasiswa kedokteran jika dilihat dari IQ mereka (Iqbal et al., 2021). Nyatanya, mahasiswa dengan skor IQ yang lebih rendah dapat menyusul nilai mahasiswa dengan skor IQ yang lebih tinggi dengan bekerja keras. Selain itu, semangat dan persistensi untuk mencapai tujuan (diwakili dengan ciri kepribadian grit) juga dapat mempengaruhi pencapaian akademik seseorang (He et al., 2021).

Jika demikian, apakah IQ masih merupakan kriteria yang tepat untuk melakukan pengelompokkan kelas peserta didik (between-class ability grouping)? Sepertinya tidak. Sudahlah kriteria tersebut tidak memungkinkan perpindahan kelas, pengelompokkan berdasarkan IQ juga tidak memberikan efek peningkatan signifikan pada performa belajar peserta didik (Hattie, 2009).

Kesimpulan

IQ bukanlah kriteria asesmen yang tepat untuk mengelompokkan siswa, setidaknya jika sekolah tersebut memiliki peserta didik dengan rentang IQ yang homogen. Selain IQ, mengelompokkan siswa hanya berdasarkan 1 kali asesmen di awal masuk sekolah juga bukan praktik yang disarankan karena hal tersebut mengimpilikasikan bahwa kemampuan bawaan peserta didik akan mendikte seluruh kebutuhan dan alur pendidikan yang akan ditetima peserta didik tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa ability grouping memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Yang terpenting adalah institusi pendidikan harus mengetahui betul tujuan pendidikannya, kebutuhan peserta didiknya, serta kesiapan kurikulum untuk mengakomodasi kelas homogen atau heterogen. Percuma saja jika peserta didik sudah dibagikan ke dalam kelompok tertentu tapi gurunya belum bisa memberikan instruksi yang sesuai, perangkat ajarnya tidak ada perbedaan antar-kelas, asesmennya belum jelas, dan tidak ada countermeasure jika peserta didik mengalami efek samping psikologis dari pembagian kelas tertentu.

Referensi

  • Charlton, B. G. (2009). Replacing education with psychometrics: How learning about IQ almost-completely changed my mind about education. Medical Hypotheses, 73(3), 273–277. https://doi.org/10.1016/j.mehy.2009.04.011
  • Duckworth, A. L., & Seligman, M. E. P. (2005). Self-discipline outdoes IQ in predicting academic performance of adolescents. Psychological Science, 16(12), 939–944. https://doi.org/10.1111/j.1467-9280.2005.01641.x
  • Hattie, J. (2009). Visible learning: A synthesis of over 800 meta-analyses relating to achievement. Routledge. https://www.routledge.com/Visible-Learning-A-Synthesis-of-Over-800- Meta-Analyses-Relating-to-Achievement/Hattie/p/book/9780415476188
  • Heltemes, L. (2009). Social and Academic Advantages and Disadvantages of Withinclass Heterogeneous and Homogeneous Ability Grouping (thesis). Fisher Digital Publications, New York.
  • He, X., Wang, H., Chang, F., Dill, S.-E., Liu, H., Tang, B., & Shi, Y. (2021). IQ, Grit, and academic achievement: Evidence from rural China. International Journal of Educational Development, 80, 102306. https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2020.102306
  • Iqbal, K., Chaudhry, S. R., Lodhi, H. N., Khaliq, S., Taseer, M., & Saeed, M. (2021). Relationship between IQ and academic performance of medical students. The Professional Medical Journal, 28(02), 242–246. https://doi.org/10.29309/tpmj/2021.28.02.4348
  • Johnston, O., & Taylor, B. (2023). A systematic literature review of between-class ability grouping in Australia: Enduring tensions, new directions. Issues in Educational Research, 33(1), 91–117. https://doi.org/http://www.iier.org.au/iier33/johnston.pdf
  • Levy, H. M. (2008). Meeting the Needs of All Students through Differentiated Instruction: Helping Every Child Reach and Exceed Standards. The Clearing House, 81 (4), 161-164
  • Mursaleen, M., & Munaf, S. (2016). Associations of intellectual ability with emotional intelligence, academic achievement and aggression of adolescents. Journal of Basic & Applied Sciences, 12, 344–350. https://doi.org/10.6000/1927-5129.2016.12.53
  • Rogers, K. B. (1998). Using Current Research to Make “Good” Decisions about Grouping. National Association of School Principals, 82, 38-46.
  • Webb-Williams, J. L. (2021). Teachers’ use of within-class ability groups in the primary classroom: A mixed methods study of social comparison. Frontiers in Psychology, 12. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.728104

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *