Dari Perpustakaan ke Perpustakaan

Ketika mengingat kembali masa-masa saya melalui tingkat Sekolah Dasar, sungguh aneh bahwa tak ada ingatan perihal buku, guru inspiratif, dan hal-hal yang erat kaitannya dengan pendidikan. Yang terkenang dalam pikiran saya adalah teman-teman dan permainan-permainan. Saya ingat teman saya yang garis wajahnya mengingatkan saya pada Paulo Dybala yang mahir bermain kelereng, saya ingat teman saya yang kerap mengalahkan saya ketika duel game Winning Eleven di rental PS2 terdekat, dan saya ingat beragam tren permainan zaman itu—yoyo, panggal, stiker pemain bola, tempelan bergambar karakter Naruto, gasing beyblade, kartu Yu-Gi-Oh!, dan seterusnya. Adapun buku adalah benda yang begitu jauh, seperti makhluk dalam semesta lain yang asing dan tak terpikirkan. Dan sejauh yang bisa saya ingat, SD Negeri tempat saya bersekolah tak memiliki perpustakaan dan saya tak pernah menjumpai guru yang membicarakan buku-buku (selain buku-buku pelajaran, tentu saja).

Mungkin di SD-SD lain, keadaannya tak seburuk di tempat saya bersekolah. Mungkin di sekolah-sekolah lain berdiri perpustakaan dengan koleksi bacaan memadai. Mungkin di sekolah-sekolah lain ada guru-guru yang gemar menginfokan buku-buku favoritnya kepada para murid. Mungkin di sekolah-sekolah lain sekolah berfungsi sebagaimana mestinya, sebagai lembaga pendidikan yang memperkenalkan dan mendekatkan para siswa kepada sumber-sumber pengetahuan. Tetapi karena saya tidak merasakan pengalaman bersekolah di SD-SD lain, praktis gambaran SD yang tertancap di benak saya adalah SD saya dahulu, sebuah sekolah biasa-biasa saja, yang lebih cocok disebut taman bermain daripada lembaga pendidikan. Dan saya yakin, ada banyak sekolah di luar sana yang mirip dengan sekolah saya tersebut. Dan saya heran, sampai dua tahun silam—ketika keponakan saya yang berjarak 10 tahun dari saya bersekolah di SD yang sama dengan saya—keadaan SD itu tak banyak berubah. Bangunannya memang bertambah luas, ruang kelasnya semakin banyak, tapi buku-buku masih menjadi topik yang seolah tabu.

Saat saya beranjak SMP, saya mulai penasaran terhadap buku dan beragam bahan bacaan. Di rumah saya tidak ada buku. Kawan-kawan sepergaulan saya lebih karib dengan game-game teranyar di warnet yang kala itu memasuki masa kejayaannya daripada buku. Sementara di sekolah saya, situasinya tak jauh berbeda dengan saat saya SD. Ketika saya kelas dua atau tiga SMP, saya baru menyadari bahwa sekolah saya mempunyai perpustakaan. Letaknya di pojok kiri deretan ruang kelas saya berada, penjaganya berwajah muram dan tak tampak pernah memegang buku kecuali buku daftar peminjaman, dan kondisi perpustakaan itu sendiri tak begitu menyenangkan. Perpustakaan itu sempit, penuh dengan tumpukan buku tak beraturan, dan sudut-sudutnya tebal akan debu. Meski demikian, dengan segala ketaksempurnaannya, itulah perpustakaan pertama yang saya kenal sepanjang hidup.

Bersama sejumlah teman saya kerap berkunjung ke perpustakaan tersebut di waktu istirahat. Walaupun kami pergi ke perpustakaan, sesungguhnyalah tujuan utama kami untuk bermain-main belaka, merasakan sensasi mengunjungi sebuah tempat yang baru dan sepi. Di perpustakaan itu ada lembaran peta dunia yang terpasang di salah satu bagian dinding. Saya dan teman-teman saya sering bermain tebak-tebakan dengan menyebut satu nama daerah tertentu, lalu meminta kepada yang lain untuk menemukan di mana letak daerah tersebut di dalam peta. Meskipun tak ada hubungannya dengan buku, itu adalah salah satu pengalaman paling mengesankan bagi saya di perpustakaan SMP.

Adapun pengalaman yang berhubungan dengan buku di perpustakaan itu, saya tak bisa bicara banyak. Saya sudah menjelajahi perpustakaan itu, mengubek-ubek rak-rak dan kardus-kardus. Sejujurnya koleksi buku di perpustakaan itu tidak menarik. Kebanyakan buku-buku yang berderet hanyalah buku pelajaran dengan sampul membosankan dan ketebalan yang bikin geleng-geleng kepala. Namun, saya terus mencari siapa tahu ada buku yang memikat hati. Pada dasarnya waktu itu saya tidak bisa membedakan mana buku bagus mana buku buruk, mana buku yang dibaca banyak orang mana buku yang tidak dikenal orang, dan semacamnya. Tetapi, saya tahu buku-buku bagus bisa muncul dengan beragam cara ke hadapan para calon pembacanya. Di sanalah, di perpustakaan alakadar itu, saya membaca novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka dan buku Sang Nabi karya Kahlil Gibran. Itulah dua buku yang pernah saya baca di sana, hasil setelah mengubek-ngubek perpustakaan yang kerap kali menyembunyikan harta karun tebaiknya di sudut paling tersembunyi. Saya tidak ingat apakah saya membaca buku-buku selain dua judul di atas, tapi yang jelas dua buku itulah gerbang pertama saya memasuki semesta buku (terutama sastra) yang luas.

Selepas lulus SMP, hasrat saya terhadap buku kian meluap. Saat itu saya tidak memiliki pretensi apa-apa soal membaca. Saya tidak bermimpi menjadi penulis kelas atas, seorang intelektual, atau orang yang hendak menguasai dunia. Semua itu sama sekali tidak penting buat saya. Pada masa itu saya semata-mata ingin tahu lebih banyak, ingin menyenangkan diri sendiri lewat jalan bergelut dengan teks demi teks. Sayangnya, akses saya terhadap bacaan-bacaan demikian sempit. Sulit sekali bagi saya mengakses buku. Alhasil, dengan hape jadul yang saya punya saya mulai membaca pelbagai puisi, artikel, dan cerpen yang berserakan di internet. Kadang-kadang saya menyalin bacaan yang saya sukai ke dalam buku tulis. Kebanyakan yang saya salin adalah puisi dan quotes. Kalau dihitung-hitung, ada hampir sepuluh buku tulis yang saya gunakan untuk menyalin hal-hal baik dan menyenangkan yang saya dapatkan dari bacaan-bacaan yang saya dapatkan di internet.

Sekitar empat bulan masa-masa pasca-SMP di atas berlalu, sampai akhirnya saya sadar saya harus meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Waktu itu saya tidak kepikiran SMA atau SMK mana yang harus saya masuki. Yang ada di pikiran saya malah keinginan untuk mendaftar ke pesantren. Bersama bapak saya, saya pun mendatangi sebuah pesantren di Tasikmalaya. Tinggal satu langkah lagi sebelum akhirnya saya batal menjadi santri pesantren tersebut. Alasannya sepele: ibu saya berubah pikiran dan meminta saya untuk bersekolah di tempat yang dekat-dekat saja. Pada waktu itu, tahun ajaran baru sudah dimulai. Orang-orang seusia saya sudah mengenakan seragam putih abu-abu dan berangkat ke sekolah barunya. Sementara saya masih kebingungan harus bersekolah di mana. Akhirnya, berkat informasi seorang teman (ialah satu di antara beberapa teman yang sering menemani saya pergi ke perpustakaan SMP), saya mendaftar ke sebuah SMA swasta (SD & SMP saya negeri) di Kota Bekasi yang bernama—tentu saja anda tahu—SMA Future Gate.

Saya ingat apa yang mula-mula pertama saya lakukan saat tiba di SMA tersebut. Waktu itu bersama ibu saya datang mendaftar. Saya diminta mengisi lembaran-lembaran tes di sebuah ruangan kecil yang tak lain adalah bentuk awal perpustakaan SMA saya yang kelak semakin besar dan kaya koleksinya. Saat itu, ketika menunggu hasil tes, saya duduk di ruangan tersebut. Saya melihat-lihat rak buku di dekat saya. Tanpa alasan tertentu, saya mengambil sebuah buku saku tipis. Kalau tak salah ingat buku itu berjudul Beruntunglah Orang-Orang yang Khusyu karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali. Itulah buku pertama yang saya baca di perpustakaan SMA. Waktu itu saya tidak pernah tahu bahwa di perpustakaan SMA inilah petualangan membaca saya yang sesungguhnya dimulai.

Selain ruang kelas dan asrama, perpustakaan adalah tempat yang paling sering saya sambangi saat SMA. Ke mana lagi saya pergi kalau bukan ke perpustakaan? Itu adalah masa-masa awal di mana saya mencintai buku-buku. Saya kira saya tidak mencintai hal yang salah. Sebab kecintaan saya terhadap buku kala itu membawa efek positif ke banyak hal lainnya. Buku memudahkan saya beradaptasi dengan lingkungan sekaligus pelajaran-pelajaran di sekolah. Buku membuat saya tak kebingungan harus melakukan apa di tempat yang baru dan asing. Dan di atas itu semua, buku memberikan kesenangan kepada saya yang tak bisa saya dapatkan dari hal-hal lainnya.

Pada saat saya mulai bersekolah di SMA saya, perpustakaan di sana kecil belaka. Seperti perpustakaan pribadi. Namun, perbendaharaan buku yang tersedia lebih banyak dan menarik daripada perpustakaan SMP saya dulu (yang padahal jauh lebih besar ketimbang perpustakaan SMA). Kebanyakan koleksi pustakanya adalah buku-buku bertema keislaman. Untungnya, seiring waktu, perpustakaan SMA saya semakin diperbagus, diperluas, dan diperbanyak koleksinya. Saya menikmati hari demi hari menyaksikan bagaimana perpustakaan ideal pertama yang saya temui berkembang. Saya bersukacita ketika buku-buku baru yang masih diplastik berdatangan. Saya bergembira ketika melihat rak-rak terisi kian penuh. Saya senang ketika fasilitas-fasilitas di dalam perpustakaan semakin banyak dan nyaman. Saya seolah-olah tengah menyaksikan bagaimana surga sedang dibangun, inci demi incinya.

Karena waktu saya begitu luang, ada banyak sekali buku yang saya baca pada masa SMA. Saya bersekolah di SMA boarding school sehingga saya hanya pulang seminggu sekali ke rumah. Saya tidak memegang gadget dan tak begitu memerlukannya. Alhasil sebagian besar waktu saya habiskan untuk menyerap sebanyak-banyaknya nutrisi dari lembaran demi lembaran buku yang ada di perpustakaan. Saya tidak menghitung berapa banyak buku yang saya baca selama masa SMA. Mungkin puluhan buku. Mungkin mencapai seratus buku. Mungkin lebih dari seratus buku. Saya tidak mengingatnya. Lagi pula itu tidak terlalu penting sebab yang terpenting adalah saya bisa berdekatan dengan buku-buku, saya bisa memuaskan hasrat saya terhadap buku yang terpendam cukup lama.

Di perpustakaan itulah saya mengenal tulisan-tulisan Ibnul Qayyim, Syaikh Utsman al-Khamis, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, A. Fuadi, Eka Kurniawan, Beni Satryo, Pidi Baiq, Bernard Batubara, dan banyak lainnya. Di perpustakaan itulah saya duduk di sebuah kursi, lalu tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat. Di perpustakaan itulah saya merasakan kesepian dan keheningan ternyata tidak buruk-buruk amat. Di perpustakaan itulah saya menyadari bahwa benda semungil buku ternyata dapat membawa kita ke semesta yang luas dan kadang-kadang terlampau luas sampai kita tidak memercayainya. Di perpustakaan itulah, di perpustakaan yang tentu jauh dari sempurna dan komplit, saya mulai tahu perpustakaan ideal itu seperti apa dan ucapan Jorge Luis Borges yang menyamakan surga dengan perpustakaan ternyata tidak berlebihan.

Waktu berlalu dan pada akhirnya saya harus meninggalkan SMA saya dan perpustakaan itu. Memang selepas lulus SMA saya masih kerap menyambangi perpustakaan tersebut. Setelah lulus SMA, saya ingat pernah membaca antara lain novel Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez dan Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya karya Haruki Murakami di perpustakaan itu, yang telah menjelma tempat yang semakin nyaman dan lapang. Namun, saya tidak bisa lagi berlama-lama seperti dulu. Lagi pula situasinya sudah berubah. Sensasinya tidak pernah lagi sama. Meskipun, sampai saat ini, itulah perpustakaan paling asyik dan mengesankan yang pernah saya temui.

Setelah SMA saya tidak bertemu perpustakaan-perpustakaan yang menarik. Saya pernah berkuliah di dua tempat. Pertama, di LIPIA Jakarta. LIPIA Jakarta punya perpustakaan yang cukup luas. Konon perpustakaan LIPIA Jakarta adalah salah satu perpustakaan terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya, waktu itu saya tidak memiliki kemampuan sekaligus waktu untuk menikmati koleksi perpustakaan tersebut. Selain itu, saya lihat-lihat koleksinya tidak sebanyak dan selengkap yang saya pikirkan. Kedua, saya sempat berkuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kadang-kadang saya mengunjungi perpustakaannya. Ketika mengunjungi perpustakaan UIN, saya tidak mendapat banyak kepuasan. Koleksi bukunya jauh dari memadai. Kebanyakan buku-buku yang ada di sana adalah buku-buku terbitan lama yang secara tampilan seolah-olah baru dipungut dari toko loak terdekat. Sebetulnya tak masalah jika buku-buku itu terbitan lama. Yang lebih memprihatinkan banyak buku yang saya inginkan dan saya pikir semestinya ada di sebuah perpustakaan perguruan tinggi tidak dimiliki perpustakaan tersebut. Tempatnya memang luas, tapi jauh dari kata ideal. Jadinya dua perpustakaan tempat saya berkuliah itu tak meninggalkan kesan berarti bagi saya.

Sementara itu, perpustakaan daerah atau perpustakaan nasional, tampak tak menarik bagi saya. Pertama, akses ke tempat-tempat itu tidak mudah. Tidak praktis dan tidak ekonomis. Kedua, jam buka perpustakaan yang sebentar membuat saya mengernyitkan dahi. Dua hal ini sudah membuat saya ogah duluan karena saya membandingkannya dengan perpustakaan SMA saya dulu, yang bisa saya bisa kunjungi kapan saja dan buka sepanjang hari. Praktis, selepas lulus SMA, terutama setelah saya tidak lagi kuliah, karena tidak ada perpustakaan di sekitar saya yang memenuhi kriteria saya, saya berusaha membangun perpustakaan sendiri. Saya membeli buku-buku yang saya suka, menyusunnya di rak-rak dengan penuh cinta, dan membacanya satu per satu. Tapi itu pun bukan urusan gampang. Perlu modal yang banyak untuk membuat perpustakaan sendiri. Dan tak jarang upaya mengumpulkan modal tersebut membuat waktu saya untuk menikmati buku-buku yang sudah saya miliki jadi berkurang.

Tentu saja saya masih mengharapkan adanya perpustakaan-perpustakaan ideal, di mana saja, terutama di sekitar saya. Saya membayangkan sebuah perpustakaan yang tidak usahlah terlalu luas dengan fasilitas yang melimpah, cukup bangunan biasa-biasa saja, asalkan nyaman dan dipenuhi dengan buku-buku yang dipilih dengan saksama. Kalau bisa perpustakaan itu memiliki waktu buka yang panjang, dengan penjaga yang ramah dan paham mengenai buku-buku, dan bisa diakses dengan mudah oleh orang-orang sekitar. Dalam bayangan saya untuk membangun perpustakaan semacam itu sepertinya bukanlah hal sulit bagi pemerintah. Masalahnya, pemerintah kita tidak memberikan perhatian yang layak terhadap perpustakaan dan buku-buku. Padahal eksistensi perpustakaan adalah permasalahan pendidikan yang cukup fundamental. Dan ketika saya mengatakan soal perpustakaan, ini bukan sekadar bangunan gelap tak terurus dengan buku-buku yang dipilih secara asal. Ini adalah tentang tempat di mana kelak orang-orang terbesar dan terpenting negeri ini akan bermunculan. Ini adalah tempat yang harus dihidupi oleh buku-buku yang dikurasi secara baik, dijaga dan dirawat dengan penuh perhatian oleh pengurus perpustakaan, dan dikunjungi serta dihargai dengan semestinya oleh para pengunjung. (*)

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *